Pesantren merupakan lembaga institusi pendidikan agama Islam tertua yang ada di Indonesia. Kemampuannya mempertahankan tradisi lama dan tidak menolak tradisi baru, menjadikan pesantren sampai saat ini masih eksis meskipun banyak kalangan sinis yang ingin merongrong marwah pesantren, terutama dari kalangan skeptis, modernis, reformis, dan puritan sebagaimana yang disampaikan oleh Bruinessen dalam karyanya “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat” (hal. 85).
Namun pada kali ini, penulis hendak memaparkan tentang sejarah pesantren pada masa awal mula masuknya agama Islam di bumi Nusantara yang kala itu dikenal dengan istilah dedhepok (padepokan/ perguruan).
Mengutip dari karya Kiai Nur Khalik Ridwan, istilah dedhepokan yang melukiskan perkembangan awal pesantren di Jawa pada kurun abad 15-16 ini merujuk pada Serat Suluk Walisana. Pada sinom bait 37–38, disebutkan bahwa pesantren pada masa lalu kadang-kadang disebut dengan istilah dedhepok, dadya imam, dan jumeneng ing.
Tentunya istilah tersebut mengindikasikan perkembangan pesantren pada masa lalu era Raden Santri, Raden Rahmatullah (Sunan Ampel), dan Ngalim Aburereh/Abu Hurairah yang datang dari Kerajaan Campa atas permintaan Raja Brawijaya V dan permaisuri sekaligus bibi Sunan Ampel (Dewi Candrawati atau dikenal sebagai Putri Campa) guna meredam gejolak politik Kerajaan Majapahit kala itu. (Nur Khalik Ridwan : 107).
Kata dedephok yang digunakan untuk merujuk istilah pesantren pada abad ke 15–16 ini juga digunakan pada Babad Segaluh I untuk menyebut tempat perguruan milik Syekh Maulana Maghribi di Mancingan, Parangtritis. Adapun istilah dadya imam atau menjadi Imam mengisyaratkan bahwa para ulama yang menyebarkan Islam di tanah Jawa didapuk menjadi guru dari masyarakat Jawa.
Hal yang sama juga ditemukan pada naskah Babad Demak Pesisiran yang mana Sunan Kalijaga menjadi imam di daerah Manukan-Dermayu dengan kata, “ngimami ing Dermayu lan Manukan, ing Kalijaga pernahe.”. Tentu sang Imam bisa pindah apabila ada alasan lain, semisal Sunan Kalijaga yang dikemudian hari berpindah ke Kadilangu Demak.
Bagi para ulama abad 20 tentu adat ini juga masih berlaku dengan melihat kondisi sosial masyarakat sekitar. Seperti yang dialami oleh Kiai Abdul Mu’in Banyuwangi, dimana ia sebelumnya menempati dusun Pekalongan, desa Yosomulyo sebagai lahan untuk berdakwah. Namun beliau pada akhrinya ditarik menjadi tokoh agama atau dadya imam di dusun Gembolo, desa Purwodadi, Banyuwangi karena permintaan sesepuh desa yang mana masjid di desa tersebut mengalami kekosongan tokoh agama yang hendak dijadikan panutan masyarakat sekitar.
Kemudian istilah jumeneng ing atau menetap pada suatu tempat menggambarkan kondisi pesantren dimana masyarakatnya sudah mendiami tempat tersebut sebelum sang guru ada di situ dan kemudian hadirnya sang guru tersebut guna mengajarkan ngelmu-ngelmu agama Islam serta kasampurnaan urip (kesempurnaan hidup) kepada masyarakat yang dalam hal ini istilah tersebut dapat ditemukan pada Babad Demak (versi PNRI NB 11773). Dimana Sunan Giri pasca menimba ilmu kepada Sunan Ampel dan diambil menantu oleh beliau, maka Sunan Giri atau Raden Paku dikemudian hari Jumeneng Susunan Giri (menetap sebagai orang yang dihormati di Giri Kedaton serta menjadi imam dan guru di Pesantren Giri).
Lalu Kiai Nur Khalik Ridwan memetakan beberapa pesantren tua di abad 15-16 yang kala itu menjadi pusat pengajaran/dedhepokan agama Islam dan berpengaruh dalam pembangun kecendikiaan Jawa, adapun pesantren tersebut adalah Pesantren Cahyana, Purbalingga (Pangeran Atas Angin dan Syekh Jambu Karang), Pesantren Mantingan, Jepara (Syekh Jumadil Kubra), Pesantren Gunung Sembung atau Giri Amparan Jati (Syekh Datuk Abdul Kahfi), Pesantren Ampel Denta / Kembangkuning (Raden Ali Rahmatullah / Sunan Ampel), dan Pesantren Pamancingan (Syekh Maulana Maghribi).
Baru pasca pesantren-pesantren tua tersebut berdiri, maka berkembanglah beberapa pesantren lain yang menjadi pusat kajian agama Islam dan pusat pemerintahan di daerah tersebut, seperti Giri Kedathon, kesultanan Demak, kasultanan sepuh Cirebon, dan kesultanan Banten.
Waba’du, melihat dari data historis tersebut, pesantren telah memainkan perannya sebagai kawah candradimuka yang dinamis mengikuti tuntutan zaman dan berkembang menjadi pusat sebuah pemerintahan pada kurun abad XV – XVI. Hal tersebut juga mengindikasikan bahwa agama dan negara sejatinya memiliki satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan sebagaimana yang diungkapkan oleh Al– Maududi.
Tentu ini menjadi satu bantahan bagi kaum skeptis yang akhir-akhir ini hendak menjatuhkan pesantren dengan mengatakan bahwa pesantren bersifat jumud (stagnan) dan menolak segala perubahan zaman yang ada serta terpaku pada teks ulama terdahulu. Wallahu a’lam.