Sedang Membaca
Dimensi Mistik Haji dalam Kitab Primbon Sembahyang
Alfi Saifullah
Penulis Kolom

Alumnus Ponpes Manbaul Ulum Batu. Penulis Kolom dan Buku Biografi, salah satunya "Raden Panji Iskandar Sulaiman: Jejak-jejak perjalanan santri Hadratussyaikh Hasyim Asy'ari". Tinggal di Kota Batu, Jawa Timur. Instagram: saif.ullah1090.

Dimensi Mistik Haji dalam Kitab Primbon Sembahyang

Dimensi Mistik Haji dalam Kitab Primbon Sembahyang

Dalam khazanah kitab-kitab Nusantara, ibadah haji mendapatkan perhatian khusus dari para ulama. Bukan saja karena jamaah Haji Indonesia terbanyak sedunia, namun kepakaran dan produktivitas ulama-ulama Nusantara dalam menghasilkan kitab tidak perlu diragukan.

Misalkan saja, Manasik Al-Haj wa Al-Umroh karya Syaikh Muhammad Sholih bin Umar As-Samaroni atau Mbah Sholeh Darat, Tuntunan Masik Ringkes dan Mudzakiroh Juyubil Hujaj karya K.H. Bisri Musthofa Rembang, Risalah Rahasia Haji dan Umrah karya K.H. Muhammad Syukri Unus Martapura, dan Majmu’ Kitab Primbon Sembahyang.

Judul kitab yang terakhir ini tergolong unik. Dengan ketebalan 240 halaman, kitab yang diterbitkan Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan Surabaya tersebut tidak mencantumkan siapa penulisnya alias anonim. Hanya diketahui kapan kitab itu selesai ditulis, yakni 1350 H (hlm 240). Dalam penelitiannya yang berjudul Studi Hermeneutika Terhadap Primbon Sembahyang Karya Sunan Kalijaga, Siti Fatimah mengatakan, penulis Primbon Sembahyang adalah Sunan Kalijaga, salah satu anggota Walisongo. Ia merujuk halaman 145, yang mana terdapat sub judul berbunyi, Punika berkah saking Sunan Kalijaga Demak.

Rupanya ia kurang jeli dalam membaca. Bukan Sunan Kalijaga yang menulis kitab, namun tuntunan mendirikan rumah pada bab tersebut merupakan wejangan yang dinisbatkan kepada Sunan Kalijaga. Siti juga lupa, di dalam Primbon terdapat bacaan Ratibul Haddad (hlm 92) karya Habib Abdullah Al-Haddad (w 1720), tokoh yang baru lahir setelah 42 tahun Sunan Kalijaga wafat (w 1592).

Ditinjau dari isinya, kitab ini tak jauh berbeda dengan kitab Perukunan Melayu yang populer di daerah rumpun Melayu. Isinya menguraikan ibadah keseharian seperti shalat, puasa, zakat, doa-doa, dan bab nikah. Karena berjudul Primbon, kitab ini cukup unik terdapat berbagai perhitungan mistik seperti, hari baik, gerhana, neptu dan sejenisnya (hlm 136-163). Secara umum, Primbon sendiri terambil dari kata imbon yang arti literalnya mengeram. Adapun dalam kamus Bahasa Jawa Primbon mempunyai arti, “buku utawa layang sing ngemot petungan, pethek lan sakpinunggale.(buku atau tulisan yang memuat berbagai perhitungan dan sejenisnya). Diberi judul Primbon bukan Risalah, Majmu’, atau Kitab, mungkin sasaran pembaca yang hendak dituju bukan kelompok santri, akan tetapi kalangan Abangan. Dengan mencantumkan bab-bab mistik, diharapkan kalangan Abangan lebih tertarik, lebih akrab dengan nilai-nilai Islam.

Baca juga:  Kenapa Santri Tidak Menguasai Sains, padahal di Kitab Kuning Melimpah?

Pembahasan haji di dalam Primbon Sembahyang relatif lengkap, dimulai dari pembahasan secara fiqh, tasawuf, hingga mistik (hlm 200-237). Besar kemungkinan, pembahasan haji dan umrah dalam kitab ini mengacu terhadap Kitab Manasik Al-Hajj karya Imam Khatib Asy-syarbini (w 977 H), pengarang Kitab Mughni Al-Muhtaj. Sebab, dalam judul besar bab haji tertulis, Manasik Syarbini, wa atimmu Al-Hajja wa Al-Umroh lillah (hlm 200).

Usai menyebutkan syarat, rukun, dan wajib dalam haji dan umroh, penulis kitab menguraikan panjang lebar dimensi mistik Ibadah haji,

“Ibadah haji iku faidahe dadi isyaroh maring netepi panejane ing dalem olehe ing Allah kelawan temen riyadlohe. Lan olehe mbeningaken atine. Maka setuhune wong iku ora bisa tumeko maring Allah anging kelawan ngedohi ing hawa nafsune, tegese nyegah saking nginakaken nafsu lan ngerekso dzorurot ing dalem muhung ing Allah.

