Yusuf Suharto
Penulis Kolom

Tim Aswaja NU Center PWNU Jatim, dan Tim Penulis Khazanah Aswaja.

Nahdlatul Ulama: Tiga Kiai Jombang Pendiri NU

Screenshot 20200131 092452~2

Biasanya yang disebut pendiri NU itu adalah tiga kiai, yaitu Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, Kiai Abdul Wahab Hasbullah, dan Kiai Bisri Syansuri, walau sebenarnya pendiri NU itu banyak, yaitu para ulama besar selain tiga kiai utama tersebut.

Kiai Cholil Bangkalan yang merupakan guru dari Kiai Hasyim juga disebut sebagai pendiri NU, begitu juga Kiai Faqih Maskumambang Gresik yang disebut-sebut sebagai Wakil Rais Akbar. Kiai Mas Alwi Abdul Aziz yang menamai Nahdlatul Ulama, Kiai Ridwan Abdullah yang membuat lambang NU, juga Kiai Abdul Chalim yang merupakan Wakil Katib dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pertama kali, adalah di antara para ulama pendiri Nahdlatul Ulama, dan masih banyak lagi.

Pertanyaannya, mengapa biasanya yang disebut pendiri NU diwakili oleh tiga kiai Jombang yaitu Kiai Hasyim, Kiai Wahab, dan Kiai Bisri? Karena ketiganya adalah di antara yang berperan awal pembentukan NU. Juga karena ketiga kiai itu adalah pimpinan tertinggi di NU secara berurutan. Kiai Hasyim adalah pemimpin tertinggi NU yang pertama, sebagai Rais Akbar. Beliau wafat digantikan oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan ketika wafat digantikan KH. Bisri