Suatu ketika dalam rangka penggalian data untuk penulisan buku Biografi Kiai Bisri Syansuri, kami tim buku sowan kepada Rais ‘Aam PBNU, KH. Sahal Mahfudz.
Di antara pertanyaan kami kepada beliau adalah, “Apakah ada titik tekan yang berbeda, bahwa jika Mbah Wahab itu lebih ke Ushul Fiqh, dan Mbah Bisri itu lebih ke fikih?”
Jawaban Kiai Sahal ketika itu, “Kedua beliau itu sama-sama ahli fikih. Namun, Mbah Wahab lebih suka memilih helah (fikih yang longgar).”
Ini menjadikan kita bercermin bahwa adalah sebuah keniscayaan, ketika ada yang cenderung ketat seperti Mbah Bisri Syansuri, dan ada yang memilih lebih longgar seperti Mbah Abdul Wahab Hasbullah.
Kebagaimanaan dan dinamika perbedaan di antara kedua Kiai yang menjadi Rais ‘Aam secara beriringan ini, kerap diceritakan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), antara lain dalam beberapa kesempatan Haul KH. Bisri Syansuri di Pesantren Denanyar Jombang, Jawa Timur. Gus Dur sendiri adalah cucu Kiai Bisri Syansuri. Ibu Gus Dur, yaitu Bu Nyai Sholihah (istri dari Kiai Wahid Hasyim), adalah putri dari Kiai Bisri Syansuri. Sementara itu istri Kiai Bisri Syansuri, Bu Nyai Nur Khodijah, adalah adik dari Kiai Abdul Wahab. Jadi, Kiai Abdul Wahab Hasbullah adalah kakak ipar Kiai Bisri Syansuri.
Cerita Gus Gur, bahwa kedua beliau itu saling menghormati dan bahkan rebutan saling menopang air wudhu, dan rebutan saling menata sandal.
Pjs Rais ‘Aam, KH. Mustofa Bisri dalam bedah buku Biografi KH. Bisri Syansuri di PWNU Jawa Timur, menggambarkan, bahwa Kiai Wahab itu ibarat Khalifah pertama pengganti Rasulullah Muhammad Shallallahu alaihi wassalam, yaitu Sayyidina Abi Bakr as Shiddiq, dan Mbah Bisri itu ibarat Khalifah pengganti Abi Bakr, yaitu Sayyidina Umar Ibn Khattab. Kedua beliau, sama-sama murid penyerta Rasulullah, dan sangat dicintai Rasulullah. Sementara, Kiai Wahab dan Kiai Bisri sama-sama murid tercinta Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari.
Demikianlah akhlak para ulama yang para beliau ini arif dalam menghadapi perbedaan. Karena memang perbedaan beliau itu ada dalilnya masing-masing.
Dengan demikian, kami setuju, agar sesama NU, kita harus hati-hati melabeli sesama NU dengan sedikit-sedikit menyebut temannya sebagai NU Liberal, NU Syiah, NU dengan garis, NU Wahabi, dan lain-lain.
Ada kaedah masing-masing, ada ukuran masing-masing. Dan diperlukan kehati-hatian dan kajian yang mendalam, sebelum ke arah kesimpulan.
Jika kepada di luar orang NU kita bisa memahami, dan mengapresiasi, maka di dalam internal NU adalah lebih pantas dan lebih elegan untuk saling memahami.
Mari meneguhkan ujaran bahwa keragaman itu indah, dan tak perlu saling menegasikan. Saat ini, yang diperlukan bukan pertengkaran, namun yang diperlukan adalah sinergi dan kerjasama yang penuh kemaslahatan, dengan merujuk kepada keindahan akhlak perbedaan pendapat antara Kiai Wahab dan Kiai Bisri, dan para ulama Nahdlatul Ulama lainnya.