Sedang Membaca
Muhammad SAW menurut Karl Marx
Ali Makhrus
Penulis Kolom

Kelahiran Dusun Godongan Desa Purworejo Kecamatan Geger Kabupaten Madiun, Kampoeng Pesilat. Lulus Strata-1 dari Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah al-Urwatul Wutsqo (STIT-UW) Jombang. Alumnus Pondok Pesantren Riyadlul Mubtadi’in (PPRM) Desa Laju Kidul, Singgahan, Tuban. Mahasiswa Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini sedang fokus mendalami Kajian Peace Building & Conflict Resolution dalam rangka ikut serta membangun harmoni keragaman identitas Perguruan Pencak Silat di Eks-Karesidenan Madiun.

Muhammad SAW menurut Karl Marx

Nabi Muhammad SAW dan Karl Marx adalah dua sosok manusia yang tidak dipertemukan dalam satu kurun waktu yang sama. Namun ide-ide keduanya telah menembus batas ruang dan waktu sejak mereka dilahirkan hingga sekarang. Karl Marx adalah sosok manusia yang mengkritik habis agama.

Bagi Marx, agama hanyalah instrumen superstruktur untuk mengeksploitasi manusia. Ekonomi dan akses produksi hanya dikuasai oleh aristokrat/kaum feodal alias borjouis yang tidak punya rasa puas mengeruk keuntungan dengan memperbudak manusia lainnya (proletar) (Gill Branston; Roy Stafford, 2003: 117).

Karena waktu itu, agama Kristen hanya dijadikan kedok memperoleh keuntungan oleh pihak gereja, dengan menyelingkuhkan diri dengan pemilik modal melalui transaksi jual-beli fatwa-fatwa kekristenan. Bukan lantas Mark anti-agama, melainkan dia apresiatif dengan agama, yang juga dapat menjadi dasar-dasar revolusi. Itu adalah cara Marx dalam melawan ketidakadilan.

Nabi Muhammad, dalam common sense umat Islam dunia, merupakan sosok revolusioner sejati yang melawan struktur ketidakadilan yang telah mapan di Makkah. Kebiasaan orang melihat Muhammad SAW karena dia adalah seorang utusan yang mengemban amanah keilahian bagi kebaikan kehidupan manusia.

Dogma agama Islam memang dominan dalam menggiring pandangan kaum Muslim menuju satu persepsi bahwa Muhammad adalah manusia yang sudah dari asalnya suci. Hal ini akan berbeda jika frame work Marx yang digunakan untuk melihat Nabi Muhammad SAW.

Kaum Marxian melihat Nabi dalam konteks dialektika historis yang berhasil membentuk beliau sebagai sosok dengan karakter revolusiner. Uraian tersebut dapat kita nikmati dalam buku Syed Ameer Ali dalam The Spirit of Islam atau versi terjemahan “Api Islam”. Kobaran perang ideologis di tanah Hijaz adalah lonceng keruntuhan kekuasaan yang mendominasi dan menghegomoni orang-orang lemah (mustadh’afīn).

Baca juga:  Demi Umat, Lelaku Pemimpin Sejati

Sebab, kemenangan orang-orang mustakbirin (borjouis) kala itu menyebabkan kelas proletar meyakini apa yang sedang mereka alami adalah sesuatu yang nyata (obvius) dan harus diterima tanpa protes (natural). Atas nama banyak tuhan, mereka terus melegitimasi ide tersebut seraya mengatakan, the eart was made by god (apa yang terjadi di bumi ini adalah ketentuan tuhan).

Pada konteks sejarah, maka kita akan menikmati seni perang ideologi dan kekuasaan yang eksotis dicontohkan Nabi. Paham politeisme bangsawan arab dihantam dengan ideologi monoteisme rumusan Muhammad. Menurut Syed Ameer Ali, konsepsi ideologis tersebut tidak serta-merta take for granted dari langit.

