Ada satu hal yang patut diapresiasi dari Merah Putih: One for All ini adalah salah satu upaya langka untuk menghadirkan animasi nasional bertema perjuangan. Niatnya jelas baik—menggelorakan semangat nasionalisme lewat medium yang populer di kalangan generasi muda.
Namun, nasionalisme sejati bukan hanya soal memuji tanpa syarat, melainkan juga memberi masukan jujur agar karya anak bangsa benar-benar bisa dibanggakan.
Sayangnya, dari materi promosi yang beredar, khususnya trailer, justru publik tergerak untuk bersatu dalam satu suara: kritik. Ironisnya, film yang dimaksudkan sebagai pemersatu lewat semangat kebangsaan justru lebih dulu mempersatukan warganet lewat sarkasme dan meme.
Trailer adalah etalase sebuah film. Dalam bisnis apa pun, etalase diisi barang terbaik untuk memikat calon pembeli. Kalau yang dipajang saja sudah cacat, wajar jika orang meragukan isi “gudang”.
Di Merah Putih, etalase itu berisi animasi yang kaku, gerakan karakter seperti boneka kayu, dan ekspresi wajah yang terasa hambar. Bagi penonton yang terbiasa dengan standar animasi modern, kesan pertama ini sulit diabaikan.
Trailer seharusnya seperti ujian nasional: kesempatan emas untuk membuktikan kemampuan. Sayangnya, yang tersaji lebih mirip siswa yang datang terlambat, membawa kertas penuh tip-ex, lalu berkata, “Tunggu saja nilai akhirnya.”
Anggaran Jumbo, Waktu Mini
Kabar bahwa film ini menghabiskan dana sekitar Rp6,7 miliar namun dikerjakan hanya dalam 1–2 bulan membuat publik geleng-geleng kepala. Animasi bukan mi instan—tidak bisa matang sempurna hanya dengan api besar dan niat baik.
Produksi animasi yang berkualitas biasanya memakan waktu panjang, demi memastikan detail gerakan, pencahayaan, ekspresi, hingga pantulan cahaya di mata karakter. Memang, ada karya yang bisa dibuat cepat, tapi untuk tema perjuangan bangsa, publik berharap hasilnya lebih dari sekadar “yang penting jadi sebelum 17 Agustus”.
Di era global, penonton kita terbiasa melihat karya dari Pixar, DreamWorks, hingga animasi lokal seperti Nussa dan Si Juki yang dikerjakan dengan standar sinematik.
Dengan dana miliaran, wajar publik berharap kualitas visual setidaknya mendekati standar itu—atau paling tidak tidak terlihat seperti cutscene game awal 2000-an.
Bahkan, jika kita bicara soal One Piece dan tokoh legendarisnya, Monkey D. Luffy, animasinya sudah melewati puluhan tahun perkembangan. Dari era gambar goyang-goyang tahun 90-an sampai gear fifth yang penuh efek modern, kualitas visualnya terus naik mengikuti tuntutan zaman.
Publik Indonesia sudah terbiasa dengan evolusi semacam itu. Maka ketika melihat Merah Putih yang terasa “stuck” di kualitas lawas, wajar kalau reaksi mereka seperti: “Luffy saja bisa belajar teknik baru, masa animasi kita nggak?”
Membanggakan karya anak bangsa itu baik, tapi membiarkan standar jatuh justru berbahaya. Nasionalisme yang sehat berarti memastikan karya kita bisa tegak di panggung dunia, bukan sekadar lolos tayang di dalam negeri.
Begitu potongan adegan di trailer berubah jadi meme, arus narasi hampir mustahil dikendalikan. Meme bergerak lebih cepat daripada klarifikasi dan lebih melekat di ingatan penonton daripada plot film itu sendiri.
Adegan dengan ekspresi kaku layaknya patung lilin langsung menjadi bahan candaan. Dari situ, opini publik mulai terkunci, dan setiap promosi berikutnya harus melawan kesan pertama yang sudah terlanjur terbentuk.
Tema Sakral, Eksekusi Asal-asalan
Mengangkat bendera pusaka adalah tema sakral yang memerlukan ketelitian ekstra. Publik ingin melihat visual yang gagah, penuh detail, dan dikerjakan dengan cinta.
Namun kesan yang muncul justru terburu-buru. Ini seperti membawa keris pusaka ke panggung peragaan busana, lalu modelnya berjalan dengan sandal jepit. Semangatnya ada, tapi kemasan visualnya meruntuhkan wibawa pesan yang dibawa.
Saat kritik memuncak, produser menulis di media sosial: “Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain.”
Kalimat ini mungkin dimaksudkan sebagai pendingin suasana, tapi justru terdengar seperti meremehkan masukan penonton—padahal penontonlah yang menjadi penentu nasib film di pasaran.
Menghargai kritik adalah bagian dari membangun kepercayaan publik. Menutup telinga sama saja dengan menutup pintu bagi perbaikan di masa depan.
Merah Putih: One for All lahir dari niat baik, tapi niat baik saja tidak cukup. Ia butuh waktu yang layak, riset yang matang, tim yang solid, dan kesabaran dalam eksekusi.
Kritik keras dari publik bukan berarti benci, tapi justru bentuk kepedulian—karena kita ingin karya anak bangsa mampu bersaing di kancah global dan menjadi kebanggaan nasional yang sesungguhnya.
Di era media sosial, etalase yang buruk bisa membuat toko sepi bahkan sebelum sempat dibuka. Semoga ini menjadi pelajaran bahwa dalam seni, terburu-buru adalah musuh terbesar, dan dalam nasionalisme, kejujuran adalah sahabat terbaik.