Ada kisah menarik di kitab Maraqil Ubudiyah yang ditulis oleh Kiai Nawawi Banten sebagai penjelas dari Kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Di permulaan kitabnya, Imam al-Ghazali mewanti-wanti pencari ilmu (santri) untuk tidak salah niat atau orientasi dalam mencari ilmu. Kata beliau, hendaklah niat mencari ilmu untuk memperoleh hidayah dari Allah Subhanahu wa ta’ala.
Kiai Nawawi Banten mendetailkan penjelasan Imam al-Ghazali tersebut, dengan memberikan beberapa contoh niat yang termasuk di dalam koridor niat mencari ilmu sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali. Misalnya mencari ilmu dengan tujuan menghilangkan kebodohan dirinya dan orang lain, menghidupkan agama, mengokohkan Islam dengan ilmu, orientasi akhirat, mencari keridaan Allah, mensyukuri nikmat diberi akal dan badan yang sehat.
Lalu, Kiai Nawawi Banten menyebutkan tanda-tanda yang mengindikasikan bahwa niat santri dalam mencari ilmu sudah sesuai koridor di atas. Kata Kiai Nawawi, santri yang niat mencari ilmunya tepat akan menerima kebenaran, dan tidak mempersoalkan apakah itu muncul dari lisannya atau dari lisan orang lain.
Kiai Nawawi mengutip kisah: Pernah terjadi kerumitan (isykal) dalam majelisnya Syaikh Man’usy al-Magrabi, terkait satu masalah. Di majelis yang dihadiri oleh empat imam mazhab ini, Syaikh Man’usy tidak sepakat dengan pendapat yang dikemukakan Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menyatakan:
اذا دخل شرط على شرط لا يوجب الحكم الا بتقديم المؤخر
“Ketika syarat masuk ke dalam syarat maka hukum tidak jatuh kecuali terjadinya syarat yang terakhir.”
Imam Syafi’i memberi contoh: “ketika kamu berkata (pada istrimu): jika kamu (istri) masuk rumah, maka kamu (istri) tertalak.”
Menurut Imam Syafi’i, talak suami itu tidak jatuh, kecuali setelah istrinya masuk rumah.
Kata Syaikh Man’usy, pernyataan Imam Syafi’i ini tidak ada landasannya dalam kalam Arab.
Tanpa terduga, Hamdan, yang saat itu masih sangat muda, bahkan dalam teksnya menggunakan redaksi “shaghir”, angkat bicara, dan menyatakan bahwa pendapat Imam Syafi’i benar adanya.
Sontak, karena masih sangat muda, orang-orang yang hadir di situ mencegah Hamdan ikut bicara.
Namun tidak demikian dengan Syaikh Man’usy. Alih-alih melarang, beliau justru menyuruh Hamdan untuk menjelaskan lebih lanjut pendapatnya.
“Biarkan dia berbicara! Tak ada permusuhan antara kita dan kebenaran, walaupun itu munculnya dari anak muda belia (shaghir). Termasuk kekhususan kita adalah menerima kebenaran walau dari anak muda belia dan boleh baginya menyanggah orang dewasa/tua dalam kebenaran. Tidak seperti umat terdahulu, yang jika ada orang dewasa/tua berbuat salah, tidak ada satu pun yang menyanggahnya sehingga kesalahan itu dianggap sebagai syari’at, dan lalu diamalkan,” kata Syaikh Man’usy.
Lalu Syaikh Man’usy menoleh ke Hamdan, dan memintanya menjelaskan pandangannya.
Hamdan memulai penjelasannya dengan mengutip syair dari bahr washit:
ان يستغيثوا بنا ان يذعروا يجدوا # منا معاقد عز زانها كرم
“Jika mereka meminta tolong kepada kami ketika mereka merasa takut, maka mereka akan memperoleh dari kami tempat-tempat layak yang dihiasi kemuliaan.”
Kata Hamdan, dalam syair itu telah jelas, bahwa meminta tolong itu setelah adanya rasa takut bukan sebelumnya. Kalam Arab ini, menurut Hamdan, menjadi bukti benarnya pendapat Imam Syafi’i perihal masalah di atas.
Syaikh Man’usy pun tersenyum dan tampak bahagia.
“Kamu benar, wahai anakku,” kata Syaikh Man’usy seraya mendoakan Hamdan.
“Sebenarnya saya tidak kompeten menolak pendapatnya Imam Syafi’i. Hanya saja, saya menduga Imam Syafi’i yang menggerakan lisan saya untuk turut berpendapat,” lanjut Syaikh Man’usy.
Beliau pun mengutip sebuah syair:
وكم من صغير لاحظته عناية # من الله فاحتاجت اليه الاكابر
Yang artinya kira-kira:
“Betapa banyak anak kecil yang memperoleh pertolongan dari Allah, sehingga orang-orang dewasa pun membutuhkannya.”
Dari kisah ini, tampak bahwa perdebatan ilmiah dan sikap kritis merupakan hal lumrah terjadi di antara para ulama, sebagai ikhtiyar memperoleh kebenaran.
Dari kisah ini juga tergambarkan, bahwa ketakziman kepada yang lebih tua bukan berarti tidak kritis. Pun sebaliknya, bersikap kritis bahkan berbeda pendapat — selama berorientasi kebenaran dan tetap dengan adab yang baik — bukan berarti tidak takzim.
Justru, mungkin dengan sikap kritis dan berani menyampaikan pendapat berbeda yang orientasinya kepada pencarian kebenaran — dengan meminjam istilah Gus Dur — merupakan ketakziman atau ketundukan yang lebih dalam.