Saya cukup risau dengan perdebatan sebagian teman kita di dunia maya yang trending baru-baru ini. Bahkan, saya lihat bahwa sebagian dari mereka sudah memahami al-Qur’an dengan “seenaknya sendiri.” khususnya perihal persoalan ada tidaknya perintah memukul istri dalam al-Qur’an.
Sebelum melangkah lebih jauh, perlu ditekankan bahwa Al-Qur’an memang mendorong kita untuk berfikir dan menggunakan logika kita. Dan inilah yang menjadikan dunia Islam maju karena penemuan-penemuan barunya berabad-abad lalu. Namun, jangan lupa bahwa Nabi juga menghardik mereka yang memahami al-Qur’an dengan akal yang diselimuti nafsunya.
Kata Nabi, “Man Fassara al-Qur’ana bira’yihi, falyatabawwa’ maq’adahu minan nar.” Barang siapa yang menafsir al-Qur’an dengan akalnya, yakni terlepas dari kaidah-kaidah tafsir, maka bersiaplah dengan jilatan api neraka.
Mereka yang memahami al-Qur’an berdasarkan nafsu dinamakan oleh ulama tafsir sebagai ahli ra’yu tercela (ahl ar-ra’yi al-madzmum). Ini tentu berbeda dengan mereka yang benar-benar ingin mencari kandungan al-Qur’an dengan bantuan logika. Ini diperbolehkan dan termasuk kategori al-mahmud.
Lalu, selama ini kita termasuk yang mana? Mari lihat pada diri kita yang hina, sering dzolim, dan bodoh ini (al-Ahzab:72).
Sejatinya, bila al-Qur’an didekati dengan hati dan cinta, berbagai makna dan rahasia yang ada akan diungkapkan pada kita. Itulah yang dirasakan para mufassir sehingga tak heran jika berjilid-jilid kitab lahir. Sebaliknya, bila ia didekati dengan nafsu, makna-makna yang tersimpan di dalamnya seolah akan memudar bahkan lenyap.
Di era hilangnya kepakaran ini, sebagian dari kita ada yang bersikukuh dan berpendapat bahwa di dalam al-Qur’an telah jelas perintah untuk memukul istri berdasarkan arti harfiyah surat an-Nisa’: 34. Inilah bukti bahwa belajar al-Qur’an melaui terjemahan “saja” meninggalkan problem yang cukup fatal.
Sebelum saya uraikan beragamnya makna “memukul” di kalangan mufassir, seyogyanya kita mengingat kembali petuah penting dari para ulama’ terdahulu bahwa kita ini sedang mencari kebenaran—atau paling tidak—yang paling “mendekati kebenaran” al-Qur’an, bukannya mencari pembenaran.
Bila sudah demikian, barulah ayat yang berbunyi “Tanyalah pada orang yang lebih berpengetahuan (Q.S. an-Nahl: 43)” bisa kita aplikasikan. Sangat sulit bahkan mustahil bagi seseorang yang masih diselimuti “ego kebodohan” dalam diri sudi untuk menundukkan kepala dan bertanya pada ahlinya.
Ketika mengomentari ayat 43 di atas, Hamka dalam tafsir al-Azhar-nya, mengatakan bahwa “Kita boleh menuntut ilmu di mana dan kapan saja. Sebab yang kita cari adalah ‘kebenaran’”. Namun, sepertinya pesan penting Hamka ini tidak akan mempan bagi mereka yang sedari awal sudah anti terhadap salah satu guru atau ulama’ tertentu. Di sinilah adab pencari ilmu berbicara.
Baik, kembali ke persolalan pemukulan istri dalam al-Qur’an. Bila jujur bertanya pada nurani kita, agaknya tanpa menggunakan dalil al-Qur’an pun para suami sudah sepakat untuk menjauhi pemukulan terjadap istri yang dikasihi. Namun, terkadang karena gelombang ujian yang ditimpa begitu besar, tak jarang kasih sayang berubah jadi kemarahan, dan kemarahan menjadi pemukulan.
Persoalan menjadi lebih serius ketika pemukulan itu dilandasi keyakinannya terhadap perintah agama. Memang, salah satu ayat yang sering “dianggap” menjadi agak problematis di era modern ini adalah surat an-Nisa’ ayat 34. Bagian terakhir ayat ini berisi panduan al-Qur’an bagi para suami untuk memberi nasehat pada sang istri ketika diketahui melakukan pembangkangan (nusyuz). Yakni dengan memberi nasehat, pisah ranjang, dan memukulnya.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa yang sering hilang dari pengamatan adalah bahwa Nabi mengingatkan, “Jangan memukul wajah dan jangan pula menyakiti”. Di kesempatan lain, Nabi juga berkata, “Tidaklah kalian malu memukul istri kalian, seperti memukul keledai?” Malu bukan saja karena memukul, tapi karena gagal mendidik dan memberi nasehat (Quraish Shihab, Menjawab 101 Soal Perempuan).
Dalam tafsirnya al-Munir, Syaikh Wahbah Az-Zuhaili mengomentari bahwa kata “وضربوهنّ” yang bermakna “pukullah istri kalian” bermakna pukulan ringan yang tidak menyakitkan dan tidak membahayakan. Umpamanya, memukul bahunya sebanyak tiga kali menggunakan tangan.
Namun, Az-Zauhaili melanjutkan, meskipun memukul istri diperbolehkan, akan tetapi para ulama sepakat bahwa meninggalkan cara ini adalah lebih utama. Landasan mereka adalah sebuah hadist dari Ummu Kultsum yang berkata, “Kaum laki-laki pernah dilarang memukul istri-istrinya. Kemudian mereka mengeluhkan perilaku istri mereka kepada Nabi. Dan kemudian Nabi memperbolehkannya, namun Nabi berkata, ‘sebaik-baik kalian adalah yang tidak akan pernah memukul istrinya.’”
Dari beberapa pesan mulia al-Qur’an, hadist, dan pendapat mufasir di atas. Kecondongan untuk tidak memukul istri adalah pesan agama yang paling indah dan saya anut. Ini tidak saja sesuai dengan konteks sekarang, akan tetapi diharapkan hubungan mesra yang dirasakan di awal pernikahan tidak hilang dan meninggalkan bekas luka di tubuh mulia sang istri.
Memang, memahami ayat-ayat al-Qur’an tidak cukup dengan hanya mengandalkan terjemahan dan kemahiran dalam berlogika. Ada adab yang perlu dijunjung, baik kepada al-Qur’an, kepada sekian riwayat Nabi, dan tentunya pendapat para ulama’ yang sudah diakui keilmuannya dalam bidang al-Qur’an.