Baru-baru ini, Trans7 kembali menjadi sorotan karena tayangan "Xpose Uncensored" yang menyoroti pondok pesantren dan kiai. Namun, tayangan tersebut mendapat kritik karena dianggap tidak memahami subkultur pesantren. Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki tradisi dan budaya unik, pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata.
Pada tahun 1974, K.H. Abdurrahman Wahid atau yang dikenal Gus Dur, pernah menulis bahwa pesantren adalah subkultur yang memiliki identitas dan tradisi sendiri. Dalam konteks ini, subkultur pesantren mencakup berbagai aspek, seperti sistem nilai, relasi murid dan guru, otoritas kiai, kurikulum (sistem pendidikan), tradisi, disiplin sosial, kemampuan adaptasi dan teknologi lokal yang khas.
Salah satu tradisi yang unik dalam pesantren adalah hubungan antara santri dan kiai. Santri memiliki tradisi bersedekah kepada kiai sebagai bentuk penghormatan dan penghargaan atas ilmu yang diberikan. Sedekah ini tidak hanya berupa materi, tetapi juga dapat berupa pikiran, tenaga, dan partisipasi dalam kegiatan pondok, termasuk sambatan dalam pembangunan pondok (ngecor misalnya) bagi santri adalah sesuatu keberkahan.
Dalam kitab At-Tibyan fi Adabi Hamalatil Quran karya Imam An-Nawawi, dan juga dalam berbagai kitab salaf yang lain banyak menjelaskan bahwa sedekah murid (muta’állim) kepada kiai (mu’állim) adalah bagian dari memuliakan ilmu dan membuka pintu-pintu ilmu dan keberkahan lainnya. Tradisi ini juga tercermin dalam budaya pesantren yang menekankan pentingnya gotong royong dan solidaritas sosial dan semua itu adalah bagian dari manifestasi ilmu amaliyah dan amal ilmiah.
Namun, tayangan "Xpose Uncensored" di Trans7 tidak memahami subkultur pesantren ini. Mereka menyajikan gambaran yang tidak akurat dan cenderung sensasional tentang kehidupan di pesantren. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak melakukan penelitian yang cukup mendalam tentang tradisi dan budaya pesantren.
Buku "Tradisi Pesantren" karya Zamakhsyari Dhofier (2011) juga menjadi referensi penting dalam memahami subkultur pesantren. Buku ini menjelaskan bahwa pesantren memiliki tradisi dan budaya yang unik, yang berbeda dengan lembaga pendidikan lainnya yang selaras dengan apa yang disampaikan Gus Dur jauh sebelum ini.
Dalam konteks ini, penting bagi media untuk memahami subkultur pesantren sebelum menyajikan informasi tentang lembaga pendidikan ini. Media harus melakukan penelitian yang cukup mendalam dan tidak menyajikan gambaran yang tidak akurat atau sensasional.
Kasus Trans7 ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Penting bagi kita untuk memahami dan menghargai tradisi dan budaya yang unik dari setiap lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Dengan demikian, kita dapat membangun kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang lembaga pendidikan ini.
Dalam visualisasinya, tayangan "Xpose Uncensored" di Trans7 yang menyoroti pondok pesantren dan kiai menunjukkan kegagalan dalam memahami subkultur pesantren. Apalagi ini terkait narasi dalam siaran tersebut dengan bagian dari subkultur pesantren Lirboyo Kediri, Jawa Timur dan menyangkut kiai karismatik sebagai pengasuhnya.
Ribuan alumninya sudah tersebar sebagai pemangku moral dan Islam moderat di Indonesia. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami dan menghargai tradisi dan budaya yang unik dari setiap lembaga pendidikan, termasuk pesantren. Dengan memahami akan terbangun kesadaran dan pemahaman yang lebih baik tentang lembaga pendidikan khas pesantren ini sehingga melahirkan kesadaran budaya (cultural awareness) atas subkultur pesantren itu agar bisa kreatif melahirkan siaran produktif dengan kecerdasan budaya (cultural intelligence). Tanpa kecerdasan budaya jangan harap platform media apapun akan bisa bertahan lama.
Yang tak boleh dilupakan juga adalah pesantren adalah NU kecil, NU adalah pesantren besar. Maka siapapun yang mengusik tradisi dan kearifan pesantren yang secara historis menjadi penopang Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan UUD 1945 (PBNU), berarti berhadapan dengan NU dan sekaligus spirit kebangsaan Indonesia.
Maka bisa dipahami mengapa tidak hanya kalangan pesantren yang menggugat acara Trans7 tersebut, tetapi dari berbagai warga NU baik NU kultural maupun NU struktural bahkan juga dari Majlis Ulama Indonesia (MUI) dan sejumlah warga lain juga ramai-ramai memasang tagar #BoikotTrans7.
Semua media perlu memahami subkultur pesantren dengan segala keunikannya tersebut agar semua siaran didasari dengan riset mendalam terlebih dahulu, agar siaran tidak nglantur (disorientasi), namun tetap dengan spirit jurnalisme profetik: Shidiq (prinsip kebenaran dan obyektifitas), Amanah (prinsip kepercayaan), Tabligh (prinsip komunikasi etik), dan Fathonah (gunakan kesadaran dan kecerdasan budaya). Dengan demikian diharapkan media akan menjadi pilar demokrasi dan juga bagian dari jalan berbagai energi positif (epos).