Di dalam Al-Quran terdapat tujuh kata yang berakar dari lafal “ba’al”. Masing-masing ialah QS. al-Baqarah: 228; QS. an-Nisaa: 128; QS. Huud: 72; QS. An-Nuur: 31 disebut 3 kali; dan QS. as-Shaffat: 125. Secara harfiyah lafal “ba’al” (kata dasar tunggal) atau “bu’ul” (kata dasar jamak) berarti: suami dan Tuhan.
Dalam artian “suami”, dipahami ada perbedaan mendasar antara penggunaan kata “ba’al” dengan kata “zawj”.Di dalam al-Quran kata “zawj” digunakan jika suami atu rumah tangga bersama istri atau masih sejoli (muttafaqah wa mustaqarrah). Sementara jika sudah tidak memungkinkan “muttafiqah wa mustaqirrah” maka istilah suami di dalam Al-Qur’an disebut “ba’al” atau “bu’ul”.
Siapa saja suami yang disebut ba’al?
QS. al-Baqarah: 228; QS. an-Nisaa: 128; dan QS. An-Nuur: 31 disebut 3 kali adalah sebutan bagi pria yang memiliki istri lebih dari satu atau pria yang menduakan cintanya. Adapun khusus QS. Huud: 72 yang menceritakan Nabi Zakaria dengan istrinya, di mana Nabi Zakaria disebut “ba’al” oleh istrinya sebab pada saat itu beliau sudah hidup menyendiri (uzlah) dari urusan dunia termasuk berhubungan dengan istrinya.
Dengan kata lain, karena Nabi Zakaria sudah “mandito” maka beliau disebut “ba’al”. Sementara istrinya sendiri disebut dalam Al-Qur’an dengan “imroatuhu” (istrinya). Kondisi manusia yang sedang laku “mandito” erat kaitannya dengan konsep “ba’al” dalam dunia spiritual di jaman Bani Israil. Seperti dijelaskan dalam QS. as-Shoffat: 125, di jaman Nabi Ilyas terdapat patung di kota Ba’labak yang disembah Bani Israil karena mereka menganggap dalam pating itu bersemayam Dewa yang meraka sebut dengan “ba’al”.
Jadi, ketika Al-Qur’an menyebut suami dengan lafal “ba’al” prinsipnya dalam keluarga itu sudah tidak ada keharmonisan dan kesetaraan hubungan suami-istri. Termasuk suami yanģ menduakan cintanya, maka dia adalah “ba’al”. Dengan kata lain Al-Quran sesungguhnya “menyindir” hai kamu para suami yang “ba’al”!
Disindir semacam itu, ada kalanya kelompok laki-laki yang bangga merasa superior, tapi adakalanya, semacam saya, justru risih. Kenapa? Karena “ba’al” di kampung Betawi berarti “kaku” tak punya rasa. Wallahu a’lam