Berulang kali, dalam setiap tulisan, saya coba mengantarkan pembaca pada kesadaran bahwa di abad ke-21 ini kita sedang berada di dunia yang berlangsung sangat cepat. Banyak dari manusia abad ini berambisi pada deadline, target, dan capaian—yang entah tiada habisnya. Sayangnya, tubuh manusia terlalu rapuh untuk mengejar semua itu. Setiap manusia punya batasnya masing-masing, dan itu tidak disadari oleh banyak orang. Hingga pada akhirnya banyak yang terjebak pada kelelahan dan kecemasan.
Untuk itu, sering kali saya berupaya mengajak pembaca untuk mengambil jeda. Bukan untuk berhenti, tapi mencoba merefleksi, mengevaluasi, dan mengenali diri sendiri. Mulai dari belajar filsafat, membaca, hingga menyepi dari dunia yang ramai. Namun, di sini saya akan coba memberi satu hal lain, yakni mendengarkan musik. Persoalan ini tersaji secara ciamik dalam sebuah lagu berjudul “Yakin”, karya Soloensis, musisi asal Solo. Seperti berikut:
Kawan, baru saja ini
Teringatku pada titik terlelah dalam perjalanan
Luar biasa beratnya beban itu menarik
Mengajak 'tuk menyerah dan sudahi saja
Bait-bait awal lagu ini mengajak kita untuk merefleksikan diri. Mengingat bahwa setiap langkah berat yang sudah kita jalani pernah mengajak untuk menyerah. Menyudahi serangkaian proses yang sudah dimulai. Tentu ini berkaitan erat dengan kondisi era ini, dimana manusia sering kali kelelahan karena tuntutan dunia.
Byung-Chul Han dalam bukunya The Burnout Society, memberikan labelisasi pada sebagian besar masyarakat abad ini sebagai masyarakat yang kelelahan. Bukan hanya soal kelelahan secara fisik, tapi juga eksistensial (Han, 2024). Saya mengira media sosial juga menjadi salah satu pendorong utama gejolak ini. Citra palsu yang kerap tampil memperdaya sebagian manusia untuk selalu merasa tidak cukup dan berakhir menyalahkan hidup.
Manusia abad ini dipenuhi sesak, hingga sulit sekali mengambil napas, walaupun sejenak. Banyak kepala seakan ingin sekali meledak. Untuk itu, musik dipercaya oleh banyak orang sebagai langkah menepi, menutup telinga dari bisingnya dunia, dan menikmati suara di kepala. Lewat musik, banyak orang mulai mengekspresikan diri.
Soloensis mencoba hadir dengan kebiasaan baru. Di tengah berbagai lagunya yang bergenre rock-blues, di lagu “Yakin”, mereka mencoba untuk memperlambat ritme. Dengan petikan gitar dan lirik menggetar, lagu ini merasuk ke dalam relung hati pendengarnya. Lagu-lagu mereka banyak mengandung pesan sosial dan memacu semangat hidup.
Sebelum masuk lebih dalam, tulisan ini akan mencoba untuk mengantarkan pembaca memahami makna lagu ini dengan menggunakan pisau Ricoeur. Memahami menurutnya tidak terbatas pada teks, melainkan melibatkan sebuah diskursus filosofis yang ditimbulkan oleh teks. Dalam artian, memahami adalah merenungkan makna dan menyingkap makna itu lewat refleksi (Hardiman, 2018).
