Sedang Membaca
Zoroaster dan Monotheisme

Alumni International University of Africa, Republik Sudan, kini menjadi pendidik dan pengajar di Pondok Pesantren Al-Bayan, Banten Selatan.

Zoroaster dan Monotheisme

Femccbtveaqqk61

Para penganut agama Zoroaster dikenal sebagai orang-orang Parsi yang dulunya menetap di Iran, kemudian banyak bermigrasi ke India. Sebagian penganutnya ada yang menetap di negara-nagara maju hingga saat ini, seperti di Inggris dan Amerika Serikat. Bahkan, seorang petinggi CNN di New York, Parisa Khosravi menyatakan dirinya sebagai pengikut Zoroastrianisme, yang kini para penganutnya tetap eksis hingga mencapai 2,6 juta jiwa di seluruh dunia.

Dalam literatur Islam, pengikut ajaran Zoroaster dikenal sebagai penganut agama Majusi. Sebelum monotheisme Yahudi (Musa), Kristen (Isa) hingga Islam (Muhammad), ia lebih dulu lahir di negeri Iran, yang dibawa oleh tokoh spiritual agung bernama Zarathustra. Ia juga dikenal sebagai tokoh pembawa agama Samawi tertua di dunia, sebelum munculnya tiga agama besar warisan Hibrani tersebut.

Konon, Zarathustra adalah manusia pertama yang dianugerahi perjumpaan dengan Zat Yang lebih agung daripada manusia dan alam semesta ini. Umurnya sekitar 30-an saat ia pertama kali menerima wahyu, dalam bentuk sosok bercahaya yang kemudian membawanya masuk ke hadirat “Ahura Mazda”, atau Tuhan Yang Maha Pengasih. Pengalaman spiritual ini pernah dialami oleh Muhammad di Gua Hira ketika melihat penampakan “Namus”, yang di kemudian hari dikenal sebagai Malaikat Jibril.

Sejak masa itu, Zarathustra diperlihatkan pada kebenaran spiritual yang berbeda dari apa-apa yang selama ini dipikirkan dan ditelusurinya. Padahal, kala itu adalah abad ke-6 sebelum Masehi, ketika banyak orang masih menyembah berhala dan mempercayai banyak dewa-dewi selaku pemelihara dan penguasa semesta raya. Mereka juga percaya bahwa benda-benda di muka bumi ini memiliki ruh dan kehendaknya sendiri-sendiri.

Melalui wahyu dari Ahura Mazda, Zarathustra akhirnya meyakini bahwa Tuhan itu Esa, dan Dia memiliki kebenaran yang mutlak dan absolut. Ia juga meyakini bahwa segala sumber-sumber kebaikan itu berasal dari Yang Maha Pengasih (Ahura Mazda) tersebut.

Baca juga:  Ngaji Ramadan di Pesantren, Silaturahim Keilmuan ala Santri

Dalam analisis dan penelitiannya, Mary Boyce, melalui bukunya yang terkenal, A History of Zoroastrianisme, menyatakan tidak adanya catatan pasti kapan Zarathustra mulai turun lapangan dan menyebarkan ajarannya. Tetapi, dari catatan sejarah Yunani Kuno, tertulis dengan jelas bahwa Zarathustra telah menyebarkan ajaran monotheisme (keesaan Tuhan) sejak 6.000 tahun sebelum Plato, bahkan ada yang menyatakan sekitar 258 tahun sebelum era Alexander Agung.

Di tengah masyarakat Persia Kuno yang percaya pada benda-benda pusaka dan kekuasaan dewa-dewi (polytheisme), orang yang memiliki pola pikir yang progresif seperti Zarathustra bukanlah perkara mudah. Ia mengalami tekanan dan intimidasi di sana-sini, karena ajarannya dianggap baru, aneh dan langka. Hidupnya merasa terancam, hingga pernah melarikan diri ke salah satu negeri tetangga Persia, Chorasma, yang sekarang menjadi bagian dari negeri Iran. Kini, kepala daerahnya bernama Yasasp, juga masih penganut agama Zoroaster.

Di masa kejayaannya, agama Zoroaster tersebar luas hingga menjangkau wilayah kerajaan di sekitarnya, seperti Bactria, Sogdia, Ferghana, Parthia hingga wilayah selatan Margiana. Kerajaan-kerajaan itu kini menjadi bagian dari negara Rusia, Uzbekistan, Tajikistan, Turkmenistan, hingga Kirgizstan.

Kitab suci agama Zoroaster adalah “Avesta”, yang di dalamnya mengungkap surah-surah mengenai keesaan Tuhan, perbuatan baik dan buruk, hawa nafsu yang mendorong manusia pada kejahatan, nilai kebaikan yang dianjurkan Ahura Mazda agar menolak keburukan. Dalam hidupnya – menurut Avesta – manusia harus berusaha melawan niat-niat jahat yang berasal dari bisikan Angra Mainyu, karena dalam hidup manusia ada unsur “Spenta Mainyu” yang cenderung pada nilai-nilai kebaikan dan kemuliaan.

