Indonesia, bahkan dunia, sekarang sedang menghadapi krisis global berupa pandemi Corona atau Covid 19. Dalam rangka mengantisipasi penyebarannya, sesuai anjuran dari ahlinya, masyarakat diminta menghindari berkumpul dengan banyak orang dan selalu menjaga kebersihan, yang diantaranya harus rajin mencuci tangan, baik menggunakan sabun maupun hand sanitizer.
Anjuran di atas, khususnya yang pertama, bersinggungan dengan beberapa ibadah dan kegiatan umat islam, lantaran umat Islam memiliki ibadah yang dalam keadaan normal harus dilaksanakan secara bersama. Selain itu, umat Islam, khususnya di Indonesia juga sering mengadakan kegiatan yang dihadiri orang banyak. Maka tak mengherankan jika anjuran antisipasi penyebaran pandemi Corona direspon sedemikian rupa.
Salah satu respon yang beredar bisa dikatakan bertentangan dengan anjuran ahli supaya Corona tidak menyebar. Misalnya, respon yang menyatakan kira- kira, “Hidup dan mati sudah diatur oleh Allah. Kalau sudah waktunya mati, ya mati. Kalau belum, ya tidak akan mungkin mati”. Pernyataan semacam ini berimbas kepada keengganan beberapa orang untuk mengikuti instruksi atau anjuran para ahli di atas.
Menanggapi respon di atas, salah satu penulis, Lien Iffah dalam tulisannya yang dimuat di Islami.co (17/03/2020), mencoba mengetengahkan pandangan kalam Asy’ariyyah untuk melihat fenomena ini. Menurutnya–dengan menjelaskan konsep kasb yang menjadi pembeda dengan teologi Qodariyyah dan Jabariyyah–teologi Asy’ariyyah, yang dianut mayoritas orang Indonesia, mengajarkan orang untuk optimal dalam berikhtiar, lalu bertawakkal.
Penjelasan Lien Iffah ini mendapat banyak respon balik. Salah satunya ada yang berpendapat bahwa konsep kasb Asy’ariyyah hanya basa basi saja. Ujung-ujungnya, katanya, kasb atau usaha tersebut tak punya pengaruh apa-apa, dalam arti semua tergantung keputusan Allah. Dengan kata lain, ia menyatakan, Asy’ariyyah berakhir kepada fatalisme.
Menurut pemahaman saya, tentu bisa salah dan terbuka untuk digugat, Asy’ariyyah tidaklah demikian. Teologi ini justru mendorong kita selalu berusaha sampai titik penghabisan.
Konsep kasb sekilas memang terlihat berakhir kepada fatalisme. Namun kalau kita kaji lebih mendalam, tidaklah demikian. Menurut saya, memahami konsep kasb tak bisa dipisahkan dengan pemahaman atas konsep sebab adhi dan doktrin tidak boleh berputus asa yang juga menjadi ‘ajaran’ kalam Asy’ariyyah.
Saya biasa mengajukan sebuah pertanyaan dalam sebuah diskusi dengan kawan-kawan, “jika saya memasukkan tangan ke dalam kobaran api, siapa yang membuat tangan saya terbakar? Allah atau api?”
Pertanyaan di atas, jika dilihat dengan cara pandang Asy’ariyyah, maka akan menghasilkan jawaban, “yang membakar adalah Allah, bukan api”.
Dari jawaban ini, kita pun akan berkesimpulan, tak mengapa kita memasukkan tangan ke dalam kobaran api, toh jika Allah tak berkehendak tangan ini terbakar, tangan ini tidak terbakar. Namun, apakah dengan begitu kita boleh memasukkan tangan ke dalam kobaran api?
Disinilah pentingnya konsep sebab adhi atau sebab kebiasaan diketengahkan. Dalam konteks kita yang tak ingin terbakar, maka tak boleh memasukkan tangan ke dalam kobaran api, karena biasanya Allah membakar sesuatu bersamaan dengan menciptakan api.
Kalau kita tarik ke pandemi Corona, dengan data ilmiah bahwa orang yang berinteraksi dengan mereka yang telah terjangkit virus Corona, dan orang yang terjangkit virus ini jika tak memiliki imunitas yang kuat bisa berujung kepada kematian, maka bagi kita yang ingin terhindar dari virus ini harus berusaha (kasb) menghindari interaksi dan menjaga imunitas, lantaran itu adalah sebab yang biasanya (sebab adhi) Allah menghendaki sakit bahkan kematian.
Kenapa sebab adhi bukan sebab akibat? Sebab akibat, menurut pemahaman saya, mengandaikan kepastian, sedang sebab adhi masih menyisakan ketidakpastian atau kemungkinan lain yang berbeda dengan prediksi, namun tetap harus dikejar atau dilakukan.
Contohnya, orang sudah berusaha menghindar dari pandemi Corona, namun ia akhirnya terjangkit virus tersebut, dan lalu mati. Bagi yang berpaham sebab akibat akan berpotensi meragukan data ilmiah dan menjadi fatalis. Kira-kira ia akan mengatakan, “halah, itu orang sudah menghindar dari Corona, tapi ya akhirnya kena juga dan mati. Kalau Allah berkehendak, tak ada yang bisa menolak”.
Atau sebaliknya, ada orang yang tak menghindari penyebaran Corona, tapi ia aman-aman saja. Alih-alih mati, ia tetap sehat seperti biasa. Bagi yang menganut sebab akibat, kira-kira akan mengatakan, “halah itu hanya data ilmiah, kalau Allah tidak berkehendak, ya tetap aman. Buktinya saya sehat-sehat saja.
Dua contoh kasus tersebut, akan lebih tepat jika dipandang dengan sudut sebab adhi. Seandainya kedua contoh kasus di atas benar-benar terjadi, orang yang memiliki pandangan sebab adhi akan mengatakan, “pembuat sakit dan mati sejatinya adalah Allah. Dua kasus di atas bisa terjadi. Namun jika kita ingin terhindar dari kerusakan, dalam konteks Corona, kita harus menghindarinya, lantaran Allah biasanya memberi penyakit bersamaan dengan virus tersebut”.
Dengan sebab adhi ini, orang tak akan anti ilmu pengetahuan, entah prediksi sains tepat seratus persen atau pun tidak, lantaran menempatkan relasi antara sesuatu sebagai relasi yang biasanya beriringan, yang masih menyisakan ketidakpastian. Bukankah sehebat apa pun sebuah pencapaian sains masih menyisakan kemungkinan yang tak sesuai?
Orang yang berpaham sebab adhi ini juga nantinya berpotensi besar terhindar dari putus asa. Demikian, lantaran ia telah menyisakan kemungkinan yang berbeda dari data ilmiah. Jadi saat prediksi itu salah, ia tak kecewa. Di sisi lain, ia juga tetap akan berusaha sampai titik akhir, karena mengejar sebab adhi adalah sebuah jalan yang harus di tempuh, dengan harapan dihindarkan atau didekatkan oleh Allah, apa yang menjadi tujuan dari usahanya.
Begitu pemahaman saya. Anda bisa setuju atau tidak, namun kuharap kita saat ini jaga diri, jaga jarak, dan di rumah aja! Wallahhu a’lam.
Ya setuju, intine doa usaha tawakal kui penting kanggo ngadepi masalah opo wae