Keterisian (bukan kekosongan atau gelapan) abad 16 dan 17, tidak terjadi begitu saja. Era 1500-1600 Masehi hasil dari dinamika sejarah abad-abad sebelumnya.
Program siniar yang sering saya simak dengan senang hati dan cukup rutin, antara lain, Chronicles, yang dibawakan oleh Bagus Muljadi. Sebabnya pasti saja, siniar tersebut menghadirkan para pakar atau ahli di bidangnya masing-masing. Mendengarkannya hampir selalu ada wawasan baru, bahkan beberapa mengejutkan. Ini tentu karena pembawa acaranya mahir dan kritis.
Chronicles terbaru, seri ke-26, terasa spesial. Ia disajikan di atas panggung, menghadirkan dua narasumber, dan dihadiri secara langsung oleh para penggemarnya, dengan panggung yang cukup wah. Yang paling spesial adalah temanya, “Sejarah Klasik, Kolonial, & Masa Depan Indonesia." Di tengah-tengah kontroversi penetapan Soerharto menjadi Pahlawan Nasional, tema ini terasa menjanjikan pencerahan. Besar sekali tema itu.
Bagus Muljadi menghadirkan Peter Carey dan Asisi Suhariyanto. Narasumber pertama sudah akrab, buku-bukunya saya baca, beberapa ceramahnya saya datangi, dan wawancara-wawancara pentingnya saya dengarkan. Sementara itu, narasumber kedua, terus terang saja, saya belum mengenalnya, meski sepertinya punya banyak penggemarnya. Saya menyimak Chronicles ini dengan menyempatkan waktu khusus; tidak sambil nyetir, tidak sambil tiduran, juga tidak sambil berbincang dengan keluarga. “Ini pasti menarik dan menyenangkan. Pakar semua,” kata saya dalam hati.
Namun, di awal-awal, saya dikejutkan statemen Asisi Suhariyanto. Karena terkejut dan penasaran, saya putar beberapa kali untuk mendapatkan pemahaman yang utuh. Pernyataan Asisi saya kutipkan di sini:
“Kalau ditanya ada nggak ‘signature’ atau istilahnya satu bentuk ideal di masa klasik. Banyak banget. Jadi saya akan bermodal untuk teman-teman sejarah itu dipandang seperti sebuah timeline. Paling awal pra sejarah. Oke kita nggak akan membahas itu. Kemudian abad ke-5 sampai ke-15 itu masa klasik. Kita mengenalnya dengan era Hindu-Budha. Tapi saya lebih senang menyebutnya masa klasik. Setelah itu abad 16-17 adalah masa transisi. Setelah itu abad 18-10 adalah era kolonial. Pak Peter pakarnya untuk era itu. Nah, kalau saya pikir bentuk ideal bangsa kita ini justru ada di masa klasik. Karena di sana kita bisa menggali bagaimana sebuah potensi bangsa itu digunakan sepenuh-penuhnya. Ingatan kita hari ini tentang sejarah itu hanya mampu menjangkau masa kolonial. Ingatan bangsa kita. Karena pernah ada keterputusan yang saya bilang itu masa transisi. Abad 16-17 itu kita nose. Bayangkan kita masa klasik kita mulai dengan apa? Dengan adanya sekolah. Pendidikan yang sangat luar biasa. Di Sriwijaya sampai bangsa-bangsa untuk bisa istilahnya orang Tiongkok yang ingin belajar di India, dia harus training di Sriwijaya. Karena bahasa Sanskertanya bagus. Ini kita membuka masa klasik dengan pendidikan. Kemudian menutup juga dengan pendidikan dengan adanya banyak dengan cabang-cabang ilmu yang bagus-bagus. Matematika sampai astronomi. Dan kemudian pada masa abad 16-17 hilang semuanya. Kita menjadi bangsa yang tidak mengenal pendidikan. Setelah itu mulai dengan abad 18-19 kita mengenal pendidikan dari Belanda. Dan itu kita dari segi tradisional kita …. Sudah hilang ingatan kita tentang Sriwijaya. Pendidikannya yang luar biasa. Yang segala ilmu pengetahuan di masa itu dipelajari. Kita hilang ingatan tentang kedewaguruan. Tetapi kita ingat tentang mitos-mitos. Belanda menyumbangkan suatu pemikiran yang modern. Tetapi juga akhirnya kehilangan. Sampai akhirnya pada abad 21 kita mulai menggali kembali sejarah kita. Kita ingin tahu. Sejauh apa kita hebat di masa lalu. Dan kita menemukan masa klasik”.
