Nama Mahbub Djunaidi, yang akrab dipanggil Bung Mahbub dan Abdurahman Wahid atau Gus Dur tentu tidak asing di dunia persilatan tulis menulis. Dua penulis dari lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) ini, walaupun tidak seangkatan – Bung Mahbub lebih senior – punya beberapa kesamaan atau kemiripan.
Bung Mahbub dan Gus Dur termasuk orang NU yang tulisannya sering di muat oleh media saat itu. Kira-kira menjelang tahun 1970 –sepertinya Bung Mahbub lebih dulu, mengingat secara umur lebih tua– keduanya sering berbicara di Tempo dan Harian Kompas. Belakangan tulisan-tulisan mereka juga dibukukan.
Sebut saja misalnya buku Kolom Demi Kolom, adalah kumpulan tulisan Bung Mahbub di majalah Tempo kisaran tahun 1970-1980. Buku yang diberi pengantar oleh begawan Tempo Goenawan Mohamad ini, memuat tujuh puluh empat kolom yang rata-rata menyoal praktik politik saat itu, yang disampaikan dengan gaya khas Bung Mahbub.
Mengenai gaya tulisan Bung Mahbub ini, Goenawan Mohamad berkomentar:
“Bagaimana dia bisa menulis hingga orang tertawa padahal isinya cukup serius?…Mahbub meneroboskan bahasa Indonesia melewati jaring-jaring bahasa takut-takut yang menguasai pidato dan tulisan di koran-koran…Tak ada jeleknya kita selalu membaca tulisan Mahbub kembali setiap kali bosan mendengarkan “pidato pengarahan”…”.
Tampaknya benar komentar di atas. Bung Mahbub sering kali membuat perumpamaan menggelitik untuk mengomentari sebuah kebijakan pemerintah. Misalnya, ia mengomentari Menteri Agama Prof Mukti Ali saat itu yang punya program peternakan pesantren.
Dalam tulisan yang berjudul “Ibarat Hewan Apakah Kita Ini?” Bung Mahbub bercerita perihal beberapa hewan yang dijadikan simbol oleh banyak negara, seperti Inggris yang menggunakan singa sebagai simbol negara.
Bukan Mahbub kalau hanya bercerita. Di sela-sela ceritanya ia juga meledek. Mengutip G.J Renier dalam The English, Are The Human? (1931), ia menulis: “Mungkin orang Inggris itu garang di negeri-negeri jajahan, tapi tidak di kampung halaman”.
Di tulisan lain, yang berjudul “Bukan Kabinet Tua Bangka”, dengan gayanya yang khas, ia menyoal perihal umur yang dijadikan ukuran modernisasi kabinet pemerintahan. Ia mengungkapkan berbagai argumen dengan mengutip pendapat beberapa tokoh –kadang ia setuju kadang justru jadi bahan kritik– bahwa orang tua atau anak kecil, sama-sama bisa berbuat jahat. Adanya ungkapan “kejahatan anak-anak” dan “tua-tua keladi” adalah salah satu buktinya. Lebih lanjut, Bung Mahbub juga menyelipkan kritik. Katanya –Tampaknya ini yang membuat kita tertawa– “Para orang tua cemas betul terhadap penerbitan porno, dalam arti: terbaca anak-anaknya, bukan dirinya sendiri”.
Gus Dur juga seperti Bung Mahbub, belakangan tulisan-tulisannya di Tempo juga dibukukan, dengan judul Melawan dengan Lelucon. Laiknya Bung Mahbub, tulisan Gus Dur juga sering kali membuat kita tertawa. Misalnya tulisannya tentang Kiai Wahab Sulang Rembang yang tak tahu cara mengerem sepeda motor, akhirnya menabrak sebuah rumah, lantaran menghentikan laju motornya pakai kaki. Namun kiai tersebut justru membolehkan transfusi darah, yang oleh beberapa orang waktu itu masih diperdebatkan hukumnya.
