Di tengah derasnya arus modernisasi dan meningkatnya isu intoleransi, masih ada secercah harapan yang tumbuh dari akar budaya masyarakat. Salah satunya datang dari Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah, lewat sebuah tradisi unik bernama Wungon. Tradisi ini bukan sekadar upacara malam tirakatan sebelum HUT RI, melainkan juga wadah pembelajaran hidup yang sarat dengan nilai pendidikan multikultural mengajarkan bagaimana masyarakat berbeda agama, suku, dan latar belakang bisa hidup rukun dalam satu harmoni.
Wungon berasal dari kata Jawa “uwung” yang berarti tidak tidur semalam suntuk (KBBI Online, 2023). Dalam praktiknya, masyarakat berkumpul di balai desa atau halaman rumah warga untuk berdoa, berdzikir, membaca tahlil, menyanyikan lagu-lagu kebangsaan, dan makan bersama hingga larut malam.
Tak hanya umat Islam yang hadir, warga non-Muslim pun ikut serta dalam suasana penuh keakraban. Mereka bertukar makanan, saling memberi ucapan selamat, dan tertawa bersama tanpa sekat keyakinan. Di sinilah nilai toleransi dan inklusivitas benar-benar hidup, bukan sekadar slogan. Wungon menjadi panggung sederhana tempat masyarakat belajar bahwa perbedaan bukan untuk dipertentangkan, melainkan dirayakan bersama.
Tradisi ini sekaligus menjadi ruang pendidikan sosial bagi generasi muda. Anak-anak dan remaja diajak ikut serta dalam lomba agustusan, menyanyikan lagu nasional, hingga menyiapkan tumpeng bersama orang tua mereka. Melalui kegiatan itu, mereka belajar arti gotong royong, kebersamaan, dan cinta tanah air.
Tak jarang, Wungon juga dijadikan ajang refleksi untuk mengenang perjuangan pahlawan serta mendoakan mereka yang telah gugur demi kemerdekaan bangsa. Nilai-nilai nasionalisme yang diajarkan dalam tradisi ini sejalan dengan pesan Al-Qur’an dalam QS. Al-Qashash ayat 85, bahwa mencintai tanah air adalah bagian dari keimanan. Dengan demikian, Wungon tidak hanya memperkuat rasa kebangsaan, tetapi juga memperdalam pemahaman keagamaan yang damai.
Menariknya, dalam Wungon tidak ada batas antara “kita” dan “mereka”. Semua orang duduk dalam satu lingkaran, saling menghormati tanpa mempersoalkan keyakinan. Seorang tokoh agama Islam duduk berdampingan dengan tetangga non-Muslim, berbagi tumpeng dan cerita. Inilah potret nyata pendidikan multikultural yang sesungguhnya: bukan dalam ruang kelas, tetapi dalam kehidupan masyarakat.
Nilai-nilai seperti toleransi dan saling menghormati termanifestasi dalam tindakan sederhana seperti berbagi makanan dan menyapa dengan senyum tulus. Praktik ini selaras dengan pesan Al-Qur’an dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 8, yang mendorong umat Islam untuk berbuat baik dan adil terhadap siapa pun yang tidak memerangi dalam urusan agama.
Lebih dari itu, Wungon juga menanamkan pendidikan karakter yang menolak kekerasan. Dalam setiap musyawarah warga sebelum pelaksanaan acara, keputusan selalu diambil dengan cara mufakat. Tak ada yang meninggikan suara, tak ada yang memaksakan kehendak. Semua diselesaikan dengan lemah lembut dan saling menghargai. Nilai ini sejalan dengan QS. Ali Imran ayat 159, yang mengajarkan kelembutan dan sikap saling memaafkan sebagai kunci persatuan.
Anak-anak yang tumbuh dalam budaya seperti ini akan belajar bahwa menghormati orang lain jauh lebih kuat daripada memenangkan perdebatan. Mereka memahami bahwa perbedaan bukan alasan untuk berseteru, melainkan kesempatan untuk belajar.
Dari sisi budaya, Wungon juga menggambarkan harmoni antara ajaran agama dan tradisi lokal. Warga Pemalang memahami bahwa adat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam justru bisa menjadi media dakwah yang efektif. Seperti pesan dalam QS. Al-A’raf ayat 199, umat Islam diperintahkan untuk “mengajak kepada kebaikan dan berpaling dari orang bodoh,” yang berarti mengakui dan melestarikan adat baik dalam masyarakat. Inilah bentuk akulturasi budaya yang bijak di mana nilai agama tidak dipaksakan untuk menggantikan budaya lokal, tetapi justru melebur dalam keseimbangan yang indah. Dari sinilah lahir wajah Islam yang ramah, terbuka, dan humanis.
Kini, ketika intoleransi masih menghantui kehidupan sosial kita, tradisi Wungon menawarkan solusi yang berakar pada budaya sendiri. Ia bukan sekadar perayaan malam kemerdekaan, tetapi juga simbol pendidikan multikultural yang menanamkan nilai persaudaraan lintas iman.
Jika setiap daerah di Indonesia memiliki ruang seperti Wungon tempat orang belajar hidup bersama dalam perbedaan maka cita-cita Indonesia yang damai dan beradab bukan lagi mimpi. Karena sejatinya, pendidikan multikultural tidak selalu diajarkan melalui buku teks atau ruang kuliah, tetapi melalui tindakan nyata di tengah masyarakat yang sederhana, hangat, dan penuh kasih seperti masyarakat Pemalang.