Pada muktamar ke-34 Nahdhatul Ulama di Lampung kemarin, KH. Yahya Cholil Staquf atau akrab dipanggil Gus Yahya terpilih sebagai Ketua Umum PBNU masa khidmah 2021-2026, mendampingi KH. Miftakhul Akhyar sebagai Rais Aam. Gus Yahya terpilih setelah mengungguli perolehan suara KH. Said Aqil Siradj, ketua umum sebelumnya, pada putaran kedua. Setelah pemilihan usai, kedua calon ketua umum tersebut saling bersalaman dan saling memeluk –terekam pula bagaimana Gus Yahya mencium tangan Buya Said-, sebagai isyarat muktamar telah mencapai puncak dengan suasana yang sejuk, menggembirakan, dan penuh takdim.
Gus Yahya muncul sebagai kandidat ketua umum PBNU, dan pada akhirnya terpilih, bukan berangkat dari ruang hampa. Sejak tahun 2010, Gus Yahya diajak KH. Sahal Mahfudh, Rais Aam waktu itu, untuk menjadi jajaran katib syuriah dalam kepemimpinanya. Gus Yahya tidak pernah absen ikut muktamar NU, sejak muktamar ke-26 di Semarang. Beliau merupakan putra, keponakan, cucu, dan cicit kiai-kiai besar asal Rembang. Serta menulis buku Perjuangan Besar Nahdhatul Ulama pada tahun 2020. Jadi, beliau memang pantas muncul sebagai kandidat Ketum PBNU, baik secara historis, pengalaman organisasi, maupun tawaran gagasan.
Pemimpin yang baik memang bukanlah ia yang terbukti bisa mengorganisir berbagai elemen dalam organisasi saja, tetapi ia yang juga menawarkan gagasan besar sebelumnya. Dan NU tidak kekurangan pemimpin yang seperti ini sepanjang sejarahnya. Dulu, Gus Dur terpilih sebagai ketum PBNU setelah menawarkan gagasan kembali ke khittah. Sedangkan sekarang, muncul Gus Yahya. Gus Yahya secara jelas dan gamblang menawarkan gagasan-gagasan besarnya untuk NU melalui tulisan dan wawancara. Pemikiran Gus Yahya untuk NU ke depan bisa dibaca dalam Perjuangan Besar Nahdhatul Ulama yang ditulisnya.
Di dalam buku ini, Gus Yahya merumuskan makrifat jam’iyyah Nahdhatul Ulama. Makrifat jam’iyyah ini muncul berangkat dari perenungan atas hadits “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhanya”. Gus Yahya merasa NU sebagai identitasnya, maka beliau berkesimpulan, “Tidak mungkin saya mencapai makrifat diri (ma’rifatun nafs), tanpa makrifat NU (ma’rifatul jam’iyyah)”. Maka berangkat dari sana, bisa dibilang makrifat organisasi NU adalah upaya untuk mengenal hakikat, posisi, dan tugas NU, sebagai bagian dari upaya untuk mengenal diri sendiri (siapapun yang merasa NU sebagai identitasnya) dan mengenal Tuhan.
Makrifat Organisasi NU
Makrifat NU ini dibangun dari dua hal dalam istilah Jawa, yaitu makrifat jati dan makrifat dharma. Makrifat jati artinya mengenali hakikat diri, sedangkan makrifat dharma diartikan sebagai mengenali tugas atau peran yang dibebankan Tuhan dalam keberadaan diri. Keduanya mesti dicapai oleh seorang hamba dalam pergulatan untuk mencapai ma’rifatullah. Dari kedua hal ini, Gus Yahya kemudian merumuskan poin-poin atau saripati dari makrifat organisasi yang ia maksud, berdasarkan sejarah, konteks sosial politik, motto organisasi, tradisi, serta konsekuensi pengelolaan dan pengembangan organisasi NU, yang dijelaskan secara panjang lebar dalam buku ini.
Gus Yahya memulainya dengan menyatakan NU adalah keseluruhan perkauman yang merupakan bibit peradaban, seperti Bani Israil dibawah pimpinan Nabi Musa AS. yang melawan tirani Fir’aun, seperti kaum Muhajirin dan Anshar di bawah bimbingan Nabi Muhammad SAW. melawan kejahiliyahan kafir Quraish dan menyebarkan Islam rahmatan lil alamin pada dunia, seperti rombongan Raden Wijaya yang berhijrah dan membedah Maja sebagai cikal bakal Majapahit yang berhasil menyatukan Nusantara dan mendapat reputasi dunia.