Agak panjang, tetapi penting agar kita bisa menyimak semua dan jika saya keliru, bisa diluruskan. Beberapa kali saya simak agar pemahaman saya tidak keliru. Saya ulangi hingga tiga kali, hingga saya catat dan membacanya. Hasilnya, adalah kejanggalan-kejanggalan. “Loh-loh bagaimana ini? Masa iya Bagus Mulyadi menghadirkan yang bukan pakar?” begitu saya mereaksi. Saya tidak bisa menahan diri untuk komentar di tayangan tersebut, @bagusmuljadi. Tetapi ditanggapi oleh netizen +62 yang “khas” begitu, yang maha benar dengan segala kesesatannya.
Oleh karenanya, saya ingin untuk menanggapinya agak panjang di web ini, agar terbaca lebih jelas. Berikut ini catatannya:
Pertama, soal pembabakan sejarah yang ia gunakan dalam membuat periodesasi sejarah di Nusantara. Ia mengklasifikasikannya menjadi tiga babak: klasik (13-15 M), transisi (16-17 M), dan kolonial (18-20 M).
Kedua, Asisi mempertanyakan tentang Pangeran Diponegoro yang dianggap sebegitu heroiknya, yang padahal, kata dia, sebenarnya biasa-biasa saja. Hanya saja di masa itu, orang-orang yang bobrok sedemikian banyak sehingga yang biasa-biasa saja dianggap luar biasa. Waow!
Dalam catatan ini, tanggapan pada poin yang pertama saja. Bagian yang kedua, saya kira banyak orang jauh lebih percaya pada sejarawan dan para sarjana yang telah banyak meriset Pangeran Diponegoro. Dan Peter Carey sudah memberi tanggapan yang sudah semestinya.
Keberatan saya atas uraian yang disampaikan Asisi adalah ia menamakan periode kedua (16-17 M), setelah era klasik, dianggap sebagai era transisi. Apa yang ia maksud dengan era transisi di situ?
Ia menjelaskan bahwa masa transisi yakni periode abad 16-17 Masehi adalah era kekosongan dan keterputusan. Jika dikaitkan dengan penjelasannya atas periode klasik yang begitu hebat dengan kehadiran Sriwijaya yang menjadi pusat keilmuan kala itu, maka era transisi adalah era kemunduran. Dengan kata lain, Asisi menganggap 200 tahun atau 2 abad adalah masa kegelapan. yang artinnya, era ini tidak memiliki makna sama sekali. Apa benar demikian?
Sedikit tanggapan atas Sriwijaya. Kerajaan kebanggaan kita semua ini tidak berdiri sendiri. Kita tahu, dan sudah menjadi teori bahwa tidak ada peradaban dan kebudayaan yang maju kecuali ada perjumpaan dengan kebudayaan dan peradaban lain, tak terkecuali Sriwijaya. Kebudayaan dari mana yang membuat Sriwijaya maju, terbuka, dan dinamis?
