Apa yang ada di benak kita ketika berbicara tentang Pakistan dan Indonesia? Kedunya sama dalam hal mayoritas Muslimnya. Namun, keduanya juga memiliki perbedaan tajam yakni terkait dengan dasar negara. Indonesia mendasari negaranya dengan Pancasila, sedangkan Pakistan menjadikan Islam sebagai dasar negaranya. Seperti apa perbedaan yang mendasari keduanya, siapa tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya, dan bagaimana nasib keduanya di era global ini? Inilah beberapa pertanyaan yang ingin saya jawab.
Setelah merdeka dari cengkraman kolonial, negara-negara Muslim mengalami dilema yang cukup besar. Indonesia, Mesir, Pakistan, Afghanistan, dan bebera negara berpenduduk masyoritas Muslim lain dalam sejarahnya dilanda kegalauan karena memikirkan landasan atau dasar negara apa yang cocok untuk masing-masing negaranya.
Bagi Indonesia, Pancasila akhirnya menjadi semacam ‘anugerah’, setelah sebelumnya ideologi yang diilhami dari pemikiran Soekarno ini diadu dengan ideologi yang pada saat itu juga mencuat, Syariat Islam. Ya, sebagai negara mayoritas Muslim, para founding fathers (khususnya ulama) yang memperjuangkan kemerdekaan waktu itu ingin menjadikan Islam sebagai ideologi bangsanya—sebagai bentuk ikhtiar.
Dalam sidang badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdikaan (BPUPK) 22 Juni 1945, para pendiri bangsa seperti Soekarno, Hatta, Haji Agus Salim, KH. Abdul Wahid Hasyim, dkk telah menyepakati sebuah gentle agreement (perjanjian luhur) yang menjadi mukaddimah dalam UUD 45, yang oleh M. Yamin disebut sebagai Piagam Jakarta (Artawijaya; 2008).
Banyak di antara kita yang kurang begitu paham kenapa Piagam Jakarta ini pada akhirnya menimbulkan protes keras dari beberapa tokoh non-Muslim. Hal ini karena salah satu isi dari Piagam itu menyatakan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya”, ini yang pada akhirnya menimbulkan ketidaksetujuan dari beberapa tokoh agama lain. Bahkan, Kiai Wahid (mewakili NU) pernah mengusulkan supaya presiden dan wakilnya haruslah orang Islam. Meski pada akhirnya usulan ini ditolak Soekarno (Artawijaya; 2008).
Dari pergolakan dan perdebatan penentuan dasar negara di atas, setidaknya kita tetap bersyukur bahwa ulama Indonesia mempunyai pemikiran yang sangat progresif, tidak terlalu ngoyo namun sebaliknya, legowo. Jika pada waktu itu para tokoh Islam tetap bersikukuh mempertahankan pendapatnya, bisa jadi Papua—yang berbasis Kristen—akan keluar dari Indonesia. Meskipun tetap kita akui bahwa waktu itu ada beberapa tokoh yang tidak setuju dengan Pancasila dan mecoba mendirikan NII (Negara Islam Indonesia) yang akhirnya “dikaramkan” oleh Soekarno.
Di sisi lain, mari kita juga lihat dinamika pertarungan ideologi di Pakistan. Pemisahan Pakistan dari India sendiri dikarenakan beberapa hal, di antaranya adanya kekhawatiran umat Muslim di India akan diskriminasi kaum nasionalis Hindu. Akhirnya, setelah bertahun-tahun memperjuangkan kepentingan Muslim di Kongres Nasional India yang didominasi Hindu, Liga Muslim se-India yang dipimpin Muhammad Ali Jinnah dan beberapa tokoh lainnya mengupayakan pemisahan negara dengan India, yang diberi nama Pakistan. (Ruslan; 2012)
Pakistan sendiri selanjutnya menjadikan Islam sebagai dasar negaranya. Abul A’la al-Maududi, salah satu inspirator Jama’at Islami (semacam gerakan politik), awalnya tidak setuju dengan pembentukan Pakistan sebagai negara yang terpisah dari India. Karena menurutnya para pimpinan Liga Muslim India (termasuk di antaranya M. Ali Jinnah dan Muhammad Iqbal) telah terkontaminasi oleh gaya, dan pola pikir Barat (Zada, Arafah; 2004).
