Dalam ingatan budaya Nusantara, gajah selalu hadir sebagai lebih dari sekadar hewan raksasa yang menghuni hutan tropis. Ia adalah penanda kekuatan, penjaga batas dunia, dan figur spiritual yang berkelindan dengan narasi lahirnya manusia besar, tegaknya kekuasaan, hingga runtuhnya kesombongan.
Karena itu, ketika hari ini gajah Sumatera dijadikan tenaga untuk menyeret gelondongan kayu yang menumpuk setelah banjir bandang dan longsor padahal hutan yang runtuh itu adalah rumah mereka sendiri, kita tidak hanya melihat paradoks ekologis. Kita sedang menyaksikan putusnya seluruh ingatan historis yang pernah menempatkan gajah sebagai penjaga moralitas kosmos.
Simbolisme Nusantara
Simbolisme itu tampak jelas dalam tradisi wayang. Salah satunya dalam lakon Bima Bungkus, kisah kelahiran Werkudara yang terbungkus lapisan keras tak tertembus senjata apa pun. Dalam beberapa tradisi tutur, ketika para resi gagal membuka bungkus tersebut, hadir tokoh Gajah Sena, gajah kecil sakti yang menjadi sahabat sekaligus penuntun kelahiran sang ksatria. Gajah Sena merobek bungkus itu bukan dengan kekerasan, melainkan dengan kekuatan yang “seirama” dengan bayi yang ia lindungi.
Setelah Werkudara lahir, Gajah Sena lenyap, mengingatkan bahwa ada kekuatan alam yang bekerja sebagai penjaga batas, memastikan bahwa dunia memperoleh tokoh yang dibutuhkan untuk memulihkan keteraturan. Dalam konteks ini, gajah bukan ornamen cerita, tapi menjadi figur yang menandai transisi antara kekacauan dan tatanan.
Ikonografi candi-candi di Jawa dan Sumatera memperkuat posisi gajah dalam kosmologi religius Nusantara. Relief dan arca Ganesha yang berkepala gajah menempati batas pintu, ujung tangga, dan ruang peralihan menuju area suci.
Ganesha bukan hanya dewa pengetahuan dan penyingkir rintangan. Ia adalah penjaga aliran energi yang memastikan manusia tidak memasuki ruang sakral tanpa menata diri. Dengan demikian, gajah dalam konteks Nusantara berfungsi sebagai penjaga moralitas ruang, bukan sekadar simbol “kekuatan.” Ia menandai tempat-tempat di mana manusia harus menghitung ulang langkahnya.
Dalam tradisi Islam, gajah kembali hadir dalam narasi moral yang kuat dalam Surah al-Fil. Pasukan bergajah Abraha bukan dikisahkan sebagai pasukan jahat karena gajahnya, tapi karena ambisi manusia yang melampaui batas dan hendak meruntuhkan pusat spiritual masyarakat.
Kisah itu menegaskan bahwa kekuatan alam dapat berbalik menegur kekuasaan yang kehilangan orientasi moral. Di Nusantara, kisah al-Fil dibaca sebagai pelajaran bahwa hewan, meskipun diletakkan dalam struktur kekuasaan manusia, tidak dapat dipersalahkan atas kerusakan yang manusia ciptakan.
Sejarah politik Nusantara menggemakan simbolisme yang sama. Figur Gajah Mada, mahapatih Majapahit, memperlihatkan bagaimana “gajah” digunakan sebagai penanda kekuatan yang stabil, pengendali kekacauan, dan penopang tatanan dunia politik. Sumber seperti Pararaton dan Nagarakretagama tidak menjelaskan asal-usul namanya, tetapi penggunaan unsur “gajah” pada seorang pejabat tinggi bukan sekadar ornamen. Ia melambangkan tipe kepemimpinan yang tidak mudah digeser, yang memikul beban besar kekuasaan dan keseimbangan.
Nama itu menunjukkan bahwa gajah berfungsi sebagai horizon etis tentang bagaimana kekuasaan harus bekerja. Ia kuat, tetapi menjamin harmoni, besar, tetapi bisa mengendalikan diri, kokoh, tetapi menjadi penyangga hidup banyak pihak. Dengan demikian, gajah bukan hanya makhluk. Ia menjadi cara masyarakat menggambarkan tatanan moral.
Kekacauan Ekologis
Maka, ketika kita melihat gajah Sumatera hari ini dipaksa menarik kayu-kayu gelondongan yang menutupi jalan pascabencana, kita tidak hanya menyaksikan kekacauan ekologis. Kita sedang melihat kehancuran cakrawala etis yang sudah hidup berabad-abad.
Bencana banjir bandang dan longsor tidak lahir dari “kemarahan alam,” melainkan dari deforestasi sistemik, konsesi perusahaan yang membuka hutan hingga ke hulu, alih fungsi tanah menjadi sawit monokultur, fragmentasi bentang alam, dan kehancuran daerah resapan air. Namun, gajah, yang habitatnya dihancurkan oleh proses itu, kini dipanggil untuk membersihkan sisa kehancuran yang manusia ciptakan.
Ironi itu sangat kuat. Gajah, yang dalam horizon kultural Nusantara adalah penjaga batas, kini berfungsi sebagai pekerja yang menyingkirkan bukti bahwa batas ekologis telah dilampaui. Rumah jelajahnya telah terpotong-potong, sumber pakannya lenyap, ruang hidupnya dikepung kebun monokultur sehingga konflik dengan manusia meningkat karena tidak ada lagi jalan aman untuk bergerak.
Dan bahkan ketika bencana datang, gajah tidak dipandang sebagai korban utama, tetapi sebagai alat yang dapat dimanfaatkan. Logikanya sederhana, bahwa selama tubuh gajah masih hidup, ia dapat bekerja dan layak dimanfaatkan. Tapi setelah mati, ia hanyalah statistik kehilangan.
Dalam kerangka moral budaya Nusantara, logika ini akan dibaca sebagai hilangnya penjaga keseimbangan. Ganesha tidak lagi ditempatkan di gerbang. Ia dipindahkan ke tengah jalan sebagai tenaga angkut. Gajah Sena yang menuntun kelahiran ksatria kini menuntun kayu gelondongan dari hutan yang terbawa arus.
Nama Gajah Mada yang melambangkan stabilitas negara kini berhadapan dengan krisis ekologis yang menunjukkan justru hilangnya stabilitas itu sendiri. Dengan kata lain, hancurnya hutan bukan hanya keruntuhan ekologis, tetapi keruntuhan simbol-simbol etis yang selama ini menjaga cara kita membaca dunia.
Berbagai perspektif – ekologi modern dan spiritual-kultural kuno – bertemu di satu titik. Bahwa keduanya menegaskan jika pelanggaran batas membawa konsekuensi. Deforestasi berarti menyingkirkan penyeimbang air, hilangnya rimba berarti hilangnya penopang tanah dan fragmentasi habitat berarti hilangnya stabilitas rantai kehidupan.
Dan dalam narasi yang lebih purba, hilangnya penjaga batas berarti hilangnya orientasi moral. Keduanya menyampaikan pesan yang sama dengan bahasa berbeda.
Maka, pertanyaannya kini tidak lagi sekadar ekologis, tetapi etis. Jika gajah, makhluk yang dalam sejarah kita posisikan sebagai penuntun keseimbangan dan penjaga tatanan itu kini justru menjadi korban sekaligus pekerja dari kehancuran ekologis, bagaimana mungkin kita masih mengaku sedang membangun masa depan yang beradab?