Di tengah menikmati bulan maulid nabi, pagi ini saya mendapati postingan berseliweran di medsos beberapa ulama yang wafat pada hari Selasa Pon. Sederet nama pun tidak asing di telinga kita, khususnya bagi warga yang tinggal di wilayah Jawa Tengahan.
Mautul ‘alim-mautul alam. Wafat atau kematiannya orang alim (ahli ilmu agama) adalah matinya alam (semesta). Kaidah ini dulu pertama kali saya mendengar dari guru saya saat mulang kitab Fathul Qorib (fikih). Beliau menarasikan, bahwa ulama adalah paku bumi, ketika beliau yang expert (ahli) di bidang ilmu fikih, ilmu tafsir, ilmu kalam, misalnya, lalu diminta oleh Allah untuk kembali ke pangkuanNya, maka yang dijadikan rujukan sudah tidak ada lagi yang mumpuni, akhirnya umat berselisih, maka terjadilah ‘kiamat’, karena yang menjadi pegangan sudah tidak ada. Kurang lebih seperti itu.
Pada bagian ini tentu menjadi PR kita bersama, untuk mengkader orang-orang yang alim di bidang keilmuan tertentu, supaya bisa menjadi ahlinya ahli. Saya jadi teringat pada pemerintah Iran, yang tidak gentar ketika ahli nuklirnya dibunuh oleh musuhnya, seperti Dr. Mohsen Fakhrizadeh, karena Iran sudah menyiapkan kader nuklir yang lain, yang ilmunya setara dengan Mohsen Fakhrizadeh.
Tapi membicarakan sosok ulama bukan soal ahli saja, namun sangat kompleks dalam konteks orang Indonesia. Paling utama adalah butuh pengakuan secara sosial di mata masyarakat. Terutama keilmuan dan pengabdian. Hal ini bisa ditempuh dengan cara istiqomah, kontinyu, melakukan kebiasaan baik secara berulang-ulang, terus menerus. Seperti mulang ngaji, menjadi rujukan (pitakonan) ketika masyarakat sedang membutuhkan, ahli suwuk (doa)—dimintai wasilah doa atau mengijazahkan wirid.
Setidaknya ada dua hal supaya dapat predikat alim: jalur nasab dan jalur nasib. Untuk mendapat pengakuan sebagai ahli atau orang alim, hal yang paling mudah jadi titenan adalah jalur keturunan (nasab). Iku anake sopo? Makanya sampai hari ini kita ‘senang’ berdebat soal nosab-nasab, dan tidak pernah selesai itu karena kita mungkin tengah menikmatinya, ya?
Soal garis keturunan, hal terberat bagi anak kiai adalah seakan-akan ia diminta bisa, setidaknya serupa secara keilmuan dengan ayahnya. Maka ketika ada ulama yang wafat, orang awam seperti saya pasti bertanya; sopo iki seng neruske, ada tidak dari anak, menantu, atau cucu beliau yang bisa mampu meneruskan perjuangannya, penggantinya? Wajar jika misalnya, di Masjid Al-Aqsha Menara Kudus, yang dulu setiap Jumat pagi diisi oleh Kiai Sya’roni Ahmadi, setelah beliau wafat, yang meneruskan adalah anaknya, Gus Hana (K.H. M. Yusrul Hana).
Selanjutnya untuk menjadi ulama atau kiai tipe yang kedua adalah dari jalur langit, yakni nasib atau takdir (kehendak ilahi). Banyak kiai kampung, terutama di desa saya, sosok ulama atau kiainya dari jalur ayah bukanlah seorang ulama atau wong pinter agamo. Namun karena beliau pernah nyantri, istiqomah mulang ngaji, sering dimintai pendapat masyarakat dan ahli suwuk, akhirnya lisensi ulama itu didapatkan.
Nah kembali kepada dalil mautul ‘alim, mautul alam, berikut sederet fakta ulama yang wafat pada hari Selasa Pon.
1. K.H. Asrori Al-Ishaqi Kedinding Surabaya: 18 Agustus 2009
2. K.H. Maimoen Zubair Sarang Rembang: 06 Agustus 2019
3. K.H. Ahmad Minan Kajen Pati: 16 Februari 2021
4. K.H. Sya'roni Ahmadi Kudus: 27 April 2021
5. K.H. Thoifur Mawardi Purworejo: 19 Agustus 2025
Apakah kamu punya referensi lagi selain beliau? terkait dengan apa rahasia di balik hari Selasa Pon, cuma Gusti Allah yang tahu. Allahhu a'lam.
Pertanyaan yang ngganjel adalah, Kok ya bisa barengan gitu ya?
Tentang sosok beliau-beliau ini mungkin bisa dilanjut pada tulisan berikutnya kali ya, karena ini sudah terlalu panjang.