Wayang sejatinya bukan artefak, melainkan sistem pengetahuan yang hidup. Ia merupakan cara manusia Nusantara menafsirkan dunia dan menata relasi dengan sesama, alam, dan yang ilahi. Dalam dirinya tersimpan tradisi tutur — bentuk ekspresi manusia paling awal — yang menautkan nalar dan batin, pikiran dan rasa.
Dalam setiap pertunjukan, dalang tak sekadar memainkan tokoh, tetapi menuturkan makna hidup. Cerita wayang bukan pengulangan mitos; ia adalah peristiwa tafsir yang terus berlangsung.
Wayang sering kali diposisikan sebagai warisan masa lalu. Dalam berbagai kebijakan dan wacana publik, ia hadir sebagai simbol kebesaran kebudayaan Jawa, bukti peradaban tinggi Nusantara, atau sekadar ikon untuk pariwisata budaya.
Di tengah arus modernitas yang menjadikan efisiensi dan kecepatan sebagai nilai utama, wayang seperti tampak usang. Anak-anak tumbuh dalam dunia citra yang serba instan, di mana nilai-nilai kemanusiaan dikirim melalui algoritma, bukan melalui pengalaman mendengar dan merenung.
Namun, ketika sebuah tradisi hanya dilihat sebagai “seni tua” yang perlu diselamatkan dari kepunahan, kita justru sedang menyingkirkannya dari kehidupan. Wayang dijadikan fosil kultural yang dipajang, bukan napas yang dihidupi.
Maka, ketika berlangsung Festival Dalang Anak Nasional 2025 pada 3-5 November 2025 di Gedung Pewayangan Kautaman, Jakarta Timur, yang menarik bukan semata penampilan anak-anak yang lihai memainkan tokoh Pandawa atau Buta Cakil, melainkan makna lebih dalam dari proses itu. Yaitu tentang bagaimana anak-anak belajar menuturkan dunia dalam bahasa simbolik.
Dasar Kemanusiaan
Filsuf Prancis Paul Ricoeur pernah mengatakan, “simbol memberi untuk dipikirkan.” Wayang, dalam pengertian itu, adalah simbol yang membuka ruang berpikir; bukan untuk meniru, melainkan untuk menafsir.
Ketika anak memainkan lakon wayang, ia sedang berlatih menjadi manusia yang mampu membaca tanda, memahami ambiguitas, dan mengenali dimensi moral dari tindakannya. Dalam dunia di mana kebajikan sering disederhanakan menjadi slogan moral, kemampuan menafsir semacam ini justru menjadi dasar kemanusiaan yang paling penting.
Dari situ, kita bisa melihat bahwa pewarisan wayang bukan semata soal pelestarian bentuk, tetapi pewarisan cara berpikir dan cara beriman. Tradisi tutur dalam wayang tidak sekadar mengisahkan dewa dan ksatria, melainkan menuturkan pergulatan manusia dengan diri dan nasibnya.
Dalam lakon-lakon Mahabharata versi Jawa, manusia digambarkan bukan sebagai makhluk yang suci, tetapi yang rapuh, ragu, dan terus mencari keseimbangan. Itulah religiositas Nusantara: spiritualitas yang tumbuh dari kesadaran akan keterbatasan, bukan dari dogma.
Dalam pandangan Franz Magnis-Suseno, moralitas hanya mungkin hidup bila berakar pada “kebijaksanaan lokal yang meneguhkan kemanusiaan.” Wayang adalah bentuk kebijaksanaan itu. Ia mengajarkan etika bukan lewat hukum, tapi lewat cerita; bukan dengan perintah, melainkan perenungan.
Di panggung wayang, kebenaran tidak pernah absolut. Bahkan tokoh yang disebut satria pun kerap jatuh dalam kesalahan. Melalui simbol-simbol itu, manusia diajak mengenali kenyataan moral yang rumit, bukan hitam-putih.
Pandangan seperti ini menantang cara kita memahami “pelestarian kebudayaan.” Politik kebudayaan kita masih berpikir dalam logika arsip: yang penting bentuknya bertahan, meski maknanya hilang. Pemerintah menggelar festival, menetapkan warisan takbenda, mendirikan museum, seolah dengan itu kebudayaan dijaga.
