Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kebudayaan mengumumkan kepulangan fosil bersejarah koleksi Eugene Dubois dari Kerajaan Belanda. Repatriasi puluhan ribu spesimen fosil ini termasuk tulang-belulang fosil Homo erectus.
Pengembalian fosil bersejarah koleksi Eugene Dubois secara langsung dari Pemerintah Belanda kepada Indonesia dilakukan dalam upacara serah terima di Museum Naturalis, Leiden, Belanda, pada akhir September 2025. Koleksi bersejarah ini terdiri dari sekitar 28.000 artefak fosil yang ditemukan Eugene Dubois di Trinil pada tahun 1891–1892.
Pemulangan koleksi Dubois yang selama lebih dari seabad tersimpan di Leiden ini bukan sekadar berita diplomatik atau prestasi teknokratis. Ia adalah momentum reflektif yang menyentuh lapisan terdalam kesadaran kita sebagai bangsa (Harian Kompas, 2/10/2025)
Fosil itu bukan hanya serpihan tulang yang membuktikan jejak evolusi manusia, melainkan cermin bagi bangsa ini untuk merenungkan relasi kita dengan asal-usul, dengan tanah yang kita pijak, dan dengan kemanusiaan universal yang terus diuji di masa penuh kegaduhan sosial, politik, dan ekologis ini.
Pertanyaannya kemudian, apa arti kepulangan Homo erectus bagi kita? Apakah ia hanya menjadi koleksi baru di museum, atau bisa menjadi penanda kesadaran kolektif tentang sejarah dan masa depan? Pertanyaan ini penting, karena repatriasi Dubois hanya akan bermakna bila mampu menumbuhkan refleksi kemanusiaan yang melampaui seremonial.
Kesadaran Asal-usul
Filsuf Jerman Karl Jaspers dalam The Origin and Goal of History (1953) menyinggung gagasan tentang “masa aksial”, yaitu momen ketika manusia sadar akan dirinya, menatap asal-usul dan menafsir arah peradabannya. Kepulangan fosil Homo erectus dapat kita baca sebagai “masa aksial” baru. Kita diingatkan bahwa bangsa ini bukan hanya lahir dari 1945 atau dari narasi kolonial yang kita lawan, melainkan dari jejak purba yang telah ribuan tahun melekat di tanah ini.
Fosil purba itu menghubungkan kita dengan sebuah kontinuitas eksistensial: bahwa identitas bangsa tak bisa hanya disempitkan pada politik, agama, atau etnis, melainkan harus dilihat sebagai simpul panjang sejarah manusia yang pernah hidup dan mati di bumi Nusantara. Kesadaran ini penting, terutama di tengah krisis multiproblem bangsa, mulai dari korupsi, polarisasi politik, hingga krisis ekologis, yang kerap membuat kita kehilangan perspektif luas tentang siapa sebenarnya kita.
Seperti dalam kosmologi Jawa dikenal istilah sangkan paraning dumadi—asal dan tujuan segala yang ada. Manusia dipahami bukan hanya sebagai makhluk biologis, melainkan bagian dari lingkaran kosmis yang lebih besar.
Fosil purba yang kembali ke tanah asalnya seakan menghidupkan kembali kesadaran akan sangkan paran itu. Ia menjadi pengingat bahwa manusia tidak terputus dari bumi yang mengandungnya, dari air yang mengalirinya, dari udara yang dihirupnya.
Ini karena leluhur Nusantara tidak pernah memisahkan manusia dari alam. Dalam narasi Bali tentang Tri Hita Karana, kehidupan hanya bisa seimbang bila terjalin harmoni antara manusia dengan sesama (pawongan), dengan alam (palemahan), dan dengan Tuhan (parahyangan).
Fosil Homo erectus, yang pernah hidup sebagai bagian dari lanskap Nusantara, bukan hanya “bukti evolusi”, tetapi representasi hubungan purba antara manusia dan lingkungan. Repatriasi ini bisa dibaca sebagai kesempatan untuk mengembalikan harmoni kosmis yang tercederai oleh logika modernisasi yang rakus.
