Keramaian berupa tanggapan atas kebijakan sastra masuk kurikulum yang dicanangkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) agaknya meninggalkan satu hal yang kurang disorot. Hal tersebut berupa tantangan bahasa di kalangan anak-anak dalam arus perubahan zaman yang kita ketahui bersama makin kompleks. Salah satu parameter yang menunjukkan itu berupa dinamika sains yang kemudian memberikan efek pada kemunculan teknologi baru yang canggih.
Sebermula kita harus sadar, bisa jadi salah satu maksud Kemendikbudristek atas program tersebut adalah mengupayakan anak-anak akan tantangan kesenjangan bahasa. Posisi ini memberi beban keberadaan sastra yang berguna bagi anak-anak beserta guru maupun orangtua untuk berkolaborasi sadar terhadap keaksaraan. Maka, kita boleh sepakat, politik keaksaraan adalah sesuatu yang penting kita telaah dalam situasi dan kondisi tersebut.
Betapapun kita tak dapat memungkiri akan peranan sastra terhadap pertumbuhan fisik maupun mental dari seseorang. Hal itu mengingatkan esai yang pernah ditulis oleh filsuf perempuan dan astronom Karlina Supelli. Di Majalah Basis edisi No 05 – 06, Tahun 2015, ia menulis esai berjudul “Martha Nussbaum: Merawat Imajinasi dan Pendidikan Keadilan”. Dengan detail dan lengkap, ia membabarkan gagasan seorang pemikir kelahiran Amerika Serikat pada 6 Mei 1947 tersebut mengenai peranan sastra bagi anak.
Karlina menjelaskannya dalam keterangan berupa: “Dengan uraiannya cukup panjang tentang peran dongeng, lagu, tarian dan buku-buku sastra bagi anak-anak serta remaja sesuai usia dan tahap perkembangannya, Nussbaum hendak menunjukkan bahwa dasar bagi civic imagining, yakni kemampuan untuk membayangkan kehidupan publik yang beradab, perlu dibentuk sejak anak-anak.” Pernyatan itu relevan dengan apa yang jauh-jauh hari dipesankan oleh Ki Hadjar Dewantara mengenai pendidikan anak dan relasinya terhadap negara.
Pada Kongres Permufakatan Persatuan Pergerakan Kebangsaan Indonesia ke-I di Surabaya, 31 Agustus 1928, Ki Hadjar menyampaikan prasaran berjudul “Pendidikan dan Pengadjaran Nasional”. Ia menyebutkan, “Mendidik anak itulah mendidik rakjat. Keadaan dalam hidup dan penghidupan kita pada djaman sekarang itulah buahnja pendidikan jang kita terima dari orang tua pada waktu kita masih kanak-kanak. Sebaliknja anak-anak jang pada waktu ini kita didik, kelak akan mendjadi warganegara kita.”
Sejarah berlalu, anak-anak Indonesia mendapati pola yang menarik dalam tumbuh dan kembangnya. Selain kesusastraan, anak-anak dibesarkan dengan kehadiran lagu-lagu dan permainan tradisional guna mengerti dan mendalami relasinya terhadap lingkungan. Hal tersebut amatlah menarik, terlebih tatkala kita menengok beberapa kasus di Amerika. Misalkan lewat buku garapan Neil Postman (1994)—terjemahan bahasa Indonesia, Selamatkan Anak-anak (2009)—yang mengurai bagaimana ada keterlambatan pola asuh anak di Amerika.
Kendati demikian, kita tak boleh bernapas lega. Sebab, perubahan global menjadikan dunia menghadapi tantangan yang sama. Pada tarikan akan perubahan teknologi, satu fakta yang tak bisa ditampik adalah persoalan kebahasaan. Kenyataan itu berupa generasi di zaman ini terbiasa dalam pengoperasian fitur teknologi dan media sosial, namun memiliki peluang besar akan kehilangan bahasa—baik di lingkungan sekitar maupun secara luas atas nasionalisme.
Gejala tersebut digambarkan Nicholas Carr dalam bukunya The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita? (Mizan, 2013), akan kemungkinan-kemungkinan teknologi berpengaruh pada cara berbahasa kita. Dalam penjelasan Carr, “Teknologi-teknologi itu bisa memperbesar atau memperkecil kosakata kita, mengubah aturan diksi atau susunan kata, atau mendorong pembentukan sintaksis yang lebih sederhana atau lebih rumit.”
Ketakutan kita, pun juga pada kalangan anak-anak adalah keterasingan yang dialami berkemungkinan mendapati kemunduran akan perubahan bahasa. Alih-alih teknologi mendukung proses tumbuh dan kembangnya, namun kita patut sadar, tanpa kontrol justru menjadikannya stagnan dan terlampau jauh akan perubahan di dunia nyata yang terjadi. Laporan The Future of Jobs 2020 yang disampaikan World Economic Forum (WEF) menarik untuk disimak.
Bahwa setidaknya mulai tahun 2025 disebutkan kehidupan dunia akan menghadapi situasi 85 pekerjaan yang tergantikan oleh mesin. Di sisi lain, terdapat 95 juta jenis pekerjaan baru. Untuk menghadapi situasi tersebut, dalam laporan tersebut juga mendata kecakapan apa saja yang mutlak diperlukan sebagai bagian adaptasi terhadap perkembangan zaman. Dari sekian daftar, beberapa di antaranya adalah: (1) Berpikir kritis dan analitis, (2) Kreativitas, originalitas, dan inisiatif, (3) Memiliki ide-ide dan penyelesaian masalah, serta (4) Kecerdasan emosional.
Dengan mempertimbangkan, kita boleh menduga bahwa hal tersebut dapat dijembatani dengan penghadiran sastra. Artinya, fungsi kerja dari sastra tak melulu pada penyadaran ingatan dan gambaran imajinasi dari masa lalu. Namun, melainkan dari itu membutuhkan telaah lebih mendalam guna menunjukkan relevansinya terhadap perkembangan zaman. Itu mengacu pada sastra masuk kurikulum ke depannya juga menaruh gagasan pertumbuhan sastra yang relevan. Cara penyuguhannya didasarkan bangunan imajinasi, kreativitas, dan daya pikir untuk bekal membaca dan menapaki hari-hari depan.
Hal itu membawa bagaimana kepentingan pemerintah akan pengarusutamaan sastra terus terintegrasi pada perkembangan keilmuan, tak terkecuali lanskap sains dan teknologi. Sastra kemudian menjadi sebuah daya tawar yang menarik dan menjadikan banyak pihak mementingkan di zaman ini. Bagaimana ketakutan dan kekhawatiran yang dihadirkan pada perubahan teknologi tidak serta merta menjadikan kita hanyut terbawa arus. Namun, di sana ada dinamika dalam proses tumbuh dan kembang menjadi seorang warga negara dengan terus mengingat akan sisi kemanusiaan.[]