NU lahir saat Kekhalifahan Turki Utsmani yang bertahan setengah abad lebih runtuh akibat menelan kekalahan perang dunia pertama. Wilayah kekuasaanya kemudian diduduki oleh negara-negara Eropa yang muncul sebagai pemenang, dan Eropa kemudian mensponsori lahirnya Saudi Arabia dengan menyerahkan kekuasaan pada orang-orang Najed, bukanya Syarif Husein, serta di tengah-tengah Timur Tengah yang terbelah itu, Eropa mensponsori berdirinya Israel. Pada tahun 1926, NU lahir atas restu dan istikharah Syaikhona Kholil dengan isyarat Al-Qur’an Surah As-Shaf (61) ayat 8. Dimana yang diharapkan para muassisnya, NU bisa menjadi wasilah untuk menyempurnakan cahaya Allah. Inilah tugas sejarah yang menurut Gus Yahya mesti dilunasi dengan segala kompleksitasnya.
Karena itu, menurut Gus Yahya, secara hakiki lingkup “tempat tinggal” dan kiprah NU sejak de facto keberadaanya adalah keseluruhan peradaban dunia, bukan hanya Nusantara, Indonesia, apalagi hanya sub-kultur pesantren. Cita-cita dan perjuangan NU mesti diarahkan pada transformasi masyarakat dari kemapanan peradaban lama menuju fajar peradaban baru yang penuh harapan, dengan NKRI yang kokoh sebagai titik tolaknya. Maka dengan begitu, NU terus berkomitmen menjaga dan membangun NKRI, sebagai bagian dari cita-citanya menjadi wasilah menyempurnakan cahaya Allah pada peradaban dunia.
Dalam memperjuangkan cita-cita itu, NU bekerja dengan dipandu oleh nilai-nilai aswaja dengan warisan tradisi pesantren sebagai habitus (modal budaya), yang termasuk didalamnya kemampuan bashirah ruhaniyah (ketajaman mata batin) dari ulama shalihin. Sementara upaya untuk mentransformasikan masyarakatnya dicapai melalui vokasi (kemampuan menangani masalah di berbagai bidang) dan advokasi (dukungan dan pembelaan) terhadap kebijakan-kebijakan publik yang relevan. Transformasi masyarakat itupun menuntut NU mentransformasi organisasinya secara tangkas, ulet dan luwes, menghadapi dinamika perubahan masyarakat pada era milenial ini, yang skala kompleksitas akselerasi kecepatanya belum pernah ada presedenya dalam sejarah.
Dalam proses memperjuangkan cita-citanya, NU mesti menetapkan agenda-agenda strategis dan prinsip-prinsip pengelolaan eksekusinya, yang berorientasi bentuk-bentuk kegiatan (output) dan proyeksi dampak (outcame) yang konkret dan terukur. PBNU, difungsikan sebagai pemimpin mobilisasi sumber daya dan mendistribusikanya kepada lembaga, banom, PWNU dan PCNU, dengan pengurus cabang-cabang menjadi ujung tombak eksekusi program, sementara pengurus wilayah bertugas untuk mengkonsilidasikan cabang-cabang dan menjadi simpul koordinasi dalam pelaksanaan.
Gus Yahya memimpikan NU dalam menghadapi tantangan masa depan, harus sejak sekarang mendorong lahirnya kebangkitan intelektualisme, teknokrasi dan kewirausahaan melalui wahana-wahana kaderisasi yang ada, baik struktural (kegiatan pelatihan regular) maupun kultural (pesantren-pesantren). Dengan mengenal organisasi atau makrifat jam’iyah NU melalui poin-poin yang dirumuskan Gus Yahya, langkah selanjutnya tentu tidaklah mudah. Yakni mengenai bagaimana NU bergerak dan bertransformasi setelah memahami makna diri dan fungsinya pada peradaban dunia. Cita-cita itu sudah diraih satu langkah dengan terpilihnya Gus Yahya sebagai Ketum PBNU, yang berarti kemenangan akan ide dan gagasan transformasi NU pada peradaban dunia baru. Tinggal selanjutnya, mari melihat dan membantu Gus Yahya mewujudkan cita-citanya untuk NU dan dunia. Wallahu a’lam bish showab.