Salah satunya adalah Dinasti Abasiyah (Baca dalam Bryan Douglas Averbuch, 2013). Meskipun hubungan antar dua kerajaan ini bersifat hubungan dagang, akan tetapi ia tidak mungkin dilepaskan dari peran para pedagang Arab beserta para mubalig Islam yang turut serta dalam muhibah perjalanannya. Salah satu buktinya adalah bahasa. Selain bahasa Sanskrit, yang memiliki pengaruh luas di kawasan Nusantara kala itu adalah bahasa Arab. Kita bisa baca pengaruh bahasa Arab di kawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara yang oleh Ronit Ricci sebut sebagai Arabic Cosmopolis (Ricci: Islam Translated: Literature, Conversion, and the Arabic Cosmopolis of South and Southeast Asia). Bahasa tidak mungkin hanya bahasa, ia pasti mengandung persentuhan budaya, negosiasi hingga menjadi kesepakatan nilai-nilai.
Selanjutnya, mari kita tengok Aceh abad 16. Abad tersebut, bukan abad kekosongan seperti yang dikatakan Asisi. Aceh saat itu adalah pusat keislaman di kawasan Nusantara, antara lain pendidikan. Pada masa kekuasaan di tangan Sultan Ali Ri’ayat Syah (1568-1575), sejumlah ulama dari mancanegara datang untuk mengajarkan ilmu pengetahuan di sana. Bahkan, Syaikh Abd Qadir, putra seorang ulama Mesir terkenal, Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, pernah mengajar secara khusus kitab tentang tasawuf filosofis (Liaw Yock Fang, 2016: 381).
Selain itu, Asisi juga melupakan peran dan kontribusi Aceh dan Banten di abad berikutnya, yakni pada abad ke-17. Saat itu Aceh yang tengah dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda ini adalah masa dimana Aceh bukan hanya sebagai pusat pemerintahan, melainkan juga pusat pengetahuan (M. Laffan: 2015, h. 13). Bahkan, menurut Laffan, historigrafi modern menyebut Aceh pada masa ini setara dengan Imperium Turki Usmani dalam politik maupun keilmuan. Sebuah masa dimana Asisi menganggapnya sebagai masa kegelapan! Ulama-ulama Aceh pada masa ini sangat banyak yang memiliki peran dan kontribusi bukan hanya bagi orang Aceh, melainkan bagi para pelajar yang datang dari wilayah lain dari pelosok Nusantara.
Sedangkan Banten, dengan Sultan Abul Mafakhir menjalin hubungan khusus dengan ulama asal Hijaz, Syaikh Muhammad ‘Ali ibn ‘Allan (w. 1647) yang memberikan hadiah beberapa karya tentang respons tentang dinamika politik dan keagamaan yang terjadi di Banten.
Bukti bahwa kesultanan Banten pernah menjadi pusat pendidikan di abad 17 Masehi juga terekam dalam catatan sejarah. Syaikh Jalaludin al-Aidid juga tercatat sebagai seorang ulama yang pernah mengajar di sejumlah daerah di Nusantara. Mula-mula ia melakukan perjalanan ke Hadramaut, lalu melanjutkan rihlahnya dan singgah ke Aceh di masa Sultan 'Alauddin Ri'ayat Syah. Ulama asal Irak ini kemudian pindah ke Banten di masa Sultan Maulana Muhammad (w.1596) dan mengajar ilmu-ilmu keislaman di sana. Seusai dari Banten ia pindah ke Banjarmasin Kalimantan Selatan, lalu ke Makassar. Di Makassar ia sempat menjadi pengajar bagi Syaikh Yusuf Al-Makassari.
