‘Monoplay Melati Pertiwi: Merajut Sejarah Perjalanan Bangsa’ melibatkan enam aktris dan penyanyi nasional. Mereka memerankan lima pahlawan nasional perempuan, plus seorang wartawan pencatat sejarah: S.K Trimurti. Semuanya tampil memukau.
S.K Trimurti duduk menghadap meja kerjanya, lengkap dengan mesin ketik manual, kertas, dan pena. Perempuan dengan konde dan kebaya putih itu lalu menuturkan episode demi episode keberanian lima pahlawan perempuan. Ia tak lupa menyebutkan nama suaminya, Sayuti Melik, sosok yang mengetik naskah proklamasi kemerdekaan yang kita kenal sekarang.
Penyanyi Isyana Sarasvati, yang memerankan S.K Trimurti, segera mengingatkan saya pada Titiek Puspa, sang seniman serba bisa. Isyana bernyanyi dan menembang, berbicara dalam logat Jawa, dan berkisah tentang perjuangan para perempuan mulai dari Laksamana Keumalahayati (Aceh), Ratu Kalinyamat (Jepara, Jawa Tengah), Nyi Ageng Serang (Purwodadi, Jawa Tengah), Rasuna Said (Maninjau, Sumatera Barat), hingga Martha Christina Tiahahu (Nusa Laut, Maluku). Sesekali ia melemparkan humor yang disambut tawa kecil penonton.
“Merupakan kehormatan luar biasa bisa memerankan S.K. Trimurti, seorang jurnalis dan pejuang yang tak kenal lelah. Semangat beliau dalam menyuarakan kebenaran melalui tulisan mengingatkan saya pada kekuatan musik dan kata-kata sebagai alat untuk menyampaikan pesan dan membangkitkan semangat. Saya berusaha menghidupkan kembali keteguhan hatinya di atas panggung,” kata Isyana usai pertunjukan.
Lima karakter lain dimainkan Tika Bravani sebagai Rasuna Said, Maudy Koesnaidi sebagai Nyi Ageng Serang, Hana Malasan sebagai Ratu Kalimanyat, Glory Hillary sebagai Christina Marta Tiahahu, dan Marcella Zalianty sebagai Laksamana Keumalahayati.
Meski setting panggung boleh dikatakan sederhana, namun totalitas akting para pemain layak dapat pujian. Saya nyaris tak mengenali sosok Maudy Koesnaedi yang berperan sebagai Nyi Ageng Serang. Ia berjalan tertatih-tatih dengan tongkat, berkerudung, dengan vokal seorang perempuan sepuh yang keberaniannya pantang surut.
“Mereka datang dengan berbagai aturan, mengambil hasil bumi dengan pajak yang menjadi beban rakyat. Pajak, pajak, pajak!”, demikian Nyi Ageng Serang menggugat dengan suara menggelar. Tidakkah persoalan di masa penjajahan itu bak terulang kembali sekarang, berabad-abad setelah kolonialis hengkang dari bumi Nusantara?
Pada babak lain, penonton menyaksikan Laksamana Keumalahayati di ujung biduk perahu bersama pasukan laskar perempuannya, Inong Balee. Ia menghunuskan rencong dan memimpin di medan tempur. Hampir semua pahlawan perempuan malam itu membawa pedang, terkecuali Rasuna Said.
“Aku dipenjara di Semarang karena pidatoku dianggap memprovokasi perlawanan rakyat di Minangkabau. Tahanan perempuan lain heran, ternyata pidato bisa membuat seseorang dipenjara”, kata perempuan berkerudung dan berkacamata itu. Ia melawan penjajah Belanda dengan kepandaiannya menulis dan berorasi.
Persembahan Khusus di Bulan Pahlawan
Keana Production mempersembahkan ‘Monoplay Melati Pertiwi: Merajut Sejarah Perjalanan Bangsa’ untuk memperingati Hari Kemerdekaan sekaligus Hari Pahlawan. Pementasan ini diproduseri oleh Marcella Zalianty dan disutradarai oleh Wawan Sofwan, berlangsung pada Selasa (25/11) di Gedung Kesenian Jakarta.
“Bagi saya, Melati Pertiwi adalah sebuah proyek yang sangat personal sekaligus universal. Kisahnya menggali tentang kekuatan para pahlawan perempuan, pergulatan batin, dan makna identitas di tengah tekanan zaman,” ungkap Marcella.
“Setiap pahlawan ini 'berbicara’ langsung kepada penonton, membawa mereka ke dalam momen-momen krusial yang menentukan. Kami menggunakan elemen panggung, multimedia, dan tentu saja, akting yang intens untuk menciptakan pengalaman teater yang kami harap tak terlupakan,” jelas Wawan.
Hana Malasan mengaku sangat terhormat untuk memerankan Ratu Kalinyamat, sang Ratu Pantai Utara yang gagah berani dan tegas.
“Ini tantangan yang saya terima dengan penuh semangat. Saya melihat keberaniannya untuk ‘tampil beda’ dan memimpin di eranya relevan dengan semangat kita hari ini,” kata Hana.
Sementara itu, Glory Hilary sebagai Christina Martha Tiahahu menemukan kesamaan dalam passion dan intensitas antara ia dan tokoh yang diperankan.
“Saya menuangkan jiwa ke dalam setiap peran, Christina menuangkan jiwanya untuk membela tanah air. Saya berharap dapat menyalurkan api semangatnya itu melalui pertunjukan ini.”
Dari balik jeruji penjara, Christina Tiahahu menghujat kolonialis Belanda dengan kalimat-kalimat tajam yang dilontarkan Glory. Mereka merampas cengkeh dan pala, tapi membiarkan rakyat Maluku miskin dan lapar.
Pertunjukan ini semakin menarik karena bertepatan dengan kedatangan Ratu Maxima dari Kerajaan Belanda. Sayangnya, sang Ratu yang negerinya menjadi sentral cerita dan gugatan, justru tak dihadirkan di Gedung Kesenian Jakarta.