Konsep yang luhur itulah yang membuat banyak pemikir, filosof dan rohaniwan, menggolongkan Zoroaster sebagai agama Samawi yang lebih tua sebelum datangnya agama Yahudi, Kristen maupun Islam. Dalam ajaran Zoroaster juga disebut adanya kekuatan-kekuatan Tuhan (para malaikat), seperti pemberi wahyu, rizki, pencabut nyawa dan seterusnya. Dan mereka menyebutnya dengan istilah: Asha Vahista, Vohu Manah, Keshatra Vairya, Spenta Armaity, Haurvatat, dan Amertat. Dalam kitab Avesta juga dijelaskan mengenai konsep penciptaan dunia hingga adanya kebangkitan setelah mati, serta adanya pengadilan akhirat bagi para pelaku kebaikan dan kejahatan.

Baca juga:  Menemukan Keagamaan dan Kemanusiaan di Tengah Kecepatan

Dalam konsep penciptaan dunia, ajaran Zoroaster meyakini bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Ahura Mazda (Tuhan Yang Maha Esa), dan dunia ciptaan-Nya ini berdiri selama 12 ribu tahun. Pada 3 ribu tahun pertama, adalah masa ketika Ahura Mazda menciptakan alam semesta dan seisinya. Di masa ini, Angra Mainyu (Ahriman) muncul untuk menghancurkan ciptaan Ahura Mazda. Pada masa 3 ribu tahun berikutnya, Ahura Mazda dan Ahriman berdebat dan beradu kekuatan. Pada masa inilah siang dan malam tercipta, sebagaimana siklus terang dan gelap, suka dan duka, sehat dan sakit, lapang dan sempit dan seterusnya.

Pada masa 3 ribu tahun ketiga, adalah fase ketika Zarathustra lahir dan menerima wahyu. Kemudian, pada masa 3 ribu tahun, akan muncul para utusan Tuhan (Saoshayant) dalam tiap seribu tahun, yang kelak akan menyelamatkan manusia dari kehancuran yang diakibatkan ulah perbuatan Ahriman, hingga kemudian perdamaian sejati akan terwujud.

Menurut ajaran Zoroaster, tiga hari setelah wafat, roh manusia masih tinggal bersama tubuhnya. Pada hari keempat, ia diperintahkan berjalan menuju sebuah jembatan yang bernama Cinvat. Konsep Cinvat ini serupa dengan jembatan shiratul mustaqim (dalam Islam) untuk membuktikan apakah seseorang lebih cenderung pada bisikan Angra Mainyu (kejahatan) ataukah Spenta Mainyu (kebaikan).

Baca juga:  Tenaga dari yang Tiada: Hidup Mati Denmark-Inggris

Bagi para pelaku kebaikan, ia akan berada dalam rahmat Ahura Mazda, dan hidup dengan penuh kenikmatan dan kedamaian. Sementara, mereka yang cenderung pada Angra Mainyu (kejahatan) ia akan terjatuh dan terjerembab ke dalam tempat suram penuh api dan kesedihan, yang dalam ajaran Islam disebut neraka.

Dari wilayah Timur-Tengah, membentang ke wilayah Asia hingga Cina, kemudian tampillah era yang menyusul kelahiran Zarathustra ini sebagai “zaman poros” hingga mencapai 700 tahun sesudah masehi. Di India, setelah penyebaran ajaran Zoroaster, muncul pula seorang guru spiritual Shidarta Gautama, yang kemudian Confusius menyampaikan ajaran yang sehaluan di wilayah Cina. Hingga terciptalah mutasi radikal dalam evolusi iman dan kepercayaan pada Yang Maha Esa (monotheisme), yang kemudian menentukan sejarah hidup umat manusia, baik di Barat maupun di Timur.

Yang menjadi pertanyaan sekarang: apakah Zarathustra atau Alexander Agung itu adalah seorang nabi? Apakah Confusius, Shidarta Gautama maupun Sokrates juga adalah seorang nabi? Saya tidak tahu, dan Anda pun tak punya hak apapun untuk mengklaim bahwa mereka itu bukan para nabi. Sebab, Allah sudah menegaskan dalam firman-Nya (surah al-Mu’min: 78), bahwa sebagian dari para nabi itu telah Aku kisahkan dalam Alquran, tetapi sebagian besar sengaja tidak Aku kisahkan di dalamnya.

Kini, segala hal yang bersifat mitologis, semakin dipahami secara lebih dewasa dan bertanggungjawab. Dalam iklim monotheisme ini (terlebih di era Muhammad), segala keruwetan polytheisme, keparcayaan pada dewa-dewi berikut segala takhayul yang menyertainya, kini diolah secara lebih baik dan terarah. Sampai kemudian, semakin bermuara pada penghargaan dan penghormatan yang tinggi terhadap kedaulatan pikiran dan perasaan umat manusia di muka bumi ini. (*)

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top