Pagi itu, matahari telah meninggi. Satu jam saya duduk menunggu kawan Arab saya di stasiun. Saya sudah maklum akan tabiat “orang sini” yang suka menunda-nunda waktu. Maka itu sengaja saya bawa buku bacaan untuk mengisi waktu, satu novel karangan Ahmad Khan berjudul Mamu Zain, yang diterjemahkan oleh Syekh Muhammad Said Romadhon alButhi dari bahasa Kurdi ke bahasa Arab.
Prasangka buruk kepadanya kulawan agar tidak menguasai akal dan menjalar ke hati. Sebab, kawanku itu adalah keturunan Rasulullah dari saiduna Hasan sekaligus saiduna Husein. Masa berprasangka tidak baik kepada cucu Nabi.
Empat puluh lima menit kemudian, kami sudah sampai di kota Zaitun, Meknes, Maroko. Menjumpai 170 tamu yang baru saja tiba dari Indonesia, Syekh Ahmad Uci Turtusi beserta jamaahnya. Rencana kami adalah menemani mereka menziarahi kuburan auliya di Maroko. Dari Meknes, perjalanan ziarah kami mulai.
Makam pertama yang kami ziarahi adalah makam sufi besar yang sangat berpengaruh di Anglo-Saxon dan Francophonie, yakni Sidi Muhammad bin Habib Darqowi. Ia adalah sang penggagas tarekat Darqowiyyah. Kami juga menyambangi makam Maula Idiris Akbar, pendiri negeri seribu wali, Maroko. Maula Idiris Akbar adalah juga wali besar.
Wali dari desa terpencil
Kami tentu saja berziarah ke makam Maula Abdul Salam bin Masyiys. Ia adalah wali besar berkebangsaan Maroko, lahir di sebuah desa terpencil di pegunungan yang asri dan alami, Banil Urus, pada 559 Hijriah (sebagian mengatakan bahwa kelahirannya tidak diketahui). Penduduk desa masih sangat kental dengan budaya tradisional, termasuk mempercayai hal-hal mistik dan melakoni berbagai laku spiritualistik.
Desa ini banyak dihuni oleh cucu-cicit Rasulullah juga. Seorang di antaranya adalah Sidi Mizwar, yang awalnya melancong ke desa itu namun memutuskan untuk menetap di sana. Ia seorang yang taat beragama, saleh, bertakwa, dan zahid. Banyak pena telah menggoreskan sejarah hidupnya, seperti kitab Sulwatul Anfas.
Di desa inilah Maula Abdul Salam menghabiskan masa kecilnya, mempelajari berbagai disiplin ilmu agama ke berbagai ulama setempat, seperti Sidi AlHaj Ahmad. Ia juga menghapalkan Alquran dengan tujuh cara baca (qiroah sab’ah) di usianya yang masih terbilang belia. Dan kemudian memutuskan pergi dan menetap di sebuah pegunungan yang cukup sulit dijangkau, Jabal Alam.
Beberapa referensi berbeda pendapat mengenai wafatnya. Ibnu Kholdun (empunya kitab Muqoddimah ) misalnya, mengungkapkan bahwa Maula Abdul Salam dibunuh seorang penyihir yang mengaku nabi bernama Ibnu Abi Thowajin alKatamy ketika beliau sedang bersama orang-orang suku Said.
Yang pasti, Maula Abdul Salam dikebumikan di Jabal Alam. Makam beliau tak pernah kosong dari peziarah baik pada musim dingin maupun panas. Untuk sampai ke sana, kami butuh waktu seharian, sebab harus berbalik dari kota Meknes, sekitar tiga kilo dari jalan utama. Cukup bersusah payah kami menempuh perjalanan ke sana. Kalau hujan turun, jalan pun becek, licin, dan banyak kerikil, di samping banyak tanjakan. Berjalan menuju makam Maula harus ekstra hati-hati, sebaiknya bergurau pun dibatasi. Sebab, di sisi jalan adalah jurang yang mematikan.