Ibadah haji itu berfaidah. Menjadi pertanda akan kuatnya tujuan hidup hanya kepada Allah semata. Melalui kuatnya riyadloh, serta menjernihkan hatinya. Maka sesungguhnya orang tersebut tidak bisa sampai kepada Allah, kecuali dengan menjauhi hawa nafsu. Maksudnya menghindari hinanya nafsu dan menjaga kedaruratan di dalam menghadap Allah (hlm 201).

Pada intinya pengarang kitab hendak menekankan, bahwa ibadah haji hendaknya jangan dipandang dari aspek fisik semata, namun semua rangkaian proses ibadah haji merupakan perjalanan salik untuk wusul menuju Allah. Karena seseorang harus menghilangkan hijab (penghalang) antara dirinya dengan Allah. “Lan anging pestine aling-aling ira iku saking nafsu sira dewe,dan yang pasti penghalang tersebut tiada lain nafsumu sendiri (hlm 202).

Baca juga:  Tentang al-Ghazali dan Pelajaran Filsafat di Pesantren

Jika hati sudah bersih dari kotoran nafsu, maka jangan melihat orang-orang yang haji dengan penglihatan lahir atau batin semata. Lihatlah dengan penglihatan batin dengan yang haq, “ningali haq belaka subhanahu wata’ala,(hlm 203). Penglihatan yang haq adalah melihat bahwa adanya gerak, diam, dan segala kemungkinan yang ada semata-mata dari Allah semata. Karenanya gerak diammu harus diarahkan hanya untuk Allah (hlm 205).

Yang lebih uniknya lagi, pengarang kitab memberikan sebuah ilustrasi tentang goal setting yang hendak dicapai dalam haji. Ilustrasi tersebut berupa gambar sebuah bunga didalam pot (hlm 208).

Whatsapp Image 2025 06 08 At 08.37.34
Ilustrasi ikhlas.

Ini adalah merupakan metafora tentang konstruksi ibadah haji secara keseluruhan. Syarat haji diibaratkan tanah sebagai media tanam. Rukun dan wajib haji dengan batang dan ranting. Sebaliknya sunnah-sunnah dalam haji disimbolkan dengan daun. Dan yang paling puncak, buah atau bunga sebagai simbol keikhlasan, tujuan utama yang hendak digapai.

Keikhlasan, dalam pengertian ini, adalah saat seseorang melepas dirinya sendiri. Saat tak ada lagi pengakuan, yang ada hanya kehendak untuk menyatu. Untuk thawaf di sekitar Tuhan, bukan di sekitar ambisi manusia.

Namun di dalam ilustrasi tersebut, pengarang mencantumkan bait ke-9 dari nadzom Zubad karya Ibnu Ruslan yang berbunyi,

ﺃﻋﻤﺎﻟﻪ ﻣﺮﺩﻭﺩﺓ ﻻ ﺗﻘﺒﻞ  # ﻭﻛﻞ ﻣﻦ ﺑﻐﻴﺮ ﻋﻠﻢ ﻳﻌﻤﻞ

Baca juga:  Buah Ngaji Filsafat, Lahir Buku Ideologi-Politik dan Ketuhanan

Dan setiap orang yang beramal tanpa disertai dengan ilmu maka amalnya akan tertolak lagi tidak diterima.

Secara eksplisit penulis kitab hendak menegur dengan halus. Ia seakan berkata, “Ora ono haji kang mabrur yen ora sinau dhisik” (tidak ada haji yang mabrur jika tidak belajar terlebih dahulu). Ini bukan untuk menggertak orang dengan dalil, tetapi untuk menuntun kepada pemahaman yang jujur tentang makna ibadah. Karena ilmu mendahului amal. Tanapa ilmu, amal hanyalah gerak tanpa arah.

Alhasil, kitab Primbon Sembahyang dengan cara yang sederhana, mengingatkan kita untuk meraih buah ibadah haji. Karena haji sejatinya, bukan berapa kali ke Makkah. Bukan gelar, pujian, dan kebanggaan. Tetapi perjumpaan hamba dengan Tuhan, keadaan batin yang sunyi, jernih, dan pasrah. Dan itu semua tampak dari seberapa jauh kita berubah setelah kembali. Pada akhirnya semua kembali pada satu kata yang ditekankan pada kitab ini: ikhlas. Wallahu a’lam.

 

Bahan Bacaan

Anonim, 1931, Majmu’ Kitab Primbon Sembahyang, Surabaya: Maktabah Muhammad bin Ahmad Nabhan.

Siti Fatimah, 2020,  Studi Hermeneutika Terhadap Primbon Sembahyang Karya Sunan Kalijaga, Skripsi IAIN Jember.

Tim Penyusun, 2005, Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa). Yogyakarta: Kanisius.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Scroll To Top