Senior di kampus saya pernah cerita. Saat itu dia menjabat sebagai pemimpin redaksi jurnal di salah satu lembaga pers mahasiswa. Ia bertugas mewawancarai Gus Dur.
Sebelum ke Jakarta, terlebih mengontak seorang yang dianggap bisa menghubungkan ia dengan Gus Dur.
Berangkatlah ia ke Jakarta sendirian naik kereta api. Namun setelah sampai di Pasar Senen, ia kecopetan, yang tersisa hanya handphone jadul (waktu itu belum ada android) dan tape recorder. Dan orang yang dianggap bisa menghubungkan ia dengan Gus Dur pun ternyata tak ada di Jakarta, dan tak bisa membantunya.
Sebagai aktivis, ia mengunjungi para seniornya. Beberapa senior memberinya uang, namun dengan menasehati:
“Kamu itu perempuan, belum pernah ke Jakarta, kok pergi sendirian?” begitu kira-kira kata senior menasehati setengah memarahi.
Beberapa hari ia di Jakarta belum juga bisa bertemu Gus Dur. Dia berniat akan pulang, setelah mencoba usaha terakhirnya.
Pada waktu itu Gus Dur sedang mengisi sebuah acara. Setelah Gus Dur selesai, dan menuju mobil, ia mencoba mengikuti Gus Dur dengan Bajai.
Gus Dur pun berhenti di sebuah Gedung (penulis lupa gedung apa, mungkin gedung PBNU atau gedung lain Gus Dur akan mengisi acara lagi). Ia pun masuk gedung tersebut, sambil duduk-duduk di gedung tersebut berharap bisa bertemu Gus Dur.
Tiba-tiba, ada seseorang menghampirinya dan berkata:
“Kamu yang namanya ini ya? Itu sudah ditunggu Gus Dur suruh wawancara.” kata seseorang yang ternyata asisten Gus Dur.
Senior saya kaget. Dan bertanya-tanya, “Kok bisa Gus Dur menggil saya padahal belum janjian, dan tahu nama saya padahal belum ketemu.”
Akhirnya, ia bertemu Gus Dur dan wawancara. Gus Dur pun tahu ia ke Jakarta sendirian, dan beliau menasehatinya perihal kenekatannya.
“Saya itu kalau ada orang mengatakan Gus Dur weruh sak durunge winarah, saya ya percaya, saya pernah membuktikan sendiri, Dik.” katanya padaku. (RM)