Sedang Membaca
Ngaji Tajul ‘Arus: Jangan Menyerah Menjadi Baik sebagaimana Pemanah
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Ngaji Tajul ‘Arus: Jangan Menyerah Menjadi Baik sebagaimana Pemanah

Ngaji Tajul 'Arus; Jangan Menyerah Menjadi Baik Sebagaimana Pemanah

Pemanah yang terus memanah, jika ia gagal hari ini, maka bisa jadi esok hari ia akan mengenai sasarannya. Begitu kira-kira tegas Syaikh Ibnu Athoillah dalam kitab Tajul ‘Arus, di bagian yang menerangkan efek negatif atau bahaya dari melakukan maksiat.

Nasihat ini ditujukan untuk orang yang telah mati hatinya lantaran berbagai macam maksiat yang dilakukan. Untuk menghidupkan hati yang telah mati itu, Syaikh Ibnu Athoillah menyarankan orang tersebut untuk menghadiri majelis hikmah.

“Angin surga terkoneksi pada majelis hikmah, yang akan kau temukan di jalanmu, rumahmu, bahkan kamarmu.”

Syaikh Ibnu Athoillah menasihati kita yang enggan menghadiri majelis hikmah, lantaran masih belum bisa meninggalkan maksiat.

“Jangan beranggapan apa faedahnya menghadiri majelis hikmah, hanya karena belum bisa meninggalkan maksiat.”

Pada titik inilah Syaikh Ibnu Athoillah mentamsilkan ikhtiar untuk menjadi baik dengan pemanah yang terus memanah. Jika hari ini gagal, maka ada potensi akan berhasil esok hari. Begitu juga kita, kendati setelah menghadiri majelis hikmah masih belum bisa menanggalkan maksiat, dengan terus menghadiri majelis hikmah, di kemudian hari kita ada kemungkinan akan tergerak menjauhi maksiat, lantaran hati kita yang terus dihunjami panah hikmah.

Syaikh Ibnu Athoillah juga mengatakan, barang siapa yang bertaubat, ia akan memperoleh keberuntungan. Sebaliknya, yang enggan bertaubat, ia akan merugi. Ibnu Atholillah juga menasihati agar kita tidak putus asa, lantaran kadang setelah bertaubat kita berbuat maksiat lagi. Syaikh Ibnu Athoillah mengibaratkan dengan seorang yang sakit, yang tentu selalu berharap hidup, selama ruh masih berada di jasad.

Baca juga:  Mengenal Kitab Pesantren (41): Nihâyatus Sûl dan Sikap Obyektif Al-Isnawî

Dalam kitabnya yang tebalnya tidak sampai seratus halaman itu, Syaikh Ibnu Athoillah menaruh pembahasan perihal taubat di awal. Beliau memberikan arahan, agar seorang hamba bertaubat kepada Allah subhanahu wa ta’ala setiap waktu. Beliau bersandar pada dua ayat dalam al-Quran.

Yang pertama adalah penggalan Surat an-Nur ayat 31:

وَتُوْبُوْٓا اِلَى اللّٰهِ جَمِيْعًا اَيُّهَ الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ

“Dan bertaubatlah kalian semua wahai orang-orang yang beriman supaya kalian beruntung.”

Sedangkan ayat yang kedua merupakan penggalan dari Surat al-Baqarah ayat 222:

اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertobat dan menyukai orang-orang yang menyucikan diri.”

Syaikh Ibnu Athoillah mengibaratkan maksiat dengan api, dan gelapnya hati dengan asap. Sebagaimana api dan asap tidak terpisahkan, begitu pula maksiat dengan gelapnya hati selalu beriringan.

Beliau membuat tamsil. Jika seseorang menghidupkan api dalam rumahnya selama tujuh puluh tahun, tentu rumah itu akan menghitam. Demikian juga dengan hati, menghitam lantaran maksiat yang diperbuat.

Lalu apa yang bisa membersihkan hati yang menghitam itu? Tak lain kecuali taubat. Begitu kata Syaikh Ibnu Athoillah.

