KH. Ghazali merupakan sosok kiai yang menjadi pengasuh pondok pesantren Al-Amin Al-Khidary, Desa Rajun, Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep, Madura.
Ketika memasuki Bulan Maulid, beliau cukup sibuk dalam kesehariannya. Sibuk diundang oleh masyarakat Desa Rajun dan sekitarnya untuk berceramah atau berpidato dan membaca lantunan selawat Nabi.
Selasa (18/10/2022), tepatnya pada sore hari, beliau diundang oleh salah satu warga Desa Rajun untuk mengisi acara Maulid Nabi.
Seperti biasa. Sebelum melantunkan bacaan selawat Nabi, beliau berpidato tentang kehidupan kanjeng Nabi Muhammad Saw., terlebih dahulu. Setelah selesai membaca selawat Nabi dengan cukup syahdu, beberapa menit kemudian pasca duduk, beliau berkata, “kalau mau punya suara yang bagus, ada salah satu solusinya: perbanyak makan ketan hitam,” ucap kiai yang mempunyai nama lengkap KH. Ghazali Amin itu
Saya dan hadirin undangan yang satu ruangan dengan beliau tentu saja penasaran akan maksud perkataan beliau. Masak, sih dengan cara makan ketan hitam bisa menjadikan suara bagus dan lebih bagus?
“Buktinya kalau makan ketan hitam dapat memperbagus suara, coba amati burung puter. Silakan kasih ketan hitam, maka niscaya suaranya akan merdu, syahdu dan gacor,” kira-kira begitu sambung beliau.
Saya dan para undangan yang lain refleks senyam-senyum sambil menundukkan kepala sebab mendengar perkataan beliau. Saya mikirnya malah agak blunder, (barangkali hadirin yang lain sama pemikirannya dengan saya). “Sek, memang kami ini dikira burung puter, ya sama beliau?” Batin ini sempat bertanya-tanya. Ah, tidak sopan.
Sudah lah. Ini sekadar humor. Walaupun hadirin yang lain, masih kebanyakan yang senyam-senyum tak jua usai. Mungkin masih berpikir sama dengan saya. Lha, mikirin humor?
Tak lama kemudian, pelayan tuan rumah membawa nasi dan hidangan (makanan) untuk beliau. Tentu saja, untuk saya dan hadirin undangan yang lain juga. Salah satu sambalnya, telur ayam ras yang sudah digoreng. Masakan telur tersebut dibelah lalu diberi tepung, yang di atasnya melekat beberapa irisan bawang prei.
“Nah. Ini gorengan telur ayam yang sangat bagus. Ini cocok sekali buat saya. Dibelah kayak gini sangat tidak berisiko,” imbuh sosok penceramah yang cukup kondang itu.
Tentu saja, memang agak rada, sih kalau menafsiri perkataan beliau dengan serius. Makanya jangan dibawa serius. Sebab, kata beliau, ini risikonya tidak ada sangkut pautnya dengan petaka kesehatan atau akan terkena penyakit lantaran makan telur ayam yang digoreng hanya karena tidak dibelah.
Logikanya? Ah sudah, lah. Kalian pasti paham maksud saya. Jika tidak, berarti sama. Loh? Lalu, mau ditafsiri macam apa kalau sudah begitu? Mungkin saja, lebih elok tidak usah repot-repot menafsirkannya. Lebih baik lanjut. Next….
“Mohon maaf nih, ya. Karena kebanyakan orang, kan kalau memberi hidangan lalu sambalnya ada telur ayam yang digoreng kayak gini, itu telur biasanya tidak dibelah terlebih dahulu,” tutur beliau di sore hari yang agak mendung itu.
“Pernah suatu hari saat saya diundang ke salah satu acara, ketika saya makan, kan saya menyeruput kuah di piring yang ada telurnya tapi tidak dibelah itu. Pas saya pegang piringnya lalu menyeruput kuahnya, ya telurnya masuk ke dalam saku baju saya. Wah, apes,” sambungnya.
“Ketika saya sampai di rumah, ditanya sama istri: kok saku bajunya sedikit kotor, kenapa? Ini tadi telur masuk ke saku baju saya waktu saya menyeruput kuah saat saya makan,” hadirin kontan terkekeh. Beliau pun tertawa dengan lepas.
Dalam rumah yang ruangannya cukup sederhana itu, akhirnya kebahagiaan dan harmonisasi pun tercipta.
Sendu yang awalnya berkelindan dan terus berkecamuk dalam pikiran lantaran mikirin hutang akhirnya minggat dengan sendirinya secara tiba-tiba.
Humor yang luar biasa.
Akhirnya, sampai di sini terpaksa saya harus mengakhiri tulisan sederhana ini. Nanti kalau saya kebanyakan cerita, nggak kenyang-kenyang saya ini, Mah.