Baayun Maulud dihelat lagi di Banjarmasin Kalimantan Selatan, Jumat (1/12/2017), persisnya di Masjid Jami' Nurul Amilin, Kelayan. Hajatan yang sama digelar di Masjid Sultan Suriansyah Banjarmasin pada Minggu (3/12/2017) ini. Tumpah ruah orang merayakannya.
Tradisi masyarakat Banjar itu rupanya belum kehilangan pamor dan masih diyakini sebagai satu tradisi penting yang (harus) digelar saban tahun, bersamaan dengan perayaan Maulud Nabi Muhammad SAW.
Baayun Maulud/Maulid atau tradisi meletakkan anak (balita) di atas ayunan, adalah contoh bagaimana tradisi lokal dan keagamaan bertemu dalam harmoni.
Saya mendapat informasi dari Miranda Seftiana, teman muda kelahiran Kandangan Kalimantan Selatan, mahasiswi Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Baayun maulud tahun ini semeriah tahun-tahun sebelumnya, begitu katanya. Jumlah ayunan bayi di Masjid Nurul Amilin mencapai hampir 500 buah. Wow.
"Museum Lambung Mangkurat juga berencana menyelenggarakan baayun pada 7 Desember 2017, dengan 100 ayunan, kalau melihat info di poster, " kata Miranda.
Saban tahun, jumlah ayunan dalam baayun maulud rata-rata memang ratusan. Bisa saja satu keluarga memasang dua ayunan untuk dua anak. Bahkan pada suatu waktu ada orang dewasa yang turut menjadi peserta Baayun, karena selama hidupnya belum pernah melakukan tradisi itu dan baru berkesempatan ketika sudah dewasa.
Miranda bolehlah disebut sebagai informan andal. Ia pemandu wisata potensial yang sudah saya buktikan ketika bulan lalu berkunjung ke sejumlah daerah di Kalsel, di antaranya Banjarbaru dan Hulu Sungai Selatan.
Justru saya terbetik untuk menulis mengenai Baayun Maulud karena Miranda menjelaskannya dengan fasih saat berada di Museum Lambung Mangkurat Banjarbaru. Museum memajang beberapa perlengkapan Baayun Maulud serta poster-poster tulisan tentang sejarah tradisi yang masih lestari tersebut.
“Eh sebentar lagi Maulud Nabi, pasti ada Baayun Maulud. Nanti kembali lagi ke sini, ya,” kata Miranda waktu itu. Ah sayang juga, ya, kedatangan saya ke Kalsel terlalu cepat. Coba kalau pas Maulud Nabi Muhammad SAW, pasti saya mendapat lebih banyak cerita lagi.
Untuk kembali datang ke sana, hmmm….rasanya tidak mungkin dalam waktu berdekatan begitu. Jadi, ya, lebih baik mengandalkan Miranda untuk menanyakan info-info. Miranda adalah seorang pencerita yang baik.
Turun-temurun oleh etnis Banjar
Baayun Maulud merupakan tradisi yang dilaksanakan turun temurun oleh sebagian masyarakat etnis Banjar. Upacara ini disebut Baayun Maulud karena dilaksanakan pada peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW, yakni bulan Rabiul Awal.
Masyarakat etnis Banjar sering menyebut bulan kelahiran Nabi Muhammad SAW itu dengan istilah bulan Maulud. Upacara ini dilaksanakan di dalam masjid. Sebab itulah di ruangan masjid digantungi ayunan (buaian) yang membentang pada tiang-tiang masjid.
Menurut Miranda, Baayun Maulud dilhami oleh kebiasaan masyarakat Banjar dan Dayak yang menidurkan anak dengan tapih bahalai (kain panjang untuk perempuan) yang diikatkan pada sela pintu kamar atau balok kayu di ruang tengah rumah.
Selain baayun, cara lainnya adalah bapukung. Dalam bapukung posisi anak dalam keadaan duduk. Ketika akan menidurkan anak, orangtua cenderung menyenandungkan dundam atau nyanyian pengantar tidur. Liriknya berbahasa Banjar yang berisi pujian kepada Allah dan Nabi Muhammad serta doa bagi si anak.
