Peran ulama’ dan santri memang tidak bisa dipisahkan dalam sejarah kemerdekaan bangsa ini, terlebih pada Perang Jawa (1825-1830), yang meletus 200 tahun lalu. Beberapa pesantren yang ada di wilayah Kasunanan Surakarta dalam hal ini Kabupaten Ponorogo memiliki kontribusi dan jaringan aktif dalam peperangan besar. Pesantren-pesantren tersebut ada yang hanya menyokong dukungan dalam bentuk moril dan ada yang menyokong dalam bentuk materi. Salah satunya adalah Pesantren Tegalsari yang kala itu dipimpin oleh Kiai Kasan Besari.
Kiai Kasan Besari sendiri yang merupakan cucu dari pendiri Pesantren Tegalsari, yakni Kiai Mohammad Besari dalam riwayatnya merupakan guru daripada pujangga Jawa terkenal bernama Ki Ronggowarsito. Dalam catatan Guillot yang dipublikasikan pada tahun 1838, Pangeran Diponegoro yang menyamar dengan nama Sasradilaga datang ke Pesantren Tegalsari untuk meminta dukungan kepada Kiai Kasan Kasan Besari akan langkah politik yang diambilnya.
Namun, Kiai Kasan dalam hal ini tidak ingin terlibat secara langsung pada peperangan fisik melainkan hanya memberikan bantuan moril dan ideologis kepada sang Pangeran tersebut. Pilihan tersebut disikapi secara bijak oleh Kiai Kasan mengingat konflik Pangeran Diponegoro terjadi di wilayah Kasultanan Ngayogyakarta, sementara Tegalsari berada di wilayah teritorial Kasunanan Surakarta. Alasan lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Kridianto, bahwa Tegalsari merupakan tanah perdikan yang dibebaskan dari pungutan pajak. Sehingga sekiranya hal tersebut merupakan langkah bijak Kiai Kasan Besari dalam menjaga marwah Pesantren Tegalsari dan wilayah sekitarnya.
Babak baru dimulai pasca ditangkapnya Pangeran Diponegoro yang memiliki gelar Kanjeng Sultan Abdul Hamid Herucokro Penggede Tiyang Mukmin Sayyidin Panotogomo Kholifah Rasulullah ing Tanah Jowo. Dalam manakib Kiai Ageng Imam Puro, pendiri Pesantren Sukosari, Babadan, Ponorogo dituliskan bahwa saat Pesantren Sukosari dipimpin oleh putranya yang memiliki nama Kiai Ageng Imam Puro Tsani/II banyak pasukan Diponegoro yang mengungsi dan bersembunyi di pesantren tersebut guna menghindari dari kejaran serdadu kolonoial Belanda. Untuk menandai bahwa di tempat tersebut memiliki jaringan dengan Laskar Diponegoro, ditanamlah sebuah pohon sawo kecik yang mana pohon tersebut kini tumbuh rindang di sekitar Masjid Imam Puro.
Adapun dalam catatan almarhum Kiai Imam Sayuthi Farid, pengasuh Ponpes Ittihadul Ummah Jarakan, Banyudono, Ponorogo atas sanggahan dan pengembangan data dalam buku Jejaring Ulama’ Diponegoro karya Zainul Milal Bizawie. Terdapat beberapa Ulama’ Ponorogo lain yang menjadi garda terdepan dalam pasukan Diponegoro, salah satunya adalah Kiai Ghozali bin Kiai Nawawi Mojosemi bin Kiai Nuruddin bin Kiai Khotib Anom Srigading bin Kiai Anom Besari Caruban atau biasa dikenal oleh masyarakat sebagai Kiai Ghozali Cokromenggalan.
Kiai Ghozali memiliki peran sebagai koordinator barisan ulama’ di Ponorogo yang mendukung langkah politik Pangeran Diponegoro. Kiai Ghozali Cokromenggalan sendiri merupakan ayah dari Kiai Ibrahim yang di kemudian hari mendirikan pesantren di Dusun Bedi, Desa Polorejo, Kecamatan Babadan, Ponorogo. Putra Kiai Ghozali Cokromenggalan ini dikenal sebagai Ulama’ yang memiliki keahlian di bidang Khat, hal ini dapat dilihat dalam berbagai manuskrip karyanya.
Tokoh ulama’ Ponorogo lain yang satu kelaskaran dengan Pangeran Diponegoro dan kemudian menyelamatkan diri usai sang Pangeran ditangkap adalah Kiai Hamzali (w. 1880), pendiri Pesantren dan Masjid Jarakan, Banyudono, Ponorogo. Usai menjauh dari pusat komando di Yogyakarta, Kiai Hamzali pada mulanya hijrah di wilayah utara daerah Pacitan. Tepatnya di Banyubiru, Geduwang, Wonogiri. Selama hampir 20 tahun menetap, Kiai Hamzali kemudian hijrah ke Ponorogo di desa Jarakan, kecamatan Banyudono, Ponorogo bersama tiga anggota lainnya, yakni Kiai Pronodipo bersama putranya yang bernama Abdul Wahab dan kemudian membuka lahan dan menetap di Durisawo, Nologaten, Ponorogo.
Kemudian bibi Kiai Hamzali yang bernama Bu Lik juga ikut serta dalam hijrahnya ke Ponorogo dan menikahi Mbah Torani, tokoh masyarakat yang menetap lebih dahulu di Banyudono Utara. Kemudian Kiai Hamzali di usianya mencapai 40 tahun dalam keadaan bujang bersama dengan tokoh masyarakat sekitar membina masjid di Jarakan pada tahun 1850 dan dikemudian hari masjid ini dikenal dengan Masjid Al-Jariyah.
Adapun tokoh lain yang merupakan simpatisan laskar Diponegoro adalah Mbah Kertonegoro (dimakamkan di Sawo, Siman dekat Pondok Pesantren asuhan Kiai Asvin Abdurrahman) yang buyutnya kelak bernama Hj. Siti Ngaisah mewakafkan tanahnya untuk pembangunan Masjid NU Ponorogo. Waba’du, demikianlah beberapa ulama’ dan tokoh di Ponorogo yang memiiki andil aktif dalam perang Jawa pimpinan Pangeran Diponegoro. Wallahu a’lam.