Akhlak beliau yang penuh kasih, keadilan yang tegak tanpa pandang bulu, dan kelembutan hati yang menyentuh kawan maupun lawan adalah teladan universal yang tak lekang oleh zaman. Kisah-kisah dari sirah beliau membuktikan bahwa rahmat Islam bukan hanya doktrin, melainkan kehidupan yang nyata dan menyeluruh hingga pada hewan dan alam.
Di tengah dunia modern yang sarat konflik dan kegersangan spiritual, meneladani Nabi SAW berarti menghadirkan kembali rahmat yang menghidupkan hati dan menyembuhkan peradaban.
Dalam lintasan sejarah peradaban, manusia senantiasa mencari teladan yang mampu memadukan kekuatan spiritual dengan keagungan moral. Dari para raja yang memerintah dengan pedang, para filsuf yang berteori tentang kebajikan, hingga para nabi yang membawa wahyu—semuanya meninggalkan jejak.
Namun tak ada sosok yang sinarnya melintasi zaman dan melampaui peradaban sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Beliau hadir bukan sekadar untuk satu kaum atau wilayah, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh semesta, sebagaimana firman Allah SWT:
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS al-Anbiyā’: 107).
Ayat ini bukan sekadar pernyataan teologis, melainkan realitas yang terbukti dalam sirah beliau. Rahmat yang dibawa Nabi SAW tercermin dalam akhlaknya, dalam interaksi dengan sesama manusia, bahkan kepada hewan dan alam.
Dalam hadis riwayat Muslim, Ummul Mu’minin ‘Aisyah RA ditanya tentang akhlak Rasulullah SAW, beliau menjawab singkat:
"Akhlaknya adalah al-Qur’an."
Jawaban padat ini bermakna dalam: seluruh laku dan ucapan Nabi SAW adalah pengejawantahan al-Qur’an. Jika al-Qur’an berbicara tentang kasih sayang, kelembutan Nabi adalah wujudnya. Jika al-Qur’an berbicara tentang keadilan, kebijakan Nabi adalah buktinya.
Kisah Nabi dan Perempuan Tua Yahudi
Salah satu kisah masyhur tentang kelembutan hati Rasulullah SAW adalah peristiwa dengan seorang perempuan tua Yahudi di Madinah. Perempuan itu setiap hari meletakkan kotoran atau duri di jalan yang biasa dilalui Rasulullah SAW. Namun beliau tidak pernah membalas atau marah. Suatu hari jalan itu bersih. Beliau bertanya, lalu diberitahu bahwa perempuan itu sakit.
Tanpa menunggu, Nabi SAW menjenguknya. Perempuan Yahudi itu terkejut: orang yang selama ini ia sakiti justru hadir membawa doa dan kasih sayang. Hatinya luluh, lalu ia menyatakan keimanan.
Kisah ini menegaskan rahmat Nabi SAW yang melampaui sekat agama dan kebencian. Beliau tidak pernah mengajarkan dendam, melainkan menyembuhkan luka dengan kasih.
Kisah Perempuan yang Mencuri
Akhlak Nabi SAW juga nyata dalam ketegasan beliau menegakkan keadilan, bahkan terhadap orang terdekat. Ketika seorang perempuan dari kabilah Makhzūm mencuri, sebagian sahabat mengusulkan agar hukum hudud tidak ditegakkan karena kedudukannya. Nabi SAW menolak tegas.
Beliau bersabda (HR. al-Bukhārī dan Muslim): "Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah: bila orang terpandang mencuri mereka biarkan, tetapi bila orang lemah mencuri mereka tegakkan hukuman. Demi Allah, seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, niscaya aku sendiri yang memotong tangannya."
Hukum ditegakkan tidak pandang bulu ; Tidak hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Inilah rahmat dalam bentuk keadilan: tidak diskriminatif, tidak tunduk pada status sosial. Rahmat tidak selalu berarti kelembutan; kadang ia hadir dalam wujud tegaknya keadilan.
Kisah Saat Fathu Makkah
Rahmat Nabi SAW bahkan menjangkau mereka yang memusuhinya. Saat Fathu Makkah, beliau memiliki kuasa penuh untuk membalas dendam atas penyiksaan, pengusiran, dan peperangan kaum Quraisy. Namun yang keluar dari lisannya adalah kalimat agung:
"Pergilah kalian, kalian semua bebas."
Kalimat idzhabū fa antum al-thulaqā’ ini menandai puncak rahmat. Di saat kemenangan, beliau memilih memberi maaf. Banyak di antara orang Quraisy kemudian masuk Islam karena merasakan keluasan hati Rasulullah SAW.
Rahmat Nabi SAW bukan hanya untuk manusia. Dalam hadis riwayat Abu Dawud, beliau bersabda: "Barangsiapa membunuh seekor burung kecil tanpa alasan yang benar, maka kelak ia akan dituntut oleh burung itu di hari kiamat."
Kecintaan Nabi kepada hewan dan alam menunjukkan risalah beliau bersifat ekologis. Beliau melarang menebang pohon sembarangan, menyiksa hewan, bahkan memberi teladan dengan menyayangi unta, kucing, hingga burung.
Pelajaran untuk Dunia Modern
Di dunia yang sarat konflik, kebencian, dan ketidakadilan, risalah Nabi Muhammad SAW tetap relevan. Rahmat yang beliau ajarkan dapat dihidupkan dalam berbagai aspek: Dalam keluarga: menghadirkan kelembutan, saling menghormati, dan kasih sayang. Dalam masyarakat: menegakkan keadilan, membela yang lemah, dan menghapus diskriminasi. Dalam hubungan antarbangsa: memilih jalan damai, dialog, dan saling menghormati. Dalam ekologi: menjaga bumi sebagai amanah Allah SWT. Meneladani Nabi SAW berarti menjadikan rahmat sebagai dasar setiap langkah.
Nabi Muhammad SAW bukan sekadar tokoh sejarah. Beliau adalah matahari yang sinarnya tak pernah padam, rahmat yang menghidupkan hati dan semesta. Kasih sayang beliau kepada musuh, keadilan beliau terhadap sahabat, kelembutan beliau kepada keluarga, hingga cintanya pada alam—semuanya menjadi jejak agung bagi umat manusia.
Kita boleh memuji dengan lisan, tetapi sanjungan terbaik adalah meneladani beliau dalam amal nyata. Sebab beliau sendiri bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik akhlaknya.”
Maka benarlah firman Allah: “Dan tiadalah Kami mengutus engkau, melainkan sebagai rahmat bagi seluruh alam.” Rahmat itu abadi, dan umat manusia selamanya berhutang budi kepada Nabi Muhammad SAW .