Zia Al-Ayyubi
Penulis Kolom

Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana Studi Al-Qur'an Hadis, alumni Pondok Tambakberas dan Pondok Krapyak

Rekam Jejak Perjuangan Gus Dur dengan Semangat Ekologi Qur’ani

Dewasa ini, wacana dan perbincangan terkait dengan ekologi dan lingkungan hidup semakin gencar dilangsungkan seiring dengan dampak arus zaman globalisasi yang memperburuk kondisi alam. Terkait dengan ekologi dan lingkungan hidup ini, sudah sering terdengar baik wacana, perbincangan hingga eksekusi langsung mulai dari para pemerhati lingkungan hingga pemangku dan pembuat kebijakan di pemerintahan.

Perhatian tidak lain karena lingkungan dan alam memiliki dampak yang signifikan terhadap kehidupan manusia. Bagaimana tidak signifikan, perhatian tentang lingkungan ini melibatkan tiga relasi dan dua dimensi. Manusia, alam, dan Tuhan selaku pemilik jagat raya merupakan bagian dari satu kesatuan relasi. Salah satu dari ketiganya tidak dapat dinafikan, apalagi eksistensinya sampai dihilangkan. Sedangkan dua dimensi yang menyertainya adalah dimensi empiris yang nampak dan dimensi abstrak yang tidak nampak.

Suguhan pengantar opini pada awal tulisan ini penting dikemukakan untuk meruntutkan perbincangan ini. Titik awal perbincangan ini dimulai dari bagaimana Al-Qur’an menyampaikan pesan ekologis, sebagaimana disebutkan dalam Qs. Al-Baqarah: 205 yang berbunyi:

وَإِذَا تَوَلَّىٰ سَعَىٰ فِى ٱلْأَرْضِ لِيُفْسِدَ فِيهَا وَيُهْلِكَ ٱلْحَرْثَ وَٱلنَّسْلَ ۗ وَٱللَّهُ لَا يُحِبُّ ٱلْفَسَاد

Artinya: Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.

Senada dengan ayat di atas, terdapat pula salah satu ayat yang menunjukkan betapa pentingnya menjaga lingkungan alam sebagaimana yang disebutkan dalam Qs. Ar-Rum: 41. Bunyinya adalah sebagai berikut:

Baca juga:  Menimbang Tiga Prinsip Ekonomi Al-Ghazali (4): Ekonomi Terpuji (Ihsan)

ظَهَرَ ٱلْفَسَادُ فِى ٱلْبَرِّ وَٱلْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِى ٱلنَّاسِ لِيُذِيقَهُم بَعْضَ ٱلَّذِى عَمِلُوا۟ لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ

Artinya: Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).

Meminjam istilah yang sering digaungkan oleh para mufassir, bahwa Al-Qur’an membawa spirit salihun li kulli zaman wa makan. Berangkat dari semangat ini, Al-Qur’an yang sudah diturunkan 14 abad silam tentunya akan terus membawa pesan-pesan yang relevan di zamannya. Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an tidak selalu berbicara hubungan antara manusia dengan Tuhan, atau hubungan manusia dengan manusia. Akan tetapi, di dalamnya juga memuat beberapa ayat Al-Qur’an yang menjelaskan hubungan manusia dengan alam atau lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa Al-Qur’an memberikan perhatian khusus terhadap isu-isu yang berhubungan dengan alam dan lingkungan.

Melangkah menuju runtutan perbincangan selanjutnya, bagaimana rekam jejak perjuangan Gus Dur terhadap isu-isu tentang ekologi dan lingkungan hidup?

Kilas balik catatan rekam jejak Gus Dur pada 26 tahun silam, lebih tepatnya pada bulan Desember tahun 1994. Kesaksian seorang Kepala Greenpeace Indonesia, Leonard Simanjutak, ia menuturkan jika memiliki kenangan mengesankan dengan Gus Dur. Pada saat itu, ia pernah terlibat dalam penolakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Muria, Jepara, Jawa Tengah. Sebagai perwakilan Masyarakat Anti Nuklir Indonesia (MANI), ia dan masa melakukan aksi menolak PLTN. Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk lanjutan dari riset yang telah diselesaikannya, yakni tentang bahayanya PLTN dan Indonesia tidak membutuhkan PLTN, mengingat dampak buruk yang berakibat pada rusaknya ligkungan, terlebih jika sampai terjadi kebocoran reaktor nuklir. Sedangkan di Indonesia sendiri berada pada wilayah geografis yang rentan akan bencana alam, sehingga peluang terjadinya kebocoran reaktor nuklir juga akan semakin tinggi pula.

Baca juga:  Ulama Banjar (80): KH. M. Janawi

Sebelum aksi, ia terlebih dahulu berbicara dengan beberapa tokoh, salah satunya adalah Gus Dur. Pada saat aksi itu dilakukan, kekuasaan Orde Baru sedang berada pada masa-masa dominasinya. Gus Dur yang kala itu merupakan Ketua Tanfidziyah PBNU, memposisikan diri sebagai oposan kekuasaan Orde Baru dan ikut serta mendukung aksi penolakan PLTN tersebut. Menurutnya, sosok Gus Dur merupakan sosok yang tegas dalam mengambil sikap. Gur Dur memiliki pandangan holistik, dan empati terhadap lingkungan hidup.

Kerja sama penolakan PLTN di Muria dengan Gus Dur terus berlanjut. Gus Dur memberikan pernyataan-pernyataan yang membela kaum lemah, terutama untuk kaum nadhiyin yang tinggal di sekitar semenanjung Muria, Jepara, yang akan dijadikan lokasi PLTN. Gus Dur memahami dan peduli dengan persoalan yang sedang terjadi, PLTN memberikan lebih banyak mudarat daripada manfaat. Bakal banyak persoalan jika ada PLTN yang beroperasi, seperti limbah nuklir yang akan jadi persoalan bagi generas-generasi selanjutnya. Belum lagi permasalahan kemungkinan kebocoran reaktor nuklir. Dari sini, Gus Dur sedang mengamalkan sebuah kaidah ushul fiqh “menolak mafsadat (kerusakan lingkungan) harus didahulukan daripada mengambil manfaat (energi pembangkit listrik).”

Selain itu Gus Dur juga sedang mengamalkan dan mengimplementasikan pesan yang dibawa Al-Qur’an, yakni menjaga lingkungan dari kerusakan-kerusakan akibat ulah tangan kotor manusia sebagaimana yang tercantum dalam ayat-ayat yang disebutkan di atas.

Baca juga:  Bu Nyai Nur Ishmah Ulin Nuha Arwani: Sosok Bercahaya Qur’ani, Berdarah Para Wali

Keselarasan rekam jejak perjuangan Gus Dur terhadap lingkungan dengan semangat ekologi Qur’ani ini memberikan pelajaran penting kepada kita bahwa hubungan manusia, alam, dan Tuhan merupakan satu kesatuan relasi yang tidak dapat dipisahkan. Pun Al-Qur’an dengan eksistensinya sebagai perantara pengikat hubungan tersebut terbukti mampu menjawab problem-problem yang terjadi dari masa ke masa.

Perlu disadari oleh setiap insan, bahwa manusia hidup berdampingan dengan alam dan lingkungan. Pada sisi yang lain, manusia memiliki power atas apa yang diperbuatnya di bumi ini. Sehingga dari situlah power atau kekuatan manusia itu diuji, apakah bisa menjaga dan mengubungkan seluruh komponen alam bersama dengan kepentingan keberlangsungan hidupnya, atau malah justru merusak alam dengan kekuatan yang dimilikinya. Wallahu A’lam.

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top