Sedang Membaca
Vaksin dan Relasi Kuasa Orang Tua-Anak dalam Perspektif Islam
Zaimatus Sa’diyah
Penulis Kolom

Dosen IAIN Kudus, sedang menyelesaikan studi doktoral di Radboud University, Belanda dan aktif di PCI NU Belanda.

Vaksin dan Relasi Kuasa Orang Tua-Anak dalam Perspektif Islam

Santri

Beberapa hari ini grup WA wali santri di pesantren anak saya ramai karena edaran tentang vaksinasi bagai seluruh santri. Dalam surat tersebut dilampirkan surat peryataan dan persetujuan wali santri atas vaksin Covid-19 bagi anaknya.

Pro dan kontra pun muncul menanggapi surat edaran di atas. Ada yang dengan terang-terangan menyatakan penolakan disertai dengan alasan-alasan personal, ada juga yang mendukung dan lebih banyak yang diam mengamati perdebatan virtual dalam grup.

Satu hal yang menarik perhatian saya dari perdebatan di atas adalah relasi kuasa antara anak dan orang tua yang terbangun dalam struktur masyarakat kita. Di Indonesia, tidak ada batasan jelas kapan seorang anak bisa dinyatakan mandiri secara hukum. Bahkan saling ketergantungan antara orang tua dan anak dalam kultur masyarakat Indonesia sangat memungkinkan orang tua untuk terus memberi bantuan finansial dan tempat tinggal pasca pernikahan anak-anak. Tidak jarang pula, orang tua menjadi tempat penitipan cucu. Hal ini menurut Lewis (1990) terjadi karena orang tua juga mengharapkan agar anak-anak mereka kelak bisa memberikan bantuan saat dibutuhkan. Kondisi berbeda terlihat di negara-negara maju di mana saat anak mencapai usia 18 tahun mereka sudah terkondisikan untuk bisa mandiri dan meninggalkan rumah orang tua.

Kembali pada relasi kuasa antara orang tua dan anak sehubungan dengan persetujuan vaksin ini, ada satu pengalaman menarik yang saya alami. Dalam proses mendaftarkan dua anak saya yang berusia 12 dan 17 tahun untuk mendapatkan vaksin Covid-19 di Belanda, status saya sebagai orang tua tidak serta merta menjadi hak veto atas anak. Artinya, saya sebagai orang tua hanya berhak untuk mendampingi dan memberikan informasi yang lengkap tentang vaksin sehingga kemudian mereka mempunyai gambaran atas keputusan yang akan mereka ambil sendiri. Petugas akan secara langsung bertanya pada anak apakah mereka tahu apa tujuan dan manfaat vaksin, resiko, efek samping dan lain-lain.

Pertanyaan terakhir yang diajukan adalah apakah mereka dengan penuh kesadaran menyetujui pelaksanaan vaksin atas dirinya? Di sini saya melihat bahwa anak-anak sejak dini diajarkan untuk memiliki otonomi dan kuasa penuh atas tubuhnya. Di satu sisi, hal ini sangat penting karena dengan memberikan anak hak dan kuasa penuh atas tubuhnya bisa menjadi salah satu solusi atas berbagai permasalahan sosial yang berakar dari relasi kuasa. Namun di sisi lain, kuasa penuh yang diberikan pada anak akan menjadi bumerang jika tidak ditopang dengan norma-norma agama. Pergaulan bebas yang jamak ditemukan di Barat adalah salah satu contoh fenomena ini.

Baca juga:  Idul Fitri, Islam, dan Sains (4): Andi Hakim Nasoetion: Ihwal Sains dan Kritik “Beragama” di Kampus

Dalam konteks pengambilan keputusan untuk vaksin, ada salah satu wali santri yang menyatakan penolakan dan menegaskan bahwa ini adalah hak dia sebagai orang tua. Perspektif ini muncul karena relasi kuasa yang selama ini terbangun dalam struktur sosial masyarakat kita bahwa orang tua punya kuasa penuh atas anak dan sebaliknya, anak harus patuh sebagai bentuk bakti pada kedua orang tua. Perspektif ini pula yang kemudian menjadi penyebab maraknya kasus pernikahan usia dini, dimana anak harus patuh pada keputusan orang tua yang mengorbankan anak untuk berbagai alasan seperti perjodohan, kemiskinan, perjanjian hutang-piutang, dan bahkan alasan agama (menjaga anak-anak dari perzinahan). Pernikahan dini merupakan salah satu akar dari berbagai masalah di tengah masyarakat seperti perceraian, kemiskinan, kematian ibu dan bayi, kekerasan dalam rumah tangga, malnutrisi pada anak-anak, dan lain sebagainya.

Selain pernikahan usia dini, tuntutan orang tua terhadap capaian akademik anak juga merupakan salah satu faktor tingginya angka stress dan bunuh diri pada usia remaja. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa jika tidak digunakan dengan tepat, relasi kuasa orang tua terhadap anak bisa menjadi penyebab munculnya masalah-masalah baru yang justru kontra produktif.

Lalu bagaimana Islam mengajarkan relasi yang ideal antara orang tua dan anak?
Salah satu prinsip dasar dalam Islam terkait relasi anak dan orang tua adalah amanah. Anak-anak yang terlahir merupakan amanah yang harus dijaga oleh orang tua. Demi menjaga keharmonisan hubungan antara kedua belah pihak, Islam telah menetapkan hak dan kewajiban masing-masing. Dalam literatur fikih Islam, ada lima siklus pertumbuhan manusia dari janin, anak-anak, mumayiz, akil balig, dan rusyd (dewasa). Sebelum anak mencapai usia mumayiz (usia sekitar 7 tahun dan telah memiliki kemampuan berpikir dan membedakan mana yang baik dan buruk) anak telah memiliki ahliyatul wujub kamilah, yaitu kecakapan untuk menerima hak dan dikenai kewajiban. Namun karena keterbatasan mereka, orang tua diperbolehkan mengambil alih pemenuhan hak dan kewajiban ini misalnya menerima atau membayarkan zakat dan sedekah atas nama anak. Di masa ini mereka belum memiliki ahliyatul ada’, yaitu kecakapan untuk melaksanakan kewajiban syariat. Namun demikian, orang tua tetap berkewajiban untuk melatih dan memperkenalkan mereka pada kewajiban-kewajiban syariat sehingga saat mereka telah mencapai usia mumayiz mereka telah siap melaksanakannya dengan baik meskipun pada masa ini ahliyatul ada’ mereka masih terbatas atau naqishah.

Saat mereka mencapai usia akil balig, mereka telah benar-benar menjadi mukalaf yang harus bertanggung jawab penuh atas tubuh dan semua prilakunya. Mereka telah memiliki ahliyatul wujub dan ahliyatul ada’ yang sempurna atau kamilah. Kapankan seseorang dinyatakan mencapai usia akil balig? Menurut jumhur ulama, seseorang dinyatakan mencapai usia akil balig ketika dia berusia lima belas tahun atau sudah mengalami menstruasi pada perempuan dan mimpi basah pada laki-laki. Batasan usia lima belas tahun ditetapkan berdasarkan hadis Rasulullah saw ketika beliau tidak mengizinkan Ibnu Umar untuk ikut perang Uhud pada saat beliau berusia 14 tahun. Saat berusia 15 tahun beliau diizinkan untuk ikut serta dalam perang Khandaq. Dari sini bisa disimpulkan bahwa sejatinya Islam telah memberikan rambu-rambu bagaimana seharusnya relasi yang terbangun antara orang tua dan anak sejak mereka lahir hingga mencapai usia akil balig. Tentu saja mereka tidak akan mampu mencapai usia biologis dan psikologis akil balig tanpa bimbingan orang tua. Inilah sejatinya makna amanah atau tanggung jawab yang diberikan oleh Allah pada orang tua; bahwa mereka harus benar-benar mempersiapkan anak-anak mereka menjadi pribadi yang siap mengarungi hidupnya dengan penuh tanggung jawab.

Baca juga:  Ilmu Pengetahuan dan Religiositas (3): Terobosan Ilmu dan Spirit Agama

Lalu bagaimana dengan keputusan melaksanakan vaksin untuk mencegah penyebaran Covid-19 pada anak-anak? Ajaran Islam tentang batasan usia dan ahliyatul wujub/ahliyatul ada’ bisa menjadi pedoman orang tua untuk mengambil sikap. Sejak masa kanak-kanak sampai mencapai usia akil balig, mereka masih bergantung pada kebijakan dan kebijaksanaan orang tua untuk memutuskan apakah mereka mengizinkan anak-anaknya mendapatkan vaksin atau tidak. Tentu saja ini juga berlaku untuk berbagai jenis vaksin lain baik vaksin dasar yang disediakan oleh pemerintah secara cuma-cuma seperti BCG, Hepatitis, Polio, DPT, dan campak ataupun vaksin tambahan berbayar seperti MMR, Hib, dan PCV. Jika mereka telah mencapai usia akil balig, maka dibutuhkan sikap terbuka dari orang tua untuk memberikan ruang pada anak-anaknya berpendapat dan menentukan pilihannya. Di sinilah anak-anak dikenalkan untuk berkuasa penuh dan bertanggung jawab atas tubuhnya. Orang tua sudah selayaknya mampu memposisikan diri sebagai sahabat atau teman tempat berbagi dan mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang vaksin ini hingga kemudian anak-anak menemukan pilihan yang tepat untuk diri mereka sendiri. Maka surat pernyataan yang memang lazim ditemukan dalam setiap edaran kebijakan terkait anak-anak di Indonesia seharusnya menjadi ruang implementasi dialog antara orang tua dan anak.

Dari pemaparan di atas, sudah seharusnya batasan usia dan ahliyatul wujub/ahliyatul ada’ yang melekat pada anak dalam Islam menjadi pedoman bagi orang tua untuk membangun relasi yang tepat dengan anak-anak agar tercipta keharmonisan dan kesiapan mental bagi kedua belah pihak untuk bisa menghadapi kehidupan dua generasi yang tentu berbeda. Wallahu a’lam.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top