Jejak kebudayaan tidak hanya terwujud pada benda-benda cagar budaya dan warisan lainnya, tapi justru kerap tersimpan pada benda-benda kecil yang dianggap tidak penting. Nisan makam adalah salah satunya.
Tahun ini, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) diselenggarakan di Keraton Kacirebonan, Kota Cirebon, Jawa Barat, pada 20-22 November 2025. Festival budaya yang diselenggarakan sejak tahun 2012 itu mengangkat tema ”Estetika Nisan-nisan Islam Nusantara dan Dunia Ketuhanan Tarekat Syattariyah di Cirebon”.
Cirebon dipilih sebagai tempat penyelenggaraan BWCF Ke-14 Tahun 2025 ini karena memiliki peran vital dalam politik dan kekuasaan bergaya Islam pada abad ke-15 dan ke-16 dengan tinggalan arkeologis masa Islam yang cukup signifikan. Sebagai kota pusaka yang bersejarah, Cirebon memiliki warisan cagar budaya yang cukup berlimpah, mulai dari kompleks keraton, masjid kuno, kompleks taman, hingga makam-makam Islam kuno (Harian Kompas, 12/11/2025).
Epistemologi Kematian
Pada gelaran ini seperti ada satu pertanyaan yang terasa berulang tetapi tak pernah habis dicari jawabnya yaitu bagaimana kebudayaan Nusantara memaknai hidup dan mati. Tahun ini, ketika BWCF memilih menempatkan nisan, makam, dan ingatan pesisir sebagai pusat perbincangan, isu itu mengental menjadi renungan epistemologis. Yaitu tentang bagaimana kematian bukan sekadar peristiwa biologis, tapi tata-pengetahuan yang membentuk cara kita melihat dunia.
Di sini, kematian menjadi cermin dengan membuka lanskap budaya yang kerap terlupakan, terutama tradisi pesisir yang selama berabad-abad menjadi simpul perjumpaan, pertukaran, dan ziarah. Epistemologi kematian dalam tradisi Nusantara tidak pernah dipahami sebagai “akhir”. Ia merupakan gerbang, transisi, atau bahkan negosiasi antara manusia dengan jagat yang lebih luas.
Di banyak komunitas (pesisir), makam justru menjadi ruang sosial yang hidup. Ia bukan tempat sunyi, melainkan titik temu ritual, tradisi, jual beli, pertemuan keluarga, bahkan arena kerja ingatan kolektif.
Maka ketika memaknai nisan sebagai teks budaya, kita diajak melihat bahwa kematian adalah perpustakan kecil yang tersebar di sepanjang kepulauan Nusantara. Setiap nisan memuat pengetahuan: tentang migrasi, perdagangan, konflik, kolonialisme, kepercayaan lokal, bahkan identitas maritim.
Pada pesisir utara Jawa, misalnya, nisan batu bersurat Arab-Melayu atau aksara Jawa kuno sering menunjukkan relasi hibrid antara Islam dan kosmologi lokal. Di beberapa daerah Bugis dan Mandar, bentuk makam dibuat menyerupai perahu atau rumah panggung. Hal ini mengisyaratkan bahwa arwah tidak “mati”, melainkan berlayar menuju dunia lain.
Geografi Spiritual
Dalam epistemologi ini, kematian tidak menghapus relasi manusia dengan ruang. Justru dengan memperluas makna kematian, menjadikannya pintu masuk untuk memahami dinamika pesisir bukan hanya sebagai geografi ekonomi, tetapi sebagai geografi spiritual.
Kebudayaan pesisir, dengan sejarahnya yang cair dan terbuka, menyimpan memori kolektif yang berbeda dari budaya agraris yang cenderung menekankan ketertiban dan keteraturan siklus hidup. Tradisi pesisir lebih lentur, kadang lebih liar, karena sejak awal ia dibentuk oleh arus laut, kapal asing, dan pertukaran lintas budaya.
Di sini, makam pun mengambil bentuk yang tidak seragam. Ada makam yang berorientasi kiblat, ada yang mengikuti arah mata angin, ada pula yang mengikuti garis pantai. Orientasi itu sendiri adalah pengetahuan. Ia menunjukkan kosmologi yang mengatur hubungan tubuh, baik yang hidup maupun yang mati, dengan alam.