Akan tetapi, ia merupakan satu kesatuan proses sejarah dan pergulatan ideologis-spiritual Nabi yang telah dia peroleh sejak masa kanak-kanak hingga dia berhasil meletakkan dasar-dasar kehidupan masyarakat tanpa kelas dan yang membedakan hanyalah ketakwaan.

Sekat-sekat qobilah telah nabi hancurkan. Salah satunya dengan pernikahan silang antarqobilah. Tindakan berani tersebut dilakukan nabi pasca tiba di Madinah. Hal tersebut merupakan upaya-upaya negoisasi dan pembangunan kesadaran kultural sebagaimana seruan Gramsci (1891-1937) dalam rangka menyebarkan ide-ide melalui sistem nilai (agama), kelompok partikular sosial dan nilai-nilai budaya.

Artinya, pertentangan tidak hanya melulu soal ekonomi (produksi dan akses produksi) sebagai basis struktur, melainkan persoalan agama, budaya dan kelompok sosial kecil yang ingin berjuang.

Selain ide tauhid, Nabi juga menyebarkan ide-ide sosial melalui instrument ISAs (Ideological State Apparatus) meliputi institusi keluarga, media, organisasi, agama dan sistem pendidikan. Hanya saja, pandangan penulis, Nabi tidak seacara total menggunakan RSAs (Represive State Aparatus) dalam hal ini hukum, penjara dan kekuatan tentara kecuali pilihan terakhir.

Baca juga:  Haul Nurcholish Madjid (5): Cak Nur Membuatku Hijrah, dari HTI ke HMI

Pola-pola ini nabi berlakukan setelah ideologisasi telah mencapai batas cukup, yakni ketika deklarasi Negara Madinah berhasil serta fondasi negara terbentuk dengan kehadiran “Piagam Madinah”. Itu pun, dengan catatan sebagaimana dalam yang populer dikalangan ulama ushul fiqh, adra’ul hududa ma istatha’tum (hindarilah eksekusi selama kalian mampu).

Dengan demikian, bagi Marx, Nabi Muhammad adalah sosok representasi kelas tertindas yang mampu membalikkan keadaan. Hal tersebut dapat ditelusuri dari dinamika kehidupan beliau yang telah lama bergaul dengan berbagai kelas sosial baik sebagai peminum susu Tsuwaibah Aslamiyah yang merupakan seorang budak Abu Lahab, hidup di kampung Halimah yang miskin selama empat tahun lebih.

Kemudian ekspedisi dagang nabi ke berbagai tempat dan Negara. Sebagaimana uraian Syed Ameer Ali, Nabi sesak dada melihat penampakan sosial yang tidak bermoral dan arogan.

Selain itu, pengalaman berpolitik Hizbul Fudhul, konflik kepentingan peletakan Hajar Aswad, kesaksian nabi atas tindakan amoral di sekeliling Kakbah dan Pasar Ukaz, kecurangan-kecurangan ekonomi, kesombongan kelas, dan masih bnayak fakta-fakta sejarah lainya, dan itu adalah bagian tidak terpisahkan atas Nabi.

Selanjutnya, Nabi berkesimpulan, ide tauhid adalah kunci perang semesta melawan ide politeistik penyebab segala kejumudan dan ketimpangan sosial yang ada pada saat itu. Selanjutnya, wasilah-wasilah ideologis nabi mapankan satu-persatu, meliputi pendidikan, ekonomi, politik, sosial, hukum, budaya, moral dan seterusnya.

Baca juga:  Ada Karl Marx di Pojok Pesantren

Terakhir, apa yang telah dialalui Nabi di masa itu, merupakan contoh ideal sehingga Raden Mas Panji Sosorokartono merefleksikan itu dalam rupa falsafah Jawa yang tidak asing di telinga kita, yakni “Sugih tanpo bondo, digdoyo tanpo aji, ngulurug tanpo bolo, menang tanpo ngasorake, trimah mawi pasrah, sepi pamrih tebih ajrih, langgeng tanpo susah, tanpo seneng, antheng mantheng, sugeng jeneng”.

Allahumma Sholli wa Sallim wa Barik Alaih. Wallahu A’lam bi al– Showab

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
2
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top