Ada tradisi turun temurun menjelang liburan di pesantren Alfadllu. Diantaranya ziarah ke makam Jabal bersama mustahik (wali kelas) dan munawib (guru-guru yang mengajar). Makam Jabal Kaliwungu Kendal terletak di selatan Pondok Alfadllu, bahkan bisa dikatakan berdampingan.
Pertama biasanya para santri berziarah ke Makam Kiai Ibadullah Irfan, ayah dari Umi To’ah istri Abah Dimyati Rois. Lalu naik ke atas, ziarah ke Makam Kiai Rukyat dan Wali Musafa’—menurut beberapa cerita, Kiai Rukyat dan Wali Musafa’ adalah teman dekat. Perbedaan mereka, kalau Kiai Rukyat seperti pada umumnya Kiai, sedang Wali Musafa’ ini terkenal nyleneh, atau dalam istilah pesantren disebut jadzab.
Kemudian naik ke atas lagi dan ke makam Kiai Asy’ari pendiri masjid al-Muttaqin Kaliwungu. Versi lain, masjid al-Muttaqin didirikan oleh guru Kiai Asy’ari.
Di momen ziarah ini, para murid dan guru saling berbincang akrab di pelataran atau warung kopi sekitar makam. Bagi kelas Aliyah, momen ini adalah saat-saat terakhir kebersamaan yang kelak akan dikenang dan dirindukan.
Ziarah ke makam-makam ulama terdahulu ini dilakukan di awal bulan Sya’ban atau di bulan Rajab. Biasanya setelah tasyakuran khataman Alfiah Ibnu Malik—kitab gramatika bahasa Arab karya Ibnu Malik ulama asal Andalusia—dan Jauharul Maknun—kitab sastra Arab yang kental dengan nuansa tasawufnya karya Syaikh Abdurrahman al-Akhdhari.
Khataman di Alfadllu tidak seperti beberapa pondok lain dengan seragam dan diarak sampai ke panggung. Santri-santri hanya mengenakan baju putih berkumpul di aula pesantren. Walau pun begitu, dekorasi yang menjadi background acara cukup istimewa—dibuat sendiri oleh santri dengan bahan styrofoam dan hiasan seperti air yang mengelingi taman.
Khataman Alfiah dan Jauharul Maknun sangat dinantikan para santri. Bahkan ada kebanggaan tersendiri bisa sampai ke tahap ini. Selain rasa syukur bisa khatam dua kitab tersebut, juga (dan faktor ini paling utama) mendapat nasehat, doa dan ijazah sanad langsung dari Kiai Dimyati Rois.
Di acara tasyakuran ini, Abah Dimyati bercerita banyak hal. Penulis masih ingat, beliau mengisahkan keseruan Bahtsul Masail di Nahdlatul Ulama (NU) perihal hukum bank. Kata beliau, para kiai banyak yang berpendapat bank itu haram, karena dianggap riba. Lalu, di detik-detik terakhir, ada seorang kiai dengan lantang berpendapat, bahwa bank itu tidak haram—kalau kita melihat hasil Bahtsul Masail di Munas Alim Ulama NU di Bandar Lampung 1992, ada tiga pendapat hukum bunga bank. Pertama, haram karena disamakan dengan riba. Kedua, boleh dengan tidak mempersamakan bunga bank dengan riba. Ketiga, bunga bank diberi label hukum syubhat (Husnul Haq dalam nu online, 03/07/2018).
Tokoh-tokoh besar seperti Abu Yazid al-Bustomi diceritakan. Beliau juga menjelaskan pendapat ulama tentang politik, dan pengertian politik ala pesantren. Semua itu disampaikan oleh beliau dengan humor, sehingga para santri bisa paham sambil tersenyum.
Sebelum menutup pembicaraannya, Kiai Dimyati mengajukan sebuah pertanyaan yang menantang, “Ada sifat Allah yang namanya mukhaalafah lil hawadis (berbeda dengan makhluk), lalu sebelum Allah menciptakan makhluk, Allah mukhaalafah dengan siapa? Cari sendiri jawabannya! Assalamualaikum warahmatullah…”
Kira-kita begitu pertanyaan yang dilontarkan beliau. Kami kelas Aliyah, yang ngaji kitab tauhidnya menggunakan kitab Husnul Hamdiyah dan Ummul Barohin—walaupun ngajinya Ummul Barohin tapi saat musyawarah, kitab syarahnya, yakni Ad-Dasuki dibaca. Kitab ini menjelaskan tidak hanya dasar-dasar ilmu tauhid, tapi juga menyinggung perdebatan ilmu kalam—ditambah ngaji kitab Sullam Munaraq ilmu mantiq tergelitik dan bersemangat mencari jawabannya di forum musyawarah kelas.
Di khataman Alfiyah tahun yang lain, kalau tidak salah tahun 2018—Penulis tidak hadir, hanya mendengarkan dari streaming akun Facebook Alfadllu—Kiai Dimyati bercerita tentang Kiai Wahab Hasbullah, Kiai Hasyim Asy’ari, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Soleh Darat, Kiai Soleh Langitan, Kiai Soleh Gresik, R A Kartini beserta saudara-saudaranya, dan Haji Agus Salim yang menguasai beberapa bahasa. Kata beliau, Haji Agus Salim pernah memberikan Alquran terjemahan bahasa Belanda kepada Soekarno. Kiai Dimyati juga mengutip sepenggal kalimat bahasa Belanda dari terjemahan Alquran bahasa Belanda, yang menginspirasi Soekarno.
Di momen itu pula, beliau mendorong, santri-santri untuk membaca kitab-kitab besar. Bisa khatam kitab al-Mahalli, Fathul Wahab, Ihya Ulumuddin dan lain sebagainya.
“Baru khatam kitab Awamil, kok terus pulang menikah…” kira-kira begitu kata beliau sambil tersenyum meledek santri, yang baru khatam kitab-kitab dasar lalu keburu boyong atau pulang ke rumah. (RM)