Catatan di Museum Lambung Mangkurat menyebutkan, Baayun Maulud adalah satu upacara daur hidup pada masa kanak-kanak, yang menyasar anak berusia antara 0-5 tahun, dan waktu pelaksanaannya setiap tanggal 12 Rabiul Awal bertepatan dengan perayaan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Upacara maayun anak merupakan sarana atau media untuk mengenalkan si anak kepada Datu Ujung, seorang tokoh sakti yang sangat berpengaruh di Desa Banua Halat, Kabupaten Tapin. Beliau merupakan pemimpin pembangunan masjid kuno bersejarah di desa tersebut yang sampai saat ini masih menjadi tempat berlangsungnya upacara Baayun Maulud massal.
Pada masa ini, upacara Baayun Maulud tidak hanya digelar di desa Banua Halat seperti pada awal-awal tradisi ini digelar, melainkan juga di Makam Sultan Suriansyah di Banjarmasin, Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin, dan Museum Lambung Mangkurat di Banjarbaru.
Selain anak-anak, biasanya juga ada orang dewasa atau lansia yang ikut upacara Baayun maulud sebagai bentuk pelunasan janji setelah hajat atau keinginan mereka terwujud.
[caption id="attachment_205944" align="aligncenter" width="300"]
Informasi tentang baayun maulud di Museum Lambung Mangkurat Kalimantan Selatan (Foto: Susi Ivvaty)[/caption]
Tiga lapis kain
HM Hendrawan dkk dalam buku Materi Muatan Lokal Kebudayaan Banjar (2011) menerangkan tentang ayunan tiga lapis yang harus digunakan dalam Baayun Maulud.
Lapisan atas menggunakan kain sarigading (sasirangan). Lapisan tengah adalah kain kuning (kain belacu yang diberi warna kuning dari saripati kunyit). Lapisan bawah tapih bahalai (kain panjang wanita).
Pada tali ayunan diberi hiasan berupa anyaman janur berbentuk burung-burungan, ular-ularan, ketupat bangsul, halilipan, kambang sarai, rantai, hiasan berbentuk buah-buahan dan kue tradisional seperti cucur, cincin, kue gelang, pisang, dan lain-lain.
Setiap orangtua yang maayun (mengayun) anaknya pada upacara ini harus menyerahkan piduduk yaitu sebuah sasanggan yang diisi beras kurang lebih 3,5 liter, sebiji gula merah, sebiji kelapa, sebiji telur ayam, benang, jarum dan sebongkah garam serta uang perak (uang koin).
Upacara baayun maulud ini merupakan upacara tahunan yang diadakan bersama-sama oleh warga masyarakat. Pesertanya tidak terbatas pada anak-anak di kampung setempat, tetapi berdatangan dari berbagai daerah di Kalimantan.
Dalam upacara Baayun Maulud ini dibacakan beberapa syair seperti syair barzanji, syair syarafal anam, dan syair diba’i. Anak-anak yang akan diayun dalam upacara tersebut baru dibawa ke masjid menjelang tibanya pembacaan asyrakal dan si anak langsung dimasukkan ke dalam ayunan yang telah disediakan. Tepat saat pembacaan asyrakal, anak yang ada dalam ayunan diayun secara perlahan, yakni dengan menarik selendang yang diikat pada ayunan tersebut.
Maksud diayun pada saat itu adalah untuk mengambil berkah atas keluhuran dan kemuliaan Nabi Muhammad SAW yang kelahirannya diperingati saat itu. Semua anak yang diayun dalam masjid tersebut didoakan oleh pemuka agama dan seluruh peserta upacara. Mereka semua berharap dan berdoa agar anak-anak tersebut kelak menjadi ummat yang taat, bertakwa kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Upacara Baayun Maulud dilaksanakan pada pagi hari dimulai pukul 10.00 WITA bertepatan dengan tanggal 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Baayun Maulud merupakan pencerminan rasa syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya serta kepada Nabi Muhammad SAW yang membawa rahmat ke muka bumi ini disambut dengan puji-pujian yang diucapkan dalam syair-syair yang merdu.
[caption id="attachment_205945" align="aligncenter" width="300"]
Kain sasirangan (Foto: netralnews)[/caption]
Tata cara Baayun Maulud
Berikut ini adalah tata cara teknis baayun maulud yang secara garis besar dibagi menjadi dua tahap yaitu persiapan dan pelaksanaan. Tahap persiapan merupakan tahap pembuatan berbagai peralatan yang diperlukan untuk upacara tersebut.