Hal ini penting karena kita kerap membaca fosil hanya dengan kacamata sains positivistik dalam pertanyaan-pertanyaan seperti berapa usianya, bagaimana evolusinya, apa nilai arkeologisnya. Padahal, kosmologi leluhur justru mengajarkan bahwa setiap jejak kehidupan adalah penanda spiritual. Fosil Dubois yang pulang bisa dibaca sebagai simbol kembalinya “ruh bumi” ke rumahnya.
Religiositas Nusantara
Di sisi lain, di tengah perdebatan global antara sains dan agama, religiositas Nusantara menawarkan cara pandang yang lebih cair. Nurcholish Madjid pernah menekankan pentingnya keterbukaan religius bahwa sains tidak harus dipertentangkan dengan iman, tapi bisa saling memperdalam (Islam: Kemodernan dan Keindonesiaan, 1987). Fosil purba yang pulang ke Nusantara memberi kita ruang untuk merasakan misteri penciptaan secara lebih konkret.
Bagi masyarakat religius, melihat tulang belulang purba bisa menumbuhkan rasa takzim tentang betapa panjangnya jalan hidup manusia, betapa rapuh tubuh kita, dan betapa besar kuasa semesta yang melingkupinya. Repatriasi Dubois bukan hanya tentang mengoleksi fosil, melainkan tentang menyatukan pengetahuan ilmiah dengan perenungan spiritual, sesuatu yang menjadi ciri khas religiositas Nusantara sejak lama.
Kosmologi lokal pun sarat dengan narasi penciptaan. Dalam mitologi Bugis, misalnya, manusia dipercaya berasal dari to manurung—makhluk yang turun dari langit untuk mengatur dunia. Di Jawa, manusia dianggap bagian dari siklus kosmos yang terus bergerak. Kehadiran Homo erectus menambah lapisan narasi itu. Bahwa kita tidak hanya berasal dari langit atau dari dewa-dewa, tapi juga dari bumi yang terus berubah.
Refleksi Bangsa
Apa arti semua ini bagi kehidupan kita hari ini? Dalam suasana bangsa yang kerap terjebak dalam krisis etika—korupsi merajalela, kekerasan meningkat, alam dieksploitasi tanpa henti—repatriasi Dubois bisa menjadi cermin reflektif. Ia mengingatkan bahwa manusia bukan makhluk yang bisa hidup semaunya, melainkan bagian dari sejarah panjang yang menuntut tanggung jawab moral.
Hannah Arendt dalam Kondisi Manusia Modern (2018) menyebut manusia sebagai makhluk yang “muncul” di ruang publik. Dalam hal ini, fosil Homo erectus adalah bentuk kemunculan ulang, yang mengingatkan kita pada keberlanjutan eksistensi manusia. Nilai kemanusiaan sesungguhnya yang muncul dari repatriasi ini bukan terletak pada kebanggaan diplomatik, tapi lebih pada kesediaan kita untuk merendahkan hati di hadapan sejarah panjang kehidupan.
Kepulangan Dubois seharusnya menyadarkan kita bahwa bangsa ini tidak bisa hanya mengejar pertumbuhan ekonomi atau kemenangan politik jangka pendek. Ada tanggung jawab peradaban yang lebih besar yaitu dengan menjaga bumi, merawat sesama, dan membangun kehidupan yang selaras dengan kosmos.
Maka, ujian sesungguhnya bukan pada keberhasilan memulangkan fosil, melainkan pada bagaimana kita memaknai dan memperlakukan warisan itu. Apakah ia hanya akan berakhir di etalase museum, sekadar tontonan akademis? Ataukah ia akan menjadi ruang pembelajaran lintas generasi, yang menghubungkan sains dengan kosmologi, religiositas dengan kemanusiaan?
Jika kita gagal membaca pesan itu, repatriasi akan tinggal sebagai seremoni. Tapi bila kita mampu meresapinya, ia bisa menjadi tonggak refleksi peradaban. Bahwa dari serpihan tulang purba, bangsa ini bisa belajar menemukan arah di tengah kegelapan zaman. Repatriasi Dubois memberi kita kesempatan untuk menulis ulang narasi bangsa, bukan hanya dalam konteks politik, tapi dalam bingkai peradaban.