Sedang Membaca
Biografi Nabi dari Yahudi Agnostik
Zaim Ahya
Penulis Kolom

Tinggal di Batang. Penulis lepas, owner kedai tak selesai, dan pengajar di PonPes TPI al-Hidayah.

Biografi Nabi dari Yahudi Agnostik

Seorang Agnostik Yahudi, Lesley Hazleton namanya, menulis biografi Nabi Muhammad. Buku biografi itu diberi judul: The First Muslim: The Story of Muhammad, yang diterjemahkan oleh penerbit Alvabet menjadi Pribadi Muhammad.

Dalam buku itu Hazleton mengisahkan Pribadi Nabi dengan membaginya menjadi tiga bagian: (1) Bocah Yatim, (2) Masa Pengasingan, dan (3) Sang Pemimpin.

Walaupun bagian pertama berjudul Bocah Yatim, Hazleton tak memulainya dengan mengisahkan wafatnya Sayyid Abdullah, ayah Nabi Muhammad. Hazleton justru memulai kisahnya dengan peristiwa yang menurutnya paling menentukan di fase hidup Nabi Muhammad: peristiwa agung di Gua Hira pada malam itu, tahun 610 M.

Mengenai perenungan Nabi Muhammad di Gua Hiro, Hazleton mengajukan rentetan pernyataan dan pertanyaan:

“Dia telah menemukan ceruk nyaman dalam kehidupannya, dan di usia paruh baya ia sangat berhak untuk duduk santai dan menikmati kehidupannya yang menanjak menuju kemuliaan. Jadi, apa yang dia lakukan sendirian di atas sana, di salah satu pegunungan yang mengelilingi kota yang terlelap di bawahnya? Mengapa seorang lelaki yang bahagia dengan pernikahannya mengisolasi dirinya sendiri dengan cara seperti ini, merenung sepanjang malam?”

Apakah Hazleton percaya Nabi Muhammad menerima wahyu dari Tuhan? Kata Hazleton, bagi seorang rasionalis, manusia bertemu Tuhan bukanlah fakta, tapi fiksi yang dibuat. Namun, sikap Nabi pasca pertemuan itu tak menunjukkan demikian.

Baca juga:  Kisah-Kisah Pangeran Diponegoro di Bulan Ramadan: Inspirasi Mulai Perang hingga Diasingkan

Kata Hazleton, setelah perjumpaan yang pertama di Gua Hiro itu, Nabi tak turun dari gunung dengan melayang seakan berjalan di udara. Nabi, lanjut Hazleton, juga tak turun kemudian berkata “Heleluya” dan “Terpujilah Tuhan”. Singkatnya, Nabi Muhammad setelah perjumpaan pertama di Gua Hiro itu tak lantas mengaku sebagai Utusan Allah.

Justru setelah peristiwa pada malam itu, Nabi lari gemetar dan tak meyakini bahwa yang terjadi pada beliau itu nyata adanya. Bahkan, tulis Hazleton, Nabi menganggap itu halusinasi, atau kerasukan, bahkan majnun.

Kalau kita merujuk kepada kitab Hasyiyah As-Shawi (penjelas dari kitab Tafsir Jalalain) di awal penjelasan surat al-Alaq misalnya, kita akan dapati hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan bersambung ke Siti ‘Aisyah perihal turunnya wahyu pertama itu.

Sebagaimana dikisahkan oleh  Ibu orang-orang beriman, Siti ‘Aisyah, setelah menerima wahyu pertama (ayat 1 sampai 5 dari surat al-Alaq), Nabi Muhammad pulang ke rumah dengan hati gemetar, dan memerintahkan Siti Khadijah menyelimuti beliau.

Setelah Nabi beranjak tenang, beliau menceritakan apa yang baru saja dialami, dan berkata kepada istri tercintanya: “Aku khawatir dengan diriku”.

Siti Khadijah pun berusaha menenangkan Nabi dengan berkata, bahwa Allah tak mungkin menghinakan Nabi yang selama ini telah berbuat baik seperti menyambung sanak saudara.

Baca juga:  Laila: Nama Legendaris di Kalangan Arab

Siti Khadijah bersama Nabi lalu menemui Waraqah bin Naufal, sepupu Siti Khadijah yang beragama Nasrani, yang menulis kitab Injil dalam bahasa Ibrani. Nabi pun menceritakan apa yang beliau alami di Gua Hiro itu, dan Waraqoh pun menjawab:

“Itu adalah malaikat yang pernah Allah turunkan kepada Nabi Musa…”

Di buku Lentera Kegelapan, biografi Nabi Muhammad yang ditulis oleh santri-santri Lirboyo, Nabi dikisahkan mengalami rasa ngeri, dan khawatir kalau yang muncul di hadapan beliau adalah jin padang pasir, dan khawatir jin nakal itu merasuki beliau.

Menurut Hazleton justru kengerian dan kebingungan yang dialami Nabi menjadi semacam alasan tak terbantahkan bahwa malam itu Nabi benar-benar mengalami sesuatu yang besar, yang, kata Hazleton, mengubah seorang lelaki sederhana menjadi seorang penganjur radikal perihal keadilan sosial dan ekonomi.

Sebagai sorang agnostik, Hazleton melihat Nabi sebagai seorang manusia biasa. Ia tak menaruh perhatian kepada mukjizat dan hal-hal luar biasa di luar kemampuan manusia. Semuanya dianalisis secara manusiawi, sebagaimana pandangannya atas peristiwa di suatu malam tahun 610 M itu.

Mungkin di buku biografi tersebut ada keterangan yang kita setuju, ada pula yang kita tak sepakat, bahkan kita tolak. Tentunya, apa pun itu, kita harus membacanya secara kritis. Bukankah begitu?

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
0
Ingin Tahu
1
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
3
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top