Pada 6 Februari 2018, mendiang Pramoedya Ananta Toer berulang tahun. Tidak berlebihan rasanya memperbincangkan kembali sastrawan Indonesia yang karya-karyanya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan masih dibaca sampai sekarang.
Di dunia tulis-menulis nama Pram –begitu ia biasa disebut– sudah tidak asing lagi. Kutipan-kutipan dari beberapa karya Pram banyak dikutip di berbagai tulisan, bahkan kerap dibuat meme.
Misalnya, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian“, “Menulis adalah sebuah keberanian“. Kutipan lain, “Tahu kau mengapa aku sayangi kau lebih dari siapa pun? Karena kau menulis. Suaramu tak akan padam ditelan angin, akan abadi, sampai jauh, jauh di kemudian hari“, adalah beberapa dari kata-kata Pram yang sering dikutip, khususnya oleh mereka yang suka menulis, sedang belajar atau mengajari menulis.
Kalimat-kalimat indah Pram tentang menulis di atas sangat ampuh sebagai jimat, yang memotivasi seseorang dalam menulis. Maka tak mengherankan banyak pemateri, atau senior yang sedang mengajari menulis yuniornya, mengutip kalimat-kalimat di atas laiknya mantra.
Meski banyak kutipan Pram telah tersebar, rupanya masih ada beberapa narasi mengenai tulis-menulis, yang menurut saya, belum banyak tersebar dan diketahui orang. Saya hanya ingin memberi contoh kecil dalam novel Anak Semua Bangsa. Di sana, menurut saya, banyak kalimat “jimat” mengenai cara menulis atau menjadi penulis yang baik.
Menawarkan solusi
Dalam Anak Semua Bangsa, Minke sebagai tokoh utama baru saja berkabung atas kematian istrinya Annelis. Ia diajak mertuanya, Nyai Ontosoroh ke desa dari mana Nyai berasal. Pada kunjungan tersebut, Minke bertemu dengan beberapa orang, yang kisah mereka kemudian ia sulap menjadi satu tulisan.
Dari kunjungannya, Minke menghasilkan tulisan mengenai Suratmi, anak dari kakak Nyai Ontosoroh. Suratmi kehilangan kerupawanannya lantaran dipaksa menjadi nyai oleh administrator pabrik gula di daerahnya, yang kekuasaannya melebihi bupati. Suratmi nekat ke sebuah desa yang dilanda wabah supaya ia tertular dan bisa menulari administrator yang semena-mena itu.
Kisah lain adalah tentang Trunodongso, petani yang diperlakukan tidak adil oleh pabrik dalam hal persewaan tanah sawahnya. Suratmi dan Trunodongso sama-sama patut dibela.
Minke menunjukkan tulisannya kepada temannya yang jurnalis, Khommer. Khommer menilai tulisan Minke bagus, menyerukan perikemanusiaan dan menolak kebiadaban. Namun Minke terlalu berat dalam memandang kehidupan, kurang bergaul, tak punya selera humor, sehingga tulisannya terasa murung atau suram.
Dalam proses koreksi tulisan inilah, muncul kalimat-kalimat inspiratif, seperti ucapan Khomer, “Kehidupan ini seimbang, Tuan. Barang siapa memandang pada keceriaannya saja, dia orang gila. Barang siapa memandang pada penderitaannya saja, ia sakit”
Kata-kata ini mengandung nasehat. Dalam menulis tentang ketidakadilan atau penderitaan, tetaplah harus menyertakan sikap optimistis, bahwa penderitaan itu bisa dilalui. “… Kalau Tuan Minke tak mampu melihat keceriaan kehidupan, bagaimana ia nanti bisa menunjukkan kepada bangsanya: di sana kebahagiaan?… Tanpa keceriaan mengalahkannya, orang hanya akan berputar-putar dalam penderitaan itu saja”
Nasehat itu mengingatkan saya saat pertama belajar menulis. Saat menulis, paling gampang adalah menyalahkan berbagai pihak dan menilai keadaan tidak ideal. Dari nasehat Pram bisa ditarik kesimpulan, bahwa tulisan tidak hanya menampilkan keadaan buruk, tapi juga harapan penyelesaiannya, atau kalau bisa menawarkan atau mendiskusikan solusinya.