Kata Gus Dur, bagi seorang kosmopolit, sikap Kiai Wahab ini bukan barang baru. Namun sikap Kiai Wahab ini baru bisa dirasakan pentingnya di saat wacana Keluarga Berencana (KB) masih sulit diterima, pendidikan non agama dilihat dengan penuh kecurigaan dan segala sesuatu ditinjau dari rumusan legal-formal hukum agama.
Persamaan yang lain antara Gus Dur dan Bung Mahbub, dalam menulis, tidak hanya membincang kitab kuning atau pesantren. Walau lahir dari keluarga kiai, beliau berdua akrab dengan pemikir non pesantren.
Mereka juga punya minat yang luar biasa kepada sastra. Gus Dur dalam beberapa tulisannya mengutip penulis besar dalam bidang sastra seperti Ernest Hemingway dan Albert Camus. Sedang Bung Mahbub beberapa kali juga menulis George Orwell, bahkan ia menerjemahkan novel karya Orwell yang berjudul Animal Farm ke bahasa Indonesia, dengan judul Binatangisme. Ia juga menulis karya sastra yang berjudul Angin Musim dan Dari Hari ke Hari.
Walaupun Bung Mahbub dan Gus Dur berkenalan dengan banyak pemikir dan konsep atau teori besar, keduanya tidak kemudian menjadi intelektual penurut, dalam arti membenarkan segala yang dikatakan oleh tokoh atau pemikir yang dibaca. Seperti dalam salah satu tulisannya di buku Islamku Islam Anda Islam Kita, Gus Dur tak segan mengkritik Samuel Huntington perihal teori Perbenturan Peradaban (Clash of Civilization).
Kata Gus Dur, dalam perbenturan budaya Islam dan Barat itu, Huntington hanya melihat pohon, tanpa mengenal hutannya. Dalam tulisan yang lain dalam buku yang sama, Gus Dur juga menyatakan tak setuju dengan konsep Berakhirnya Sejarah (The End of History) yang diajukan Francis Fukuyama. Menurut Gus Dur, konsep Fukuyama ini membenarkan sikap pemerintah Amerika Serikat memiliki wewenang menjadi “polisi dunia” (policemen of the world).
Seperti halnya Gus Dur, Bung Mahbub beberapa kali dalam tulisannya menolak konsep atau sikap dari tokoh atau pemikir besar.
Dalam catatan lawatannya ke Filipina Selatan sekitar akhir 1960 dan awal 1970, yang kemudian dibukukan dengan judul Pergolakan Umat Islam di Filipina Selatan, Bung Mahbub menyatakan bahwa teori Ibnu Khaldun tentang imitasi –kecenderungan masyarakat mengikuti perilaku penguasa (dalam konteks ini Spanyol dan Amerika)– tidak terjadi pada umat Islam di Filipina Selatan (tentu Bung Mahbub tidak memukul rata).
Bung Mahbub juga tak setuju atas pujian sejarawan Inggris Arnold Toynbee kepada Spanyol dan Amerika yang dianggap berperan dalam percepatan fusi di Filipina sehingga lahir sebuah kebangsaan dan menumbuh optimisme di sanubari rakyat Filipina.
Menurut Bung Mahbub yang melakukan lawatan jurnalistik di Filipina, pujian Arnold itu sulit dibuktikan kebenarannya. Justru, kata Bung Mahbub, Spanyol ini justru membelah jurang yang menganga antara pemeluk agama Islam dan Nasrani di sana. Bung Mahbub juga menyoal perihal pujian Arnold kepada Amerika.
“Harus jelas dulu, optimisme terhadap apa?” tulis Bung Mahbub. Ia mengutip Senator Recto yang mengatakan: “Dari pada Filipina ibarat sorga dipimpin Amerika Serikat, lebih baik gugusan seperti neraka dipimpin oleh awak sendiri”.
Begitulah kira-kira beberapa kesamaan Bung Mahbub dan Gus Dur. Mereka punya perhatian besar atas persoalan kemanusiaan, baik dalam negeri maupun luar negeri. Lalu, bagaimana dengan kita?