Namun pelestarian yang tak berangkat dari pemahaman terhadap nilai dan struktur makna justru membuat tradisi kehilangan daya hidupnya. Ia berubah menjadi pertunjukan seremonial yang diulang tanpa kesadaran.
Laku Spiritual
Wayang bukan sekadar benda atau pertunjukan yang bisa direplikasi. Ia adalah laku spiritual. Dalam filsafat Jawa, kesenian selalu merupakan peristiwa batin, sebuah bentuk komunikasi antara manusia dan yang ilahi melalui simbol.
Ki Nartosabdo pernah mengatakan bahwa “dalang itu makhluk yang berdoa dengan cerita.” Dalam kalimat sederhana itu, tersimpan pandangan dunia bahwa seni sebagai jalan doa. Artinya, dalang tidak hanya menghibur, melainkan menjadi penghubung antara yang tampak dan yang tak tampak, antara bayangan dan cahaya.
Dalam konteks ini, mengajarkan wayang kepada anak berarti memperkenalkan cara lain beragama dan berpikir. Bukan agama dalam pengertian ritual, tetapi kesadaran spiritual bahwa hidup adalah dialog.
Filsuf Yahudi, Martin Buber, dalam gagasan relasi Aku–Engkau (1999), menyebut bahwa religiositas sejati lahir dari hubungan yang hidup, bukan dari struktur keimanan yang kaku. Dalam pertunjukan wayang, relasi itu nyata terwujud antara dalang dan penonton, antara simbol dan penafsir, antara manusia dan semesta. Anak-anak yang menjadi dalang kecil sedang berlatih membangun hubungan itu — hubungan yang melibatkan kesadaran, empati, dan pengetahuan.
Namun di sinilah paradoks kebudayaan kita. Politik kebudayaan hari ini sering menjadikan tradisi sebagai alat pencitraan, bukan pembentukan manusia. Wayang digunakan sebagai simbol kebangsaan di spanduk kementerian, tapi ruang hidup para dalang tradisional kian sempit.
Festival digelar tiap tahun, namun pendidikan kebudayaan di sekolah tetap memisahkan seni dari kehidupan. Kita membanggakan “keanekaragaman budaya,” tapi gagal memahami bahwa kebudayaan sejati bukanlah keragaman bentuk, melainkan keragaman cara manusia menafsirkan eksistensinya.
Jalan Sunyi Kebudayaan
Maka, jika ingin wayang hidup, kita perlu membebaskannya dari kerangka “pelestarian” menuju “pemaknaan.” Ia tidak butuh diselamatkan, ia butuh dipahami ulang. Anak-anak yang menjadi dalang bukan hanya penerus tradisi, tetapi pembaca baru yang membawa kesadaran baru.
Mereka mungkin tidak lagi hidup di desa, tapi dalam dunia digital. Dan justru di sanalah makna wayang diuji: apakah ia masih bisa memberi ruang bagi manusia untuk berpikir dan beriman di tengah banjir citra dan simulasi.
Dalam situasi sosial yang terpecah oleh politik identitas, wayang sesungguhnya menawarkan jalan sunyi kebudayaan: ruang refleksi di mana manusia diajak melihat diri dalam bayangan yang lebih dalam. Di balik kelir, yang tampak bukanlah sekadar boneka, melainkan proyeksi jiwa manusia — rapuh, ambisius, namun selalu ingin mencari terang.
Wayang, dalam arti itu, bukan hanya warisan estetika, melainkan warisan spiritual bangsa ini. Ia adalah cermin yang tak henti menuturkan pertanyaan tentang apa artinya menjadi manusia.
Dan mungkin, di tangan anak-anak yang sedang memainkan lakon-lakon itu hari ini, kita menemukan harapan baru. Bahwa kebudayaan tidak hanya diwariskan, tetapi terus diperbaharui melalui tafsir.
Seperti halnya dalang yang menuturkan kisahnya dalam gelap, bangsa ini membutuhkan ruang untuk menuturkan dirinya kembali — dengan kesadaran, kerendahan hati, dan iman yang tidak membungkuk di hadapan kuasa, melainkan menunduk pada kemanusiaan itu sendiri.