Dalam rangka memperingati Hari Lahir Nahdlatul Ulama (Harlah NU) yang ke-99, Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Sumenep dengan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur mengadakan Simposium Peradaban Nahdlatul Ulama dengan tema ‘Komitmen Merawat Jagat, Membangun Peradaban’. Acara ini dihelat di Sumenep, Madura. Tepatnya di Pendopo Keraton Sumenep, Sabtu 5 Maret 2022.
Simposium Peradaban NU yang digelar di Kota Keris ini dihadiri langsung oleh Ketua Umun PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua PWNU Jawa Timur, KH. Marzuqi Mustamar, PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo, KHR. Azaim Ibrohimy, Ketua ISNU Jawa Timur, Prof. Dr. M. Mas’ud Said hingga budayawan nasional Si Celurit Emas dari Madura, KH. D Zawawi Imron.
***
Gus Yahya sebelum ke pembahasannya, “NU di Tengah Peradaban Global Multi Polar”, membuka keynote speechnya dengan narasi yang humanis dan humoris. Yakni tentang asistennya, Gus Ghufron.
“Saya setelah menjabat Ketua Umum PBNU kan banyak kesibukan, saking sibuknya, kadang saya lupa membawa rokok dan korek. Untung saya sudah punya asisten, Ghufron. Jadi urusan pribadi saya, masalah rokok dan korek bisa diingatkan dan dibawa oleh Ghufron,” ujarnya yang diiringi dengan senyum sumringahnya dan mampu membuat hadirin di dalam Keraton spontan berseloroh.
***
Narasi Gus Yahya
Ada penyampaian yang sangat elegan dari Gus Yahya saat menjadi keynote speech di Simposium Peradaban NU ini. NU selaku organisasi Islam terbesar, maka tidak boleh menjadi wasit. Kenapa? Kita bisa melihat dari wasit Liga 1 dan 2 Indonesia. Betapa cukup menyiksa dan menderitanya menjadi seorang pengadil di lapangan yang berumput hijau. Dikejar pemain, ditonjok dan sebagainya bila tak adil mempimpin jalannya pertandingan. Maka NU agar selamat, tak digebuki, harus sama-sama bermain. Ketika NU dipermainkan oleh Eropa misalkan, NU harus menjadi pemain. Tidak boleh menjadi wasit ataupun supporter. Agar merasakan pahit-manisnya hasil dari pergulatan. NU tak boleh anteng, harus mendongak, berdiri dan bergegas mempersiapkan diri untuk menjadi pemain.
“Kalau NU mau ada perubahan yang signifikan, maka NU harus melawan. NU harus menyanggah, harus bermain ketika dipermainkan. Ketika NU dipermain oleh Israel dan Eropa yang lain maka opsinya adalah melawan. Biar apa? Tentu saja biar NU tidak menjadi korban di balik pergulatan tersebut. Kita buktikan kalau NU mempunyai stabilitas dan bisa menyanggah pergulatan itu demi keutuhan NKRI,” ujarnya.
Peradaban adalah tidak lepas dari tatanan sosial (hadaroh), peradaban adalah tempat bermukim bersama di suatu tempat dalam waktu yang agak lama. Dan, di tempat ituah akan tercipta nilai-nilai sampai struktural sosial politik. Mulai dari yang sederhana hingga yang bersifat kompleks seperti negara. Di mana nilai itu, nantinya bisa diterapkan dan dirasakan oleh masyarakat secara alami.
Hal tersebut, Gus Yahya menghubungkan narasinya dengan rentetan sejarak kelam di masa Rasulullah. Tentang tabligh, yang merupakan titipan Allah mengenai peradaban kepada Nabi Saw.
“Rasulullah memang dibebani tabligh oleh Allah SWT., namun Nabi tidak hanya menyampaikan itu. Nabi juga punya misi besar untuk mengembangkan peradaban. Yakni memberikan arahan dengan cara memberikan petunjuk mengenai sendi dan tulang punggung peradaban. Dari gulatan Nabi memikul risalah itu adalah untuk merintis dan menyempurnakan peradaban tadi,” imbuh Gus Yahya.
Lebih jelas lagi, Gus Yahya menyampaikan dinamika Nabi dalam membangun peradaban. Peradaban itu memang agak rumit, namun tetap melahirkan kepemimpinan.
“Ketika Rasulullah ada udzur, beliau tidak menjadi imam salat bagi para sahabatbya, Rasul menunjuk Abu Bakar untuk menjadi (pemimpin) imam salat. Begitu pula saat sahabat Nabi menunjuk Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Di situlah arti dari lahirnya struktur kepemimpinan peradaban,” katanya.