Dari sini kita bisa melihat dua kubu yang saling berseberangan. Satu kubu diwakili Muhammad Ali Jinnah dan M. Iqbal yang tidak ingin menjadikan Islam sebagai dasar negara (Ruslan; 2012). Sedangkan di kubu lain, diwakili al-Maudidi, menginginkan syari’at Islam sebagai ideologi negara.
Indonesia dan Pakistan laiknya dua negara yang kembar tapi beda, keduanya sama-sama sebagai negara mayoritas Muslim, namun berbeda dalam ideologi negara dan fenomena politiknya kini.
Sejarah “membelotnya” Pakistan dari India seolah menjadi reminder bagi kita. Bahwa di mana pun tempatnya, seseorang maupun kelompok masyarakat tidak ingin didiskriminasi oleh kaum tertentu (baca: mayoritas). Hal ini juga masih terjadi di Indonesia sekalipun, di mana terkadang, dengan wujud mayoritas yang merasa berada di atas angin, kita seenaknya sendiri (diskriminatif) terhadap kaum lemah yang dianggap bersalah.
“Cerainya” Pakistan dari India juga mengajarkan kita betapa orang Hindu India (sebagai mayoritas ketika itu) tidak memberikan ruang dan hak bagi kaum Muslim di sana. Hal yang sama sangat mungkin terjadi di masa-masa genting pembentukan dasar negara republik Indonesia 73 tahun silam. Untungnya para tokoh negeri ini (yang mayoritas Muslim) sadar betul akan pentingnya keutuhan Indonesia. Oleh karenanya, mereka tidak menjadikan Islam sebagai dasar negara, apalagi menjadikan orang Muslim sebagai syarat wajib bagi presiden dan wakil presidennya.
Sudah selayaknya, sebagai bangsa yang besar, kita patut bangga akan keberhasilan founding fathers yang telah menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di mana menurut berbagai tokoh Muslim maupun ulama sekalipun, sudah sangat Islami. Terlebih, sekarang banyak negara Muslim lain yang malah ingin belajar tentang apa itu Pancasila.
Indonesia dan Pakistan, keduanya memiliki sejarah kemerdekaan yang tak sama, Pakistan eksis karena ia berpisah dari India, setelah sebelumnya dijajah oleh Inggris. Sedangkan Indonesia memperjuangkan kemerdekaannya melalui usaha keras (jihad) melawan Belanda dan Jepang.
Sesuatu yang kiranya perlu ditekankan di sini adalah, Indonesia telah mampu membuat demokrasi menjadi bersahabat dengan Islam (meskipun belum sempurna)—karena selama ini Islam dan demokrasi masih dipertentangkan. Sedangkan di Pakistan, arti demokrasi masih sangat tabu, apalagi mereka menjadikan Islam sebagai ideologi negara, di mana kedaulatan tertinggi tidak berada di tangan rakyatnya, melainkan berada di bawah “tangan” Tuhan. Apalagi, sampai sekarang di antara para tokoh agama, politik, dan para intelektual Pakistan masih belum berhasil mewujudkan ketentraman di antara umat beragama (Akbar; 2015).
Oleh karenanya, tugas kita sebagai warga negara yang baik adalah menghormati perjuangan pahlawan bangsa ini. Saat ini, bukan zamannya lagi mempertentangkan Pancasila dengan agama Islam. Sebaliknya, mari kita populerkan Pancasila sebagai dasar negara yang mampu menyatukan perbedaan di antara kita. Dirgahayu bangsaku, Indonesia.