Tidak Berpidato dalam Tulisan
Pram membubuhkan nasehat yang lagi ia sampaikan lewat Khommer. Menurutnya, jika Minke tidak mengubah pandangannya, ia bisa-bisa akan berhenti menulis cerita, dan hanya akan berpidato dengan tulisan. “Dan pidato dalam tulisan adalah seburuk-buruk tulisan” tegas Khommer.
Mungkin yang dimaksud Pram, dalam menulis hindarilah menggurui. Salah satu guru penulis pernah menasihati, dalam menulis sebaiknya tidak mendikte pembaca, cukup kita sampaikan data, dan analisis, biar pembaca menentukan sikapnya sendiri.
Cara menghindari berpidato dalam tulisan mungkin bisa dengan mengikuti teori penulisan “show don’t tell” yang berarti tunjukkan jangan katakan. Maksudnya, dalam menilai ideal dan tidaknya suatu realitas, biar data yang berbicara, dan penilaian diserahkan sepenuhnya kepada pembaca.
Data Akurat dan Kuat
Nasehat Pram yang lain terkait menulis adalah, pentingnya data yang akurat dan kuat. Contohnya adalah ketika Minke menyerahkan tulisannya tentang Trunodongso ke pengelola koran yang bernama Nijman. Ia berharap bisa terbit. Namun alih-alih diterbitkan, tulisan Minke justru dimentahkan, bahkan diragukan validitasnya.
Tulisan Minke itu menyangkut pihak pabrik, yang menurut nara sumber Minke, mencurangi petani, dalam masalah penyewaan tanah. Jika tulisan tersebut diterbitkan tentu akan banyak pihak yang tertuduh. Tulisan Minke ini dinilai oleh Nijman belum kuat. Minke diberondong dengan berbagai kemungkinan, jika tulisan tersebut terbit, seperti bagaimana jika nanti Minke dituntut di pengadilan oleh pihak tertuduh, dan apakah Minke juga sudah melakukan verifikasi data-data terkait administrasi pabrik tebu, dan lain sebagainya.
Nasehat ini sebenarnya lebih ditujukan kepada seorang jurnalis pemula. Walaupun sudah terjun ke lapangan dan melakukan wawancara langsung, namun jika hanya satu sumber dan tidak disertai data-data lain dari investigasi langsung, apalagi menyangkut pihak yang berkuasa, alih-alih bisa menguak fakta, malahan tulisan tersebut bisa jadi bumerang bagi penulis dan nara sumber sendiri. Tulisan Minke tentang Trunodongso juga masih satu arah, belum bisa dikatakan cover both side, atau berimbang.
Tentu cerita tersebut bukan bermaksud melemahkan seseorang dalam menyuarakan kebenaran dan tindak ketidakadilan, namun lebih berupa suatu nasehat, agar lebih mempersiapkan diri dalam berjuang. Apalagi dalam posisi tertindas oleh yang berkuasa, tentu jangan sampai salah langkah yang berakibat lebih buruk bagi yang dibela.
Terakhir, ada satu nasehat lagi dari Pram, yang disampaikan oleh Khommer dan disetujui oleh Jean Marais (teman sekaligus guru Minke), Nyai Ontosoroh, Ibunya Minke. Minke diminta menulis dalam bahasa Melayu, bahasa bangsanya (sebelumnya Minke menulis dalam bahasa Belanda). Maksudnya tentu bukan semata bahasa, namun agar Minke lebih mengenal bangsanya. Bukankah aneh, ingin berjuang untuk bangsanya namun tak mengenalnya?