Benar saja, hujan menemani kami sepanjang perjalanan, dengan sedemikian setianya. Sungguh, menempuh jalan menanjak nan terjal itu tidaklah semudah ketika bercerita dan menuliskan ini. Rasanya tak akan habis kata-kata untuk menggambarkannya. Ketika kami sampai di atas bukit, hari bukan saja telah gelap, namun pekat karena kabut yang tebal. Hujan sangat deras disertai angin yang berembus kencang. Kami segera merapatkan jaket sambil terus merapal doa. Alhamdulillah…..sampai.
Hikayat singkat dengan Maula Abul Hasan Syazdili
Maula Abdul Salam bin Masyisy tidak cukup dikenal bum, tapi namanya harum di langit dan orang-orang yang mukasyafah (tershingkap hijab). Tidak memiliki pengikut (murid) kecuali seorang, yaitu Maula Abul Hasan Syazdili, ulama Qorowiyyin ternama dan mumpuni dalam berbagai disiplin ilmu ketika itu. Maka mayoritas tarekat tasawuf terutama di Maroko ini adalah bersambung ke Maula Abdul Salam.
Maula Abul Hasan mempunyai murid bernama Maula Abul Abbas AlMursi, yang kemudian juga memiliki murid bernama Sidi Ibnu Athoillah AlSakandari, penulis kitab Hikam. Begitulah rantai nuroniyah spiritual mereka.
Hikayat tentang Maula Abul Hasan dalam perjalanan pencarian guru spiritual (mursyid) amatlah masyhur. Syekh Aziz Idrisi AlKubaithi dalam banyak kesempatan sering mengulang-ulang di depan murid-murid, bahwa Maula Abul Hasan merasakan kekeringan spiritual. Kompetensinya dalam berbagai disiplin ilmu itu ternyata tidak mampu mendekatkannya kepada pemilik ilmu (Allah). Hingga ia akhirnya memutuskan untuk mencari seorang syekh (definisi sebenarnya syekh adalah orang yang bisa membawa kita bertemu dengan Rasululloh).
Maula Abdul Hasan pun pergi ke Irak, dan bertemu dengan seorang qutub (titel dalam wilayah kewalian), Abul Fatah Al-Wasithi. “Tidak seorang seperti beliau di negeri Irak ini ketika itu” ungkap Abul Hasan Syazdili. Ditengah-tengah dialog keduanya, Abul Fatah AlWasithi berkata kepadanya: engkau mencari seorang qutub di negeri Irak ini padahal itu ada di negerimu? Pulanglah, akan kau temui orang itu. Ia pun kembali ke Maroko dan mencari yang dimaksudkan oleh Abul Fatah itu. Maka bertemulah ia dengan Maula Abdul Salam bin Masyiys di Jabal Alam.
Aduhai, bagaimanakah keadaan Jabal Alam pada abad ke-6 itu? Bahkan pada zaman maju sekarang ini, dengan segenap ilmu pengetahuan dan kecanggihan teknologi, kami masih bersusah payah sampai kesana. Saya membayangkan betapa sulitnya Abul Hasan menemukan Maula Abdul Salam.
Ketika Abul Hasan tiba di Jabal Alam, Maula Abdul Salam sedang di dalam gua (tempat berdiamnya). Dari depan pintu, beliau mendengar Maula Abdul Salam berdoa : Ya Allah, hamba-hambumu memohon agar makhluk-makhlukmu ditundukan bagi mereka, engkau pun kabulkan, dan lalu mereka pun ridho dengan itu. Ya Allah, hamba memohon agar engkau palingkan dan jauhkan makhluk-makhlukmu dari hamba, sehingga tidak ada tempat kembaliku kecuali pada Engkau. Tersentak Maula Abul Hasan mendengarkannya dan berucap: perhatikanlah wahai jiwaku, dari lautan macam apalah syekh ini mengambil air?
Itulah sepenggal hikayat seorang goustuz zaman dari negeri seribu wali ini. Referensi saya dapat dari tokoh sufi besar di Maroko, meski juga dapat ditemukan di banyak kitab seperti Lathoiful Minan karya Sidi Ibnu Athoillah dan Al-Mafakhirul Ulyah karya Imam Ahmad bin Ayahd. Allohu A’lam.