Ahad pagi, 3 Agustus 2025, penyair asal Sumenep-Madura mengirimkan 3 buah puisi baru berjudul ”Dasi Seorang Gila”, “Puisi Tanpa Gigi”, dan “Puisi Kalau”. Ketiganya berisi kritik sosial yang sangat tajam. Yang menarik salah satu puisinya ditujukan kepada para akademisi.
D. Zawawi Imron, yang tahun 2025 ini berusia 80 tahun, masih cukup aktif berkegiatan, memberi ceramah, melukis, menjadi imam shalat, dan tentu saja menulis puisi. Puisinya yang berjudul “Dasi Seorang Gila” ditulis di rumahnya daerah Batang-Batang Sumenep. “Ditulis 2 bulan lalu,” katanya melalui WA. Sementara dua puisi lainnya, kata penyair Celurit Emas ini, dibuat tahun ini.
Berikut ini 3 buah puisi D. Zawawi Imron. Tahun dan tempat pembuatan karya ditambah oleh redaksi berdasarkan pengakuan penyair.
DASI SEORANG GILA
Pemulung itu beranjak dari sampah Ke sampah
Tanpa rasa berdosa
Ia ingin memungut barang-barang
Yang sudah tidak berharga
Sambil membayangkan panasnya api neraka
Ia pun sadar
Bahwa semua orang tak peduli padanya
Satu saat pada tong sampah
Ia menemukan sebuah dasi sutra
Ia pungut dan ia lilitkan di lehernya
Tujuannya agar orang-orang makin jijik padanya
Ia menyanyi meniru orang gila
Ia merasa hidupnya makin berharga
Satu saat ia diterpa gerimis
Bersamaan matahari murka
Pemulung itu tersenyum ceria
Melihat warna pelangi mirip dengan dasinya
Sumenep, Mei, 2025
PUISI TANPA GIGI
Sepiring nasi
Mungkin lebih berguna daripada seribu disertasi
Yang majal tanpa gigi
Sumenep, 2025
PUISI KALAU
Kalau kamu punya uang sepuluh ribu rupiah
Kamu belikan sebungkus nasi
Lalu kamu berikan pada orang miskin yang lapar
Uang itu di akhirat nanti
Akan menjadi umbul-umbul sutra
Yang menjemputmu di pintu sorga
Kalau kamu punya uang limabelas ribu rupiah
Lalu kamu belikan sepiring soto
Dan kamu makan sendiri
Besoknya soto itu akan jadi isi WC
Sumenep, 2025
Dikutip dari NU Online, D. Zawawi Imron menulis puisi sejak umur 13 tahun. Yang menarik, umur remaja itu, ia menulis tentang usia. Puisi pertamanya berjudul “Sembari Diri Berangkat Tua”, dimuat di Minggu Bhirawa. Masih mengutip NU Online, tahun 1979, sajaknya memperoleh juara I dalam lomba Perhimpunan Sahabat Pena Indonesia. Tahun 1983, 1984, 1985 ia memenangkan lomba yang digelar Perhimpunan Indonesia Amerika. Tahun 1985, syairnya ”Nenek-moyangku Airmata” memperoleh hadiah Yayasan Buku Utama.
Masih sangat banyak lagi informasi dunia kepenyairan D. Zawawi Imron. Yang tidak kalah menarik, ia juga seorang pencerita humor. Humor-humor yang khas Madura disampaikan secara lisan ataupun tulisan, salah satunya dalam esai-esainya yang pernah dimuat Jawa Pos dan kemudian menjadi buku berjudul “Soto Sufi dari Madura”, Jogjakarta, Diva Pers 2023.
Penyair yang kiai ini atau kiai yang menyair ini tinggal di pesantrennya, Batang-Batang Sumenep, Madura, Jawa Timur. Panjang umur, Kiai. (Hamz)