Fanatisme terhadap agama berlebihan, kehidupan yang penuh dengan kedengkian, dan maraknya ujaran kebencian merupakan kondisi masyarakat Indonesia saat ini. Indonesia menjadi rumah bagi banyak umat beragama, masyarakatnya pun hidup dengan payung bhinneka, namun kebhinnekaan tersebut justru malah menimbulkan berbagai problema.
Ajaran agama yang harusnya menjadi pedoman bagi keberlangsungan hidup seorang manusia, terkadang malah dijadikan alat sekadar untuk memenuhi tuntutan hawa nafsu dan berahinya. Agama dijadikan alat untuk saling menyalahkan, mengkafirkan, juga kedok untuk meraih kekuasaan.
Demikian kira-kira beberapa titik poin problema yang ditilik oleh Rusdi Mathari, sehingga menghaslkan sehimpun tulisan yang termaktub dalam Laki-Laki yang Tak Berhenti Menangis. Bukan hanya menyoal intoleransi, fanatisme kehidupan umat beragama, namun buku setebal 115 halaman ini juga mengupas berbagai pemahaman mengenai Islam sebagai rahmat untuk sekalian alam, Islam sehari-hari yang santun.
Rusdi Mathari, wartawan senior yang sudah malang-melintang di dunia jurnalistik. Buku terbitan tahun 2018 macam Karena Jurnalisme Bukan Monopoli Wartawan, Mereka Sibuk Menghitung Langkah Ayam, dan Seperti Roda Berputar, seolah sebagai pertanda atau “pesan kematian” cak Rusdi, demikian sapaan akrabnya. Pasalnya, cak Rusdi wafat pada 2 Maret 2018.
Sebelumnya ia telah menerbitkan beberapa karya seperti cerita Cak Dlahom yang saban hari diterbitkan di mojok.co saat Ramadan, lalu dibukukan dengan judul Merasa Pintar, Bodoh Saja Tak Punya. Pun sebelumnya, Cak Rusdi juga menganggit buku berjudul Aleppo.
Dalam buku juga terdapat beberapa pesan tersirat yang ingin disampaikan cak Rusdi. Beberapa pesan ada yang ditujukan kepada orang-orang yang mengenalnya. Pesan-pesan yang barangkali tidak disadari tersebut adalah salah satu dari tulisan perpisahan dirinya untuk para pembacanya. Cak Rusdi telah menduga bahwa beliau tidak lama lagi akan pergi meninggalkan dunia ini.
Islam di era sekarang seringkali disampaikan dengan nada-nada terlampau keras, memekakan telinga, dan sungguh menakutkan. Masyarakat Indonesia juga memiliki kebiasaan “menuhankan” ormas yang dianutnya, hal itulah yang menjadi keresahan hati Cak Rusdi.
Buku yang berisi kisah-kisah islami ini merefleksikan sebuah pemahaman yang seharusnya dimiliki oleh manusia khususnya umat yang beragama di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk ini. Terlalu fanatik dalam beragama terkadang membuat diri lupa menjadi manusia, demikian kata Cak Rusdi.
Misalnya, dalam bab Bidah, Cak Rusdi bertutur bagaimana seharusnya seorang muslim menyikapi masalah bidah. Tak patut kiranya jika secara serampangan lekas menghukumkan sesuatu kepada orang lain terlebih yang berbeda keyakinan.
Cak Rusdi juga menegaskan bahwa urusan akidah adalah urusan masing-masing individu, tetapi urusan berhubungan baik dengan sesama manusia adalah urusan bersama. Humanisme adalah tujuan beragama.
Lelaki Yang Tak Berhenti Menangis mengajarkan bahwa beragama seyogianya malah menjadikan seseorang lebih punya rasa kemanusiaan, bukan justru menjadikan dirinya merasa paling benar.
Beberapa kisah yang tersaji di buku ini memiliki banyak makna tersirat yang menjadi sebuah renungan, refleksi, sindiran, sekaligus mengajak para pembaca untuk berserah diri kepada Tuhan. Pembaca mampu memetik nilai-nilai kebajikan dalam hidup yang mewujud dalam kehidupan nyata
Permenungan dan pengalaman Cak Rusdi yang dikorelasikan dengan referensi kitab-kitab klasik ataupun kisah-kisah zaman dahulu telah berhasil membikin cerita dalam buku ini yang lebih segar dan kontekstual dengan permasalahan umat saat ini. Begitu kira-kira.
Judul : Lelaki Yang Tak Berhenti Menangis; Kumpulan Kisah Islami Penyejuk Hati
Pengarang : Rusdi Mathari
Penerbit : Mojok
Jumlah halaman : viii + 115 halaman
Tahun terbit : Januari, 2019