Akhir 2019 silam, Pemerintah Aceh lewat Dinas Syari’at Islam Aceh menggodok rancangan qanun tentang akhlak. Saya dan sejumlah pengajar dari beberapa kampus di Banda Aceh diundang memberi masukan. Draft qanun tersebut berusaha mengatur beberapa hal, di antaranya anjuran berakhlak kepada Allah, guru, dan orang tua.
Bagi institusi pendidikan, draft qanun tersebut mengatur wujud penerapan akhlak berupa pemisahan antara pengajar laki bagi murid laki-laki, dan sebaliknya. Diatur pula pembatasan ruang kelas dengan penghalang untuk menghindari interaksi murid laki-laki dan perempuan. Draft qanun juga memuat sanksi pidana bagi pihak yang tidak melaksanakan berbagai ketentuan itu.
Rancangan qanun di atas adalah salah satu aturan yang berusaha mengatur moral masyarakat Aceh. Tentu ada banyak lagi jenis qanun serupa, baik yang sudah sah atau masih berupa rancangan, salah satunya rancangan qanun hukum keluarga, yang mengizinkan poligami. Setahun lalu, dari seorang kolega, saya juga mendapatkan rancangan qanun tentang politik (siyasah).
Aneh. Barangkali begitu anggapan sebagian dari kita. Apakah penerapan ajaran Islam harus sedemikian kaku sehingga segala hal dalam hidup pemeluknya mesti diatur dan diintervensi? Apa yang sebenarnya terjadi dengan penerapan syari’at Islam di Aceh? Mengapa atas nama syari’at banyak sekali muncul aturan membatasi kehidupan warganya?
Moh Nur Ichwan dalam The Politics of Shari’atization: Central Governmental and Regional Discourses of Shari’a Implementation in Aceh menjelaskan, kecenderungan mengatur setiap aspek kehidupan masyarakat Aceh dengan hukum Islam terjadi pasca berlakunya kebijakan syari’at Islam. Gejala ini disebutnya dengan syariatisasi, yakni tindakan pemerintah mengatur segala sisi kehidupan publik secara komprehensif (kaffah) dengan syari’at Islam.
Tidak hanya dalam bidang hukum, aturan juga diterapkan dalam bidang politik, budaya, pendidikan, ekonomi, gaya hidup, kehidupan pribadi, dan lain-lain. Hal ini terbukti dengan kehadiran sejumlah aturan yang melarang perempuan duduk “ngangkang”, memakai rok, duduk “ngopi” semeja dengan laki-laki, dan larangan berada di luar rumah di atas jam 9 malam. Di Aceh Selatan, larangan juga diterapkan bagi PNS lak-laki untuk tidak berjenggot dengan sanksi berupa tidak boleh masuk kantor.
Syariatisasi didefinisikan Syafiq Hasyim dalam Indonesia’s Shariatisation Agenda : Where is MUI Headed ? dengan masuknya hukum syari’ah dalam bidang hukum, politik, dan sosial di Indonesia. Sementara Farzana Shaikh dalam From Islamisation to Shariatisation : cultural transnationalism in Pakistan mengatakan syariatasi sebagai lawan dari islamisasi. Jika islamisasi menekankan pada penegakan hukum Islam tanpa kompromi dengan mengorbankan kepentingan publik, maka syariatisasi diasosiasikan lebih dekat dengan kekuatan sosial non kebarat-baratan yang telah membawa negara pascakolonial dan membentuk masyarakat.
Al Makin dalam Identitas Keacehan dalam Isu-Isu Syariatisasi, Kristenisasi, Aliran Sesat dan Hegemoni Barat, menjelaskan bahwa syariatisasi di Aceh adalah persoalan identitas bagi masyarakatnya. Ada dua hal yang menjadi bahan utama identitas keacehan, yaitu bayangan tentang konsepsi orang Jawa yang dipandang sebagai pilar utama pemerintah pusat Jakarta, dan bayangan tentang Barat, yakni mewakili persepsi tentang non-Muslim.
Aceh menurut Al Makin merupakan daerah yang merasa berbeda, agama dan keacehan menyatu dan membentuk jati diri. Syariatisasi lantas banyak didukung oleh politisi lokal sebagai alat kampanye. Secara politik, pada masa konflik GAM-RI, ide syariatisasi didukung penuh oleh para akademisi, politisi, dan pemuka agama Islam di Aceh. Ide itu dinilai sebagai solusi bagi konflik yang sedang berlangsung.
Belakangan, saat kebijakan syariatisasi mulai berjalan, yang ditandai lahirnya qanun jinayat, para politisi menggunakan sentimen negatif dari liputan berita global tentang syari’at Islam di Aceh sebagai isu umum untuk mengaduk-aduk basis massa; bahwa orang luar Aceh mencoba untuk melemahkan dan mengintervensi kedaulatan Aceh. Jenis politisi demikian berusaha memenangkan simpati publik dan mencap dirinya sebagai pembela Islam.
Narasi demikian amat manjur. Sebagaimana dinyatakan Reza Idria dalam Tales of the Unexpected: Contesting Syari’ah Law in Aceh, Indonesia, sebagian masyarakat Aceh adalah korban konflik bersenjata dan selama puluhan tahun terpapar pada etno-nasionalisme (gerakan etnis) yang dicirikan pada perasaan berbeda sebagai sebuah bangsa sehingga dapat dengan mudah diprovokasi oleh cara pandang kritis orang luar yang mempertanyakan pelaksanaan syari’at Islam.
Konflik bersejanta diakui pula oleh Al Makin sebagai faktor dominan yang menjadikan Aceh saat ini menghasilkan begitu banyak hukum syariah. Kenyataan itu bahkan dapat ditarik jauh pada masa Aceh di bawah kepemimpinan Daud Beureueh. Syariah menjadi bahan utama dalam negosiasi Beureueh dengan Sukarno tatkala Aceh menerima ajakan bergabung dengan Indonesia.
Namun, semenjak Orde Baru, isu agama terpinggirkan dari ruang pulbik. Ini terjadi tidak hanya di Aceh, tetapi di semua konstalasi politik di Indonesia pada umumnya. Isu syariah menjadi reda. Namun, politik menjadi harganya. Sepertinya, karena syariah merupakan bagian dari jati diri Aceh, maka jika jati diri atau identitas itu dipinggirkan, harus ada harga yang dibayar, yaitu konflik yang berkepanjangan. Konflik, tentu saja tidak hanya persoalan syariah, juga tidak pula pesoalan agama secara umum, tapi persoalan identitas. Aceh merasa berbeda dengan bagian lain Indonesia, dan yang membedakan itu adalah syariah.
Pada masa reformasi, terjadi euforia di seluruh wilayah Indonesia. Agama datang lagi ke ruang publik. Begitu juga kondisi di Aceh. Tema syariah menjadi hangat lagi, dan sepertinya menggugah ingatan dan identitas lama yang selama ini dipaksakan untuk dikesampingkan oleh Orde Baru.
Di bawah bayangan antara konflik GAM dan RI, masyarakat Aceh merasa berbeda dengan Indonesia. Sementara itu, pasca-Tsunami mereka juga merasa berbeda dengan penduduk dunia yang lainnya. Perbedaan dan jati diri jadi meluas skala dan perbandingannya. Pada akhirnya, perbedaan itu butuh garis batas untuk membedakan “kami” dan “mereka”. Tujuannya adalah meredam kekhawatiran akan kehilangan jati diri.
Bagi masyarakat Aceh, garis batas itu adalah syariah. Berbagai qanun syariah yang ada dimaksudkan melindungi identitas dan jati diri. Meskipun bercampur dengan ortodoksi dan islamisasi, syariatisasi lewat upaya membentuk qanun-qanun syariah diyakini paling ampuh menciptakan tameng pelindung atas berbagai kekhawatiran. Dengan kondisi sekarang, nampaknya syariatisasi masih akan berlangsung dalam waktu cukup lama di Aceh dan ditandai dengan hadirnya qanun-qanun “aneh” atas nama syariah.