Gus Yahya juga menjelaskan sejarah dari Kiai Wahab Chasbullah ketika di Mekah. Beliau pergi untuk hijaz, disaat perang dunia I melanda Turki Ustmani. Kiai Chasbullah menghayati bagaimana nasib dan dinamika kaum muslimin. Sepulangnya dari hijaz, Kiai Chasbullah melaporkan ke Kiai Hasyim Asy’ari bahwa orang Islam sedang dalam kebingungan.
Di sini ada salah satu ibroh dari pulangnya Kiai Chasbullah saat hijaz tadi. Sekaligus Gus Yahya kembali membuat hadirin di dalam Keraton Sumenep tertawa.
“Karena adanya kebingungan, maka lahirlah NU untuk memutus mata rantai kegundahan orang Islam. NU dengan gambar ‘jagat’, maka yang bingung bukan hanya orang Sumenep saja. Tapi sejagat raya,”
“Kita sekarang punya kelebihan, punya segalanya, mari bangun peradaban, bangun NU. Kita tak boleh lengah dan menyerah. Biar kita tak seputus asa ini,” hadirin kembali terbahak-bahak dengan statemen Gus Yahya.
Narasi KHR. Azaim Ibrohimy
Gus Azaim mengangkat tema ‘Membangun Peradaban Dunia dengan Nilai-nilai Kepesantrenan’. Dalam narasinya ia membuka dengan dauh Kiai As’ad Syamsul Arifin.
“Besok NU bakal menjadi dhamar kambhang yang akan menyinari dunia.”
NU harus terus memperpanjang sumbu dhamar kambhang agar tidak mati dan tetap mannaric.
“Lentera, pelita dan nurullah adalah pembahasan kali ini. Dan ini adalah tidak luput dari peradaban dunia,” ujarnya.
Menurut Gus Azaim, NU menjadi dhamar kambhang bukan karena selain NU tidak memiliki lampu penerang. NU adalah untuk membantu dan membangun peradaban.
“Ketika dhamar kambhang yang lain sumbunya pendek dan sinarnya mengecil, maka NU akan tetap menambah sumbu itu demi membantu dan menyinari dunia,”
“lentera, pelita dan nurullah (cahaya) harus dirawat demi estafet generasi selanjutnya. Ketika dirawat, sumbu ditambah, maka dunia akan terang,” pungkasnya.
Narasi D Zawawi Imron
“Ngella ghangan ghangani labuuh.
Jhak loppa ngunjhang tatanggeeh.
Nyiom tananga bapak-ibu.
Egheresah ro’omah soargah.”
Itulah syi’ir Madura dari D Zawawi Imron saat membuka narasinya.
Beliau mengusung tema ‘Kebudayaan NU di Tengah Arus Industri Budaya Populer’. Di mana kebudayaan paling populer itu adalah tidak lepas dari materialisme.
“Saya orang NU yang awam. Lahir dari desa dan berguru pada orang desa yang tidak kenal materialisme,” paparnya.
Lebih lanjut D Zawawi Imron menjelaskan tentang modernitas yang harus dijaga dengan baik dan elok.
“Bagaimana NU ke depan? Maka tradisi jangan dibenturkan dengan modernitas. Modernitas jangan dimusuhi. Tetapi modernitas harus diarahkan pada sesuatu yang bermanfaat. Sebab jika salah tempat, akan fatal. Modernitas itu ibarat pisau. Bisa mengupas mentimun dan bisa mengupas kepala. Tergantung yang menggunakan. Di situlah modernitas harus digunakan dengan baik,” pungkasnya.
Narasi Prof Dr. M. Mas’ud
Beliau mengusung tema ‘Merancang Teknokrasi Kemandirian Ekonomi NU’.
“Mengapa NU harus kuat di pemerintahah? Sebab kita tak lepas dari pemerintah. Agama, kekuasaan, pemerintahan adalah berhubungan. Maka biar NU kuat, kekuasaannya harus bagus,”
Setidaknya peradaban itu mengandung beberapa poin. Pertama, diisi oleh orang alim. Kedua, diisi oleh orang berakhlaq. Ketiga, diisi oleh orang berilmu tinggi. Keempat, politik kekuasaan (pemerintahan).
“Agama tanpa kekuasaan akan lemah. Kekuasaan tanpa agama akan salah arah,” imbuhnya.
Syarat pemerintahan yang baik adalah adanya perubahan mindset dan diisi oleh orang lihai dalam bidangnya.
“Kerjanya baik, aparat pemerintahannya bagus, berkarakter, merakyat, pengalaman, dan sederhana. Dan mindsetnya harus diubah agar kebutuhan peradaban itu terpenuhi,” ujarnya.
“Bagaimana membangun ekonomi NU? Di Jatim itu kaya. Suplayernya banyak. Maka itu harus dikelola, dikemas dengan rapi dan dikembangkan dengan baik,” pungkasnya.