Kiai Bisri Syansuri dalam hal politik, menurut KH. Mustofa Bisri (Gus Mus) lebih mendekati sosok Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Sahabat, dan adik ipar Kiai Abdul Wahab ini adalah sosok yang mengerti politik dengan lebih mendahulukan kelurusan ajaran Rasulullah Muhammad shalallahu alaihi wassalam. Kiprah politik pendiri Pesantren Denanyar ini lebih kentara setelah kewafatan KH. Abdul Wahab Hasbullah pada Desember 1971.
Kiai Bisri kemudian menjadi Rais ‘Aam PBNU menggantikan KH. Abdul Wahab Hasbullah, posisi tertinggi di Nahdlatul Ulama. Posisi penting Kiai Bisri ini ternyata menjadi daya tarik tersendiri bagi Jenderal Soeharto, presiden di masa orde baru. Setidaknya ada dua fakta bahwa Kiai Bisri demikian dihormati dan disegani oleh Presiden Soeharto.
Pertama, pada 1976, secara diam-diam Pak Harto sowan ke Kiai Bisri di Jombang. Kedatangan Presiden Republik Indonesia ke kediaman Kiai Bisri di Pesantren Mambaul Ma’arif Denanyar itu, tidak secara resmi, alias diam-diam, tanpa pengawalan resmi, hanya ditemani oleh seorang Letnan Kolonel. Istilahnya kunjungan atau perjalanan incognito.
Waktu itu, yang menjamin keamanan Pak Harto adalah menantu cucu Kiai Bisri, yaitu KH. Hamid Baidhawi, suami Nyai ‘Aisyah binti KH. Wahid Hasyim (KH. A Wahid Hasyim adalah putra Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, mantan Menteri Agama —yang merupakan suami dari Nyai Sholihah binti KH. Bisri Syansuri).
Aisyah dalam bedah buku “Biografi KH. Bisri Syansuri” di Auditorium Mamba’ul Ma’arif (sekarang Auditorium KH. Bisri Syansuri) menuturkan, “Itu secara rahasia, gak pakai ngoweng-ngoweng, dan sampai sekarang saya masih menyimpan (dokumen) surat pernyataan suami saya, jaminan keamanan bagi Pak Harto, selama beliau berada di Mamba’ul Ma’arif,” tutur Aisyah.
Kedatangan Pak Harto ini membuktikan bahwa Mbah Bisri mempunyai kedudukan penting di mata Presiden kedua Indonesia ini.
“Tak sembarang orang disowani Pak Harto. Biasanya orang, bahkan tokoh yang justru sowan kepada presiden, bukan sebaliknya,” kenang Aisyah.
Fakta kedua adalah saat Partai Persatuan Pembangunan (PPP) berdiri. “Supaya menjadi persatuan yang sebenarnya, maka diusulkan agar persatuan itu diikat dengan simbol Ka’bah,” demikian usulan Mbah Bisri, sebagaimana dituturkan oleh Aisyah.
Sementara itu, ada pihak lain menginginkan simbol Bintang. Rapat yang juga dihadiri oleh Pak Harto ini, mengalami perdebatan yang cukup tajam dan sengit. Mbah Bisri kemudian berujar,
“Sudah, gak usah ada PPP saja. Kalau tidak memakai simbol Ka’bah, tidak usah ada partai,” tegasnya.
Pak Harto yang datang dalam rapat yang menegangkan itu tak berkutik, takluk dan menurut pada keinginan Mbah Bisri, dan menyetujuinya juga. Jadilah ka’bah sebagai lambang PPP hingga saat ini.
Terkait simbol ini, Kiai Aziz Masyhuri memberi kesaksian bahwa sebelum Kiai Bisri ngotot agar PPP diberi lambang ka’bah, ternyata Kiai Bisri sebelumnya sudah berdiskusi atau berdebat dengan Jenderal Amir Mahmud. Mahmud memilih bintang dan Kiai Bisri memilih Ka’bah sebagai simbol persatuan. Debat berlangsung seru, dan ternyata logika Amir Mahmud mampu dipatahkan Kiai Bisri. Tahu dirinya kalah argumen, Amir berpesan ke Kiai Bisri:
“Mohon perdebatan yang membuat saya kalah ini jangan disebarkan.”
Namun, dengan cerdiknya, Kiai Bisri dalam suatu pertemuan menyatakan, “Saya dipesani Pak Amir Mahmud agar tidak mengumumkan kekalahannya dalam berargumen tentang simbol PPP.”
Demikianlah Kiai Bisri Syansuri, ulama yang tegas seperti Sayyidina Umar ibn Khattab, namun juga lentur dalam bersikap yang digambarkan dalam buku biografi beliau sebagai sosok yang tegas berfikih dan lentur bersikap. (RM)