Syaikh Ibnu Athoillah menggandengkan perihal taubat ini dengan pembahasan mengikuti Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kata beliau, untuk menggapai derajat yang luhur di sisi Allah, tak ada lain kecuali mengikuti Nabi Muhammad.

Baca juga:  Khataman Kitab

Syaikh Ibnu Athoillah membagi perihal mengikuti Nabi Muhammad menjadi dua: mengikuti yang tampak dan tak tampak. Yang tampak seperti mengerjakan salat, puasa haji dan lain sebagainya. Sedangkan yang tak tampak seperti menghadirkan diri menghadap Allah dalam salatnya, dan merenungi bacaan al-Qur’annya. Kalau kita tak bisa melakukan yang kedua ini, berarti, kata Syaikh Ibnu Athoillah, kita mengidap penyakit batin, seperti sombong dan ujub, sebagaimana didasarkan pada firman Allah dalam penggalan surat al-A’raf ayat 146:

سَاَصْرِفُ عَنْ اٰيٰتِيَ الَّذِيْنَ يَتَكَبَّرُوْنَ فِى الْاَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقِّۗ

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri di bumi tanpa alasan yang benar dari tanda-tanda (kekuasaan-Ku).”

Syaikh Ibnu Athoillah menyatakan, bahwa Allah menaruh seluruh kebaikan di sebuah rumah, dan mengikuti Nabi Muhammad adalah kunci memasuki rumah kebaikan itu.

Mengikuti Nabi Muhammad berarti mengikuti beliau dalam ucapan dan perbuatan. Syaikh Ibnu Athoillah menyebutkan beberapa hal, seperti sikap qana’ah atas rezeki dari Allah, zuhud, mengambil dunia secukupnya, meninggalkan hal-hal yang tak berfaedah. Selain itu, kata Syaikh Ibnu Athoillah, jika kita ingin mengikuti Nabi Muhammad, kita harus menjauhi kezaliman atas hamba-hamba Allah.

Yang demikian ini menunjukkan bahwa kita dituntut untuk — meminjam istilah Gus Mus — menjadi saleh ritual sekaligus saleh sosial. Apalagi kalau merujuk kepada kitab Nasoihul Ibad, yang merekam perintah Nabi Muhammad supaya kita berbelas kasih kepada penduduk bumi, tuntutan menjadi saleh dalam ibadah dan berbuat baik kepada sesama semakin kentara. Bahkan, menurut Kiai Nawawi Banten dalam kitab Nasoihul Ibad, secara garis besar seluruh perintah Allah kembali kepada dua hal, yakni mengagungkan Allah dan berbelas kasih kepada makhluknya Allah yang tidak terbatas pada manusia.

Baca juga:  Sabilus Salikin (53): Dasar-Dasar Tarekat Ghazaliyah

Melihat keadaan dunia yang sekarang, di mana krisis ekologis terjadi di berbagai tempat, menjadi saleh sosial berarti juga memperlakukan alam secara baik. Artinya, dalam pemanfaatan alam, kita tidak mengeksploitasinya secara berlebihan sehingga menyebabkan kerusakan seperti banjir, longsor, perubahan iklim, pemanasan global dan lain sebagainya. Dengan kata lain, kita bersikap moderat dalam mengelola alam, dan menitikberatkan kepada kesejahteraan bersama dan keberlanjutan alam sehingga bisa dimanfaatkan pula oleh generasi mendatang.

Perihal mengikuti Nabi Muhammad ini, Syaikh Ibnu Athoillah mendasarkan pada surat Ali ‘Imran ayat 31:

قُلْ اِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّوْنَ اللّٰهَ فَاتَّبِعُوْنِيْ يُحْبِبْكُمُ اللّٰهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوْبَكُمْۗ وَاللّٰهُ غَفُوْرٌ رَّحِيْمٌ

“Katakanlah (Nabi Muhammad), “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Begitu kira-kira sedikit pembahasan awal kitab Tajul ‘Arus. Melihat beberapa bab setelahnya, tampaknya kitab ini diperuntukkan sebagai peta untuk kita yang ingin kembali kepada Allah, sebagaimana fitrah kita.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
2
Terkejut
0
Scroll To Top