Lalu, bait berikut ini mencoba menyadarkan kita:
Ternyata ku di antara asuhannya
Tak membiarkan aku dalam gelap
Ku nikmati, ku ekstraksi ujian itu 'tuk ku langitkan
Secara tersirat, Soloensis mengutarakan kecintannya terhadap Sang Khalik. Sadar bahwa segala ujian yang diterima di dunia adalah dari-Nya. Oleh sebab itu, kita sebagai hamba tidak perlu khawatir apabila sedang menghadapi berbagai masalah, karena Tuhan hanya akan membebani hamba-Nya sesuai dengan kesanggupannya (QS.Al-Baqarah [2]: 286). Berikutnya, mereka mengingatkan pentingnya doa dalam bait:
Mulai ku yakin akan ada yang membumi
Adalah jawaban dari segala yang ku langitkan
Dan pasti akan ada yang membumi
Adalah jawaban dari segala yang ku langitkan
Salah satu bentuk komunikasi seorang hamba dengan Tuhan adalah lewat doa. Dan itu yang tercermin dari bait di atas. Ketika menghadapi ujian, sepatutnya seorang hamba akan meminta pertolongan kepada Sang Maha segalanya. Bukan dengan mendikte, tapi merayunya. Begitu juga yang disampaikan oleh Husein Ja’far dalam bukunya “Seni Merayu Tuhan”, bahwa berdoa merupakan momentum paling syahdu untuk merayu Tuhan (Al-Haddar, 2022).
Sayangnya, tidak semua doa dapat terpenuhi dengan cepat dan tepat. Bukan karena Tuhan tidak mau, tapi karena hitungan Tuhan dengan manusia berbeda. Apa yang kita anggap baik, tidak selalu sama dengan apa yang Tuhan anggap baik. Oleh sebab itu, sebagai seorang hamba, cukup untuk bersabar dan bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan.
Tidak perlu khawatir pada doamu, karena Tuhan telah memberikan kepastian kepada hamba-hamba-Nya tentang doa dalam QS. Al-Baqarah: 186 dan QS. Ghafir: 60. Untuk itu, selalu pupuk keyakinan itu, seperti dalam lagu ini. “pasti akan ada yang membumi”, percayalah. Bahwa di setiap luasnya kemungkinan, pasti ada campur tangan Tuhan, seperti dalam lirik:
Di sangat luasnya kemungkinan yang terjadi
Ku di antara makhluk pembimbing hidup
Tak kasatmata, tapi energinya itu
Merasuk kuat sangat sebabkan semangat
Satu persatu tersingkaplah tabirnya
Tuhan adalah satu-satunya Dzat yang selalu mendampingi setiap langkah hamba-Nya. Memberi aturan dan cobaan bukan hanya untuk menguji, tapi sebagai jeda pada diri manusia. Prof. Quraish Shihab menganalogikan bahwa hidup manusia bagaikan lalu lintas, masing-masing ingin berjalan dengan selamat sekaligus cepat sampai –dengan berbagai kepentingan berbeda. Maka, jika tidak ada aturan, niscaya akan terjadi benturan dan tabrakan (Shihab, 2013).
Untuk itu, sebagai seorang hamba, kita harus selalu berprasangka baik kepada Tuhan. Mengingat bahwa segala hal di dunia ini adalah ciptaan-Nya. Kemudian prasangka baik itu akan kembali dengan bentuk cinta. Energi untuk selalu bisa memaknai setiap inci perjalanan hidup dengan semangat. Dan mengingat, pada akhirnya kita akan kembali ke pelukan-Nya, seperti dalam bait terakhir lagu ini:
Erat ku mengikat
Ku akan menguat
Lepas ku terikat
Ku akan kembali
Pada tuan rumah
Soloensis berhasil menutup lagu ini dengan refleksi terdalam. Setelah serangkaian panjang keyakinan kita terbentuk, keterikatan manusia pada dunia lambat laut akan terlepas, dan akhirnya akan kembali “pada Tuan Rumah”. Keyakinan untuk hidup dan mati harus selalu tersandar pada sang Maha Kuasa.
Lagu ini benar-benar luar biasa. Memberikan percikan api ketika semangat mulai padam. Membangkitkan diri ketika mulai kelelahan. Membawa keyakinan di tengah kemustahilan. Dan menyadarkan, bahwa ada Dzat yang menanti kita untuk pulang dalam pelukan.