1. Pembuatan ayunan
Ayunan berupa tapih bahalai (kain sarung wanita tanpa dijahit) yang ujungnya diikat dengan tali atau pengait. Kain ayunan itu terdiri atas tiga lapis. Dahulu salah satu kain diisyaratkan berupa kain sasirangan dengan motif bahindang (pelangi).
2. Hiasan ayunan
Hiasan ayunan terdiri dari janur pohon nipah atau janur pohon kelapa atau pohon enau. Jenis-jenis hiasan yang disiapkan antara lain berbentuk: tangga puteri, tangga pangeran, payung singgasana, patah kangkung, kambang sarai, gelang-gelang atau rantai, dan hiasan lainnya bisa ditambahkan seperti buah pisang, kue cucur, kue cincin, dan sebagainya.
3. Piduduk
Piduduk adalah syarat upacara yang berupa bahan-bahan mentah yang terdiri dari 3,5 liter beras, 1 biji gula merah, sedikit gaaram, dan untuk anak wanita ditambah minyak goreng. Piduduk ini melambangkan tentang kehidupan, misal; beras agar paras muka lebih baik, kelapa dan gula agar setiap pembicaraannya lamak (gurih) dan manis, garam artinya setiap pembicaraannya selalu berwibawa, sedangkan minyak goreng bagi wanita melambangkan harapan supaya segala hal mendapat perhatian.
4. Sesaji
Sesaji adalah perlangkapan (syarat upacara) berupa barang masak yaitu telur dan nasi lamak (nasi ketan bersantan).
Pada pagi hari yang ditentukan, ayunan yang telah dihiasi diisi dengan batu pipih, digantungkan di tempat upacara yaitu ruangan bagian depan. Setelah semua undangan hadir, maka dimulailah acara Maulid Nabi. Naskah syair-syair yang dibacakan tergantung pada keinginan bersama, bisa kitab Maulid Al-Barzanji, Syaraful Anam, Dibai’, atau Maulid Al-Habsyi.
Menjelang larik asyrakal, anak yang akan diayun dibawa ke tempat upacara dan setelah batu pipih yang ada di ayunan tadi dikeluarkan, maka barulah anak tersebut dimasukkan ke dalam ayunan.
Pada waktu pembacaan asyrakal, seluruh peserta upacara berdiri, anaknya yang ada di dalam ayunan itu mulai diayun perlahan-lahan, yaitu dengan menarik selendang yang telah dikaitkan pada pangkal ayunan.
Pada saat pembacaan doa, ayunan ini dihentikan, kemudian dilanjutkan dengan pembacaan awal-awal yang diulang 7 kali. Selesai pembacaan awal-awal maka berakhirlah upacara baayun maulud. Namun, bagi keluarga dan masyarakat tertentu ada yang dilanjutkan dengan batapung tawar dan naik turun tangga manisan (tebu) atau acara batumbang.
Menurut aturan adat, dalam upacara terdapat beberapa pantangan atau larangan, di antaranya:
- Hiasan janur yang tidak diperkenankan lagi menyerupai burung.
- Anak yang diaayun tidak boleh dalam keadaan tertidur sewaktu pelaksanaan baayun maulud sedang berlangsung.
- Saat upacara berlangsung semua wanita dilarang memasuki ruang baayun di dalam masjid.
Miranda pernah menemui penyelenggara Baayun Maulud untuk menanyakan mengenai larangan perempuan masuk masjid.
Penyelenggara dari Museum Lambung Mangkurat dan Masjid Sultan Suriansyah Banjarmasin menegaskan, wanita diperbolehkan ikut masuk untuk mengayun anak.
Artinya, tradisi ini mengalami dialektika dan perubahan diterima karena memang rasional. Bagaimana pun anak kecil (balita) lebih dekat dengan ibunya dari ayahnya, bahkan untuk "sekadar" menggoyang ayunan.
Begitulah ketika tradisi dirayakan dengan sepenuh penghayatan. Tak akan ada "mauludan" tanpa baayun maulud di Banjarmasin......