Bahkan jauh sebelum masa-masa tersebut, tepatnya pada abad ke-14 Masehi yang oleh Asisi sebut sebagai masa klasik, Asisi juga tidak pernah menyebut tentang Samudra Pasai. Padahal, catatan pelancong asal Maroko, Ibn Batutah, yang datang dan singgah di Pasai memberikan laporan bagaimana tradisi diskusi ilmu pengetahuan aktif dan rutin dilakukan di sana. Ibnu Bathuthah melaporkan:
Sultan Malikuzzahir yang memimpin negeri “Jawah” merupakan seorang sultan yang memiliki keutamaan dan kedermawanan. Ia bermadzhab fikih Syafi’i, sangat mencintai para ahli ilmu (fuqaha) yang datang ke majelis ilmunya untuk membacakan kitab (al-qira’ah) dan berdiskusi ilmiah (al-muzakarah). Ia juga memiliki semangat jihad yang tinggi dan memiliki sikap rendah diri. Jika ia hendak menunaikan salat Jum’at maka ia datang ke masjid dengan berjalan kaki. Sebagaimana sultannya, masyakarat yang dipimpinnya juga bermadzhab fikih Syafi’i. Mereka bersama-sama dengan sultannya memiliki semangat yang tinggi dalam berjihad di jalan Allah dan selalu berhasil dalam menaklukkan orang-orang kafir yang memerangi mereka dan orang-orang kafir tersebut akhirnya membuat akad perdamaian dengan membayar pajak (jizyah).
Gambaran tentang Sultan Malikuzzahir yang cinta akan ilmu dan berbaur dengan masyarakatnya serta kesederhanaanya dicatat dengan baik sekali oleh Ibnu Batutah. Ia juga bisa menjadi contoh pemimpin di era klasik (mengikuti pembagian sejarah Asisi) yang layak menjadi contoh bagi pemimpin di masa sekarang (Asisi dii bagian berikutnya juga menyebut berulang kali Ratu Shima karena keadilannya dalam memimpin, tetapi ia enggan menyebut Laksamana Keumalahayati yang memiliki andil besar bagi bangsa ini). Dari sini kita juga mengerti, “keterisian” (bukan kekosongan atau gelapan) abad 16 dan 17, tidak terjadi begitu saja. Era 1500-1600 Masehi hasil dari dinamika sejarah abad-abad sebelumnya. Untuk menyebutkan contoh, Kerajaan Tidore yang terkenal itu.
Saya menyesalkan, narasi Asisi tidak merujuk ke manapun saat menarasikan 200 tahun yang sangat penting di Nusantara ini. Apa dasar dia melakukan pembuatan fase-fase sejarah Nusantara ini? Fase-fase yang dia bikin itu apa, asumsi, hipotesa atau bahkan kesimpulan? Narasi kesejarahan kita sudah direpotkan dan digelapkan oleh politik hari ini, oleh menteri, oleh politisi-politisi, oleh para petualang-petualang, oleh para pseudo-pseudo sains, oleh pakar-pakar palsu, oleh orang-orang absurd yang ngotot menetapkan Soeharto Pahlawan Nasional. Sudah, itu sudah sangat cukup membuat kalang-kabut dunia pendidikan dan ilmu kita.
Akhirulkalam, saya berharap siniar Chronicles dengan Bagus Muljadinya tetap menjadi oase di tengah para pencari viral. Tetap semangat, Bung Bagus. Salam literasi!
Bahan bacaan:
Rihlah Ibn Bathuthah al-Musammat Tuhfat al-Nazzar fi Gharaib al-Amshar wa ‘Ajaib al-Asfar, (Damaskus-Kairo: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 2011)
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara, (Bandung: Mizan, 2015)
Bryan D. Averbuch, From Siraf to Sumatera; Seafaring and Spices in. The Islamicate Indo-Pacific; Ninth-Eleventh; Harvard University, 2013)
Liaw Yock Fang, Sejarah Kesusastraan Melayu Klasik, (Jakarta: Obor, 2016)
Ronit Ricci, Islam Translated: Literature, Conversion, and the Arabic Cosmopolis of South and Southeast Asia. (Chicago: University of Chicago, 2021).
Thomas Gibson, Islamic Narrative and Authority in Southeast Asia From teh 16th to the 21st Century, (Newyork: Palgrave Macmillan, 2007),
Peminat literatur Islam klasik dan studi pesantren
Tarikh | 04.06.2021
Dengan apa orang bisa membedakan diri mereka dari orang lain, dan pada gilirannya diidentifikasi sebagai sebuah kelompok tertentu?
Tarikh | 22.09.2017
Tarikh | 09.10.2017