Namun yang menarik adalah bagaimana masyarakat pesisir tidak memandang makam sekadar sebagai tanda kesedihan. Ia juga menjadi ruang produksi makna. Ziarah pesisir di banyak daerah, dari Cirebon hingga Gresik, tidak hanya berkaitan dengan tokoh agama tetapi juga dengan figur pelaut, saudagar, atau perempuan yang memainkan peran penting dalam sejarah lokal.
Di sini terlihat bahwa epistemologi kematian bercampur dengan ekonomi, politik, bahkan gender. Jika diurai, lapisan-lapisan ini bukan untuk meromantisasi kematian, tetapi untuk menunjukkan bahwa tubuh yang meninggal tetap memiliki peran sebagai agensi kultural: ia mengatur ritme ziarah, menentukan alur narasi sejarah, bahkan mempengaruhi arah pembangunan wilayah.
Religiositas Nusantara
Dalam konteks religiositas Nusantara, kematian menjadi medium dialog antara manusia dengan yang gaib. Di banyak masyarakat pesisir, ritual nyadran laut, sedekah bumi, atau petik laut selalu melibatkan elemen “roh leluhur”. Leluhur bukan entitas abstrak; mereka hadir melalui makam, keramat, atau tempat-tempat persinggahan spiritual.
Religiositas ini tidak menempatkan kematian sebagai ancaman, melainkan sebagai kontinuitas. Fenomena ini menjadi upaya menegaskan bahwa keyakinan Nusantara tidak bekerja dengan logika dikotomis hidup–mati, profan–sakral, tetapi dengan logika transisi dan relasi. Dunia orang mati bukan “di sana”, tetapi berada dalam jaringan kehidupan sehari-hari.
Ketika menampilkan nisan sebagai artefak pengetahuan, ia sedang mengajak kita untuk membaca ulang bagaimana identitas Indonesia dibentuk bukan hanya oleh teks besar sejarah, tetapi oleh teks-teks kecil yang dipahat di batu makam.
Di kawasan pesisir Sumatra, misalnya, nisan Aceh abad ke-15 sering kali mencatat hubungan kerajaan lokal dengan jaringan perdagangan internasional. Di Jawa bagian pesisir, banyak nisan Muslim awal memperlihatkan pengaruh Gujarat dan Tiongkok.
Nisan-nisan ini adalah arsip globalisasi awal yang tidak tercatat dalam buku sejarah formal. Arsip-arsip ini adalah fakta hidup, tidak sebagai benda mati, tetapi sebagai pengetahuan yang menuntut keterbacaan baru.
Etika Ekologis
Persoalannya, banyak wilayah pesisir kini mengalami kerusakan ekologis. Abrasi, penggusuran, industrialisasi, hingga reklamasi menghilangkan permukiman dan kompleks makam. Ketika pantai tergeser, makam pun ikut hilang.
Hilangnya makam berarti hilangnya arsip pengetahuan, hilangnya orientasi kosmologi, hilangnya hubungan antara generasi. Di titik inilah epistemologi kematian berhadapan langsung dengan persoalan pembangunan.
Bagi masyarakat pesisir, kehilangan makam bukan semata kehilangan situs sejarah, tapi kehilangan akar spiritual. Makam sebagai bagian dari ekologi budaya menjadi penting. Ia bukan batu yang bisa dipindahkan, tapi penanda yang menghubungkan tanah, laut, dan ingatan manusia.
Dalam kerangka religiositas Nusantara, kesadaran akan kematian tidak melahirkan pesimisme. Sebaliknya, ia melahirkan tanggung jawab. Karena tubuh yang mati tetap berada dalam jaringan kehidupan, manusia yang hidup menanggung kewajiban untuk merawat ruang, merawat laut, merawat tanah, merawat jejak.
Dengannya, epistemologi kematian justru menjadi etika ekologis. Pesisir bukan sekadar garis perjumpaan geografis, tetapi garis pengingat bahwa dunia yang kita tempati bukanlah milik kita saja. Dengan membaca batu nisan sebagai teks, membaca pesisir sebagai manuskrip, membaca kematian sebagai pengetahuan tentang kehidupan itu sendiri, pemaknaan ini bukan hanya sebagai pemikiran sederhana untuk merayakan kebudayaan.
Di tengah dunia yang semakin cepat melupakan ini, ia adalah sebuah laboratorium untuk membaca ulang bagaimana pengetahuan tentang kematian dapat membentuk cara kita memahami dan memaknai diri, sejarah, dan masa depan.