Pasca upacara bendera pagi ini, salah seorang kawan bertanya, perihal siapa yang paling berperan dalam kemerdekaan Indonesia?
Bagi saya, pertanyaan di atas kurang tepat. Karena semua lapisan masyarakat (selain para pengkhianat tentunya, jika ada) memainkan peran masing-masing sesuai dengan konteks di lingkungan mereka hidup. Akan lebih tepat jika pertanyaannya diubah menjadi bagaimana masyarakat kala itu berjuang demi kemerdekaan Indonesia, sesuai dengan kapasitas masing-masing?
Gus Dur di tulisan Membaca Sejarah Lama (3) dalam buku Kumpulan Kolom dan Artikel Abdurrahman Wahid Selama Era Lengser (LkiS: 2002) menulis peran salah satu elemen masyarakat dalam mewujudkan kemerdekaan.
Suatu hari, kata Gus Dur, Kiai Wahid Hasyim pemimpin Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang juga diminta oleh pihak Jepang mewakili ayahnya Kiai Hasyim Asy’ari membuka Shumubu — kantor urusan agama, yang kelak berkembang menjadi Departemen Agama — dihubungi oleh Laksamana Maeda dari pemerintahan pendudukan Jepang, terkait siapa yang patut diperlakukan sebagai wakil bangsa Indonesia?
Kiai Wahid tidak langsung memberikan jawaban. Ia meminta waktu untuk berkonsultasi kepada ayahnya, yakni Kiai Hasyim Asy’ari di Tebuireng Jombang – sikap Kiai wahid di ini tidak asing di kalangan dunia pesantren. Sudah menjadi tradisi, seorang santri memerlukan sowan kepada kiai ketika ingin mengambil keputusan penting atau memulai sesuatu. Walaupun kadang santri memiliki pandangan yang kira-kira juga akan disetujui, tapi ia tetap merasa perlu minta restu kepada kiai.
Setelah berbincang dengan Kiai Hasyim Asy’ari via telepon, Kiai Wahid menjawab, bahwa yang pantas didukung sebagai pemimpin bangsa Indonesia adalah Soekarno. Pilihan ini, menurut Gus Dur mengandung tempat yang sangat terhormat bagi diri Soekarno, mengingat Kiai Hasyim Asy’ari adalah pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan sangat disegani serta punya pengaruh yang sangat luas – mengenai kharisma Kiai Hasyim Asy’ari ini bisa dilihat dari berbagai hal, seperti pengaruh seruan resolusi jihad menolak penjajah, protes masyarakat saat beliau di penjara oleh tentara Jepang dan banyaknya kiai-kiai besar yang berguru kepada beliau, seperti Kiai Maksum Lasem dan Kiai Abdul Karim Lirboyo. Dalam bahasa Kiai Maimun Zubair, Kiai Hasyim Asy’ari adalah anak zaman di masanya. Menurut Kiai Maimun, dalam tulisan Rijal Mumazziq (alif.id 12/08/2019) tak ada ceritanya seseorang jadi ulama besar, kecuali pernah beristifadah keilmuan kepada Kiai Hasyim Asy’ari.
Pemerintahan kependudukan Jepang pun akhirnya memilih Soekarno dan Hatta. Kata Gus Dur, dengan melihat keduanya dan sikap di atas, kedudukan Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin bangsa ini sangat jelas. Jika mereka berdua sepakat akan suatu hal, bisa dikatakan itu sebagai putusan bangsa.
“Demikianlah kesepakatan mereka untuk merdeka, akhirnya tertuang dalam teks proklamasi kemerdekaan bangsa kita pada tanggal 17 Agustus 1945” tulis Gus Dur.
Usai bercerita proklamasi kemerdekaan tujuh empat tahun silam, Gus Dur, sebagaimana ceritanya yang lain, mulai memberi catatan atau tafsiran. Menurutnya, yang dilakukan Soekarno dan Hatta waktu itu, bagi keduanya tidaklah begitu penting, karena juga dipaksa oleh pemuda, seperti Soekarno.
Membaca kejadian itu Gus Dur mengatakan, kita harus sadar, tentang kesepakatan para pemimpin kita untuk merdeka. Mungkin kita belum merdeka hari ini kata Gus Dur, seandainya para pemimpin kita saat itu tidak sepakat untuk mengambil sikap yang penting ini.
Sikap para pemimpin bangsa kita di atas, selanjutnya oleh Gus Dur dibaca sebagai mendahulukan kepentingan bangsa dari pada kepentingan pribadi. Gus Dur lalu mengkritik para pemimpin era ia menulis catatannya ini, yakni 20 November 2001. Mungkin kritiknya ini masih relevan sampai sekarang. Gus Dur menulis:
“Masing-masing mencari pemenuhan ambisi pribadi, dengan mengorbankan kepentingan yang lebih besar… Masing-masing ingin tampil sebagai pemimpin bangsa, dan boleh dikata tidak mengakui kepemimpinan orang lain. Dikombinasikan dengan kepandaian membungkus semua kekurangan dengan retorika yang indah yang tak berpengaruh apa-apa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara kita…”
Gus Dur melanjutkan:
“Sudah waktunya kita memikirkan nasib bangsa secara keseluruhan. Kalau perlu dengan menanggalkan sikap penting arti diri sendiri dalam kehidupan berbangsa dan bernegara…
Pertanyaan dasarnya adalah, sanggupkah kita sebagai bangsa mengembangkan sikap meninggikan kepentingan bersama itu, dan mengalahkan kepentingan pribadi para pemimpin bangsa kita?” (RM)