Tatkala memulai tulisan ini, air mulai membasahi bumi, bukan sebagai bencana—seperti yang sering didengungkan pemerintah—tapi sebuah rahmat Tuhan untuk ciptaan-Nya. Hujan memang selalu akrab dengan bulan Desember. Saya membaca fenomena ini sebagai upaya Tuhan untuk menyuburkan harapan-harapan manusia esok tahun baru. Namun, di tengah basahnya bulan ini, terselip sebuah perayaan yang tak cukup dirayakan hanya sekali, ia adalah Hari Ibu.
Untuk itu, tulisan ini akan berupaya membahas tentang sosok Ibu. Namun, sebelum lebih jauh, perlu rasanya untuk mengenali hari Ibu dalam konteks sejarah. Dalam sejarahnya, hari Ibu pertama kali dirayakan pada ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928 dan kemudian dinasionalkan pada tanggal 22 Desember lewat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 316 Tahun 1959 pada masa kepemimpinan presiden Soekarno.
Upaya nasionalisasi hari Ibu digunakan untuk merayakan sosok Ibu atau perempuan Indonesia yang telah mengabdikan diri dalam berbangsa dan bernegara. Banyak cara yang bisa dilakukan untuk merayakan sosok Ibu, tapi kiranya menarik jika merayakan hari Ibu ini bukan lagi secara harfiah. Oleh sebab itu, tulisan ini akan membawa pembaca masuk ke dalam lagu berjudul “Seperti Rahim Ibu”, karya Efek Rumah Kaca.
Lagu ini dipersembahkan dengan lirik-lirik puitis nan filosofis yang sangat elok untuk diresapi. Agar lebih dalam lagi, saya akan mencoba membawa pisau hermeneutika Gadamer untuk dapat membaca makna lagu ini. Proses memahami dalam pandangan Gadamer adalah sebuah proses peleburan situasi pembaca (masa kini) dan teks (masa lalu) agar dapat dipahami secara kreatif dan filosofis (Hardiman, 2018).
Lantas, mari kita mulai lewat lirik awal lagu ini:
Dengarlah nyanyi sunyiku
Bait risauku
Rindu terpendamku
Menyala dalam hayatku
Lewat lirik itu, tergambar bahwa lagu ini berangkat dari kegelisahan dan suara-suara sunyi yang selalu mengendap dengan nyala api perlawanan. Seperti apa yang sedang terjadi di Indonesia hari ini. Sudah banyak masyarakat yang mulai geram terhadap jalannya pemerintahan. Karena mereka bukan lagi mencerminkan kebutuhan rakyat, tapi hanya sebatas kepentingan para pejabat.
Tahun ini kita telah disuguhkan banyak masalah yang terus-menerus bertambah setiap harinya. Mulai dari isu kenaikan pajak, hingga yang terakhir tidak tegasnya pemerintah dalam menangani bencana ekologis di Sumatera. Muak, dan seperti tidak ada jalan keluar. Oleh karena itu, lirik selanjutnya menggambarkan harapan:
Menghalau awan mendung
Kemanusiaan itu
Seperti terang pagi
Merekahkan harapan
Menepis kabut kelam
Duka dan keresahan yang sudah menumpuk harus dileburkan untuk menghalau “awan mendung”. Di sini awan mendung bukan dimaknai sebagai kondisi sebelum hujan, namun mengacu lirik selanjutnya, awan mendung yang dimaksud adalah kegelapan yang pekat atau keburukan yang sudah mengendap. Untuk itu, kemanusiaan hadir seperti terang pagi.
Hadirnya kemanusiaan diharapkan dapat menepis kabut kelam, keburukan yang mengkaburkan pandangan. Tujuan kemanusian adalah untuk memanusiakan manusia. Agar manusia dapat melihat manusia sebagai manusia, bukan hanya statistik atau angka. Namun, untuk meraih kemanusiaan itu bukanlah mudah. Ia harus dikuatkan untuk melewati segala rintangan, seperti lirik selanjutnya:
Niatkan tinju terkepal
Pekik menebal
Terjang aral
Pagi pasti terkejar
Kemanusiaan harus diniatkan dalam bentuk perlawanan terhadap segala bentuk penindasan. Suara-suara harus terus digalakkan, menerjang segala rintangan terjal di depan mata. Sedangkan rintangan itu adalah pemerintah kita sendiri. Oleh sebab itu, harus ada langkah mengikhtiarkan segala bentuk perjuangan kemanusiaan. Agar “terang pagi” itu dapat segera menepis “kabut kelam”.
Dalam bait selanjutnya, kita akan masuk ke dalam inti dari lagu ini. Efek Rumah Kaca mengkiaskan sebuah diksi unik untuk menggambarkan keinginannya melihat Indonesia. Menggunakan metafora Rahim Ibu, Efek Rumah Kaca mengharapkan sosok yang merawat kehidupan dan menguatkan segala kerapuhan. Seperti berikut ini:
Seandainya negeriku
Serupa rahim ibu
Merawat kehidupan
Menguatkan yang rapuh
Sungguh sangat cocok mendengarkan lagu ini saat sedang merayakan hari Ibu dan menghadapi realita sosial-politik negara kita. Menghayati bagaimana sosok Ibu dengan rahimnya yang melahirkan kehidupan. Menahan segala sakit dan kesusahan saat mengandung. Membuahi sperma yang rapuh sampai mendidik menjadi sosok manusia yang utuh. Ibu adalah sosok suci nan kuat yang tidak dapat dipungkiri lagi.
Oleh karena itu, Efek Rumah Kaca berupaya mengandaikan negerinya, Indonesia, serupa “rahim Ibu”. Di situasi hari ini, negara harus hadir sebagai Ibu. Sosok yang sayang dan lemah lembut pada buah hatinya. Tanpa kenal letih merawat serta mendidik anak-anaknya, bergembira atas segala pencapaian, dan sedih ketika mendengar keluhannya. Dan anak-anak itu adalah seluruh rakyat Indonesia.
Rahim Ibu adalah tempat yang suci, tempat dimana kehidupan bermula. Seperti halnya sebuah negara, kekuasaan adalah amanah suci yang dapat melahirkan kebijakan-kebijakan untuk menopang kehidupan rakyatnya. Lantas bayangkan jika tempat suci itu dikotori oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab? Akan jadi apa negeri ini?
Mengutip Prof. Quraish Shihab dalam bukunya “Membumikan Al-Qur’an Jilid 2”, “Nabi Muhammad SAW. memberi peringatan kepada semua pejabat, bahwa: Jabatan adalah amanah dan ia akan menjadi kenistaan dan penyesalan di hari kemudian, kecuali yang menerimanya dengan hak serta menunaikannya dengan baik.” Terlihat begitu beratnya tanggung jawab sebuah jabatan.
Sebagai penutup, tulisan ini adalah salah satu bentuk merayakan hari Ibu di tahun ini. Sebuah refleksi filosofis dari sebuah lagu karya Efek Rumah Kaca yang berjudul “Seperti Rahim Ibu”. Membaca sebuah penghayatan tentang sosok Ibu dan kondisi bangsa. Untuk itu, sebagai kaum muda, marilah kita bersama-sama usahakan meraih “terang pagi” itu dan menjelmakan negeri ini sebagai “rahim ibu” seperti dalam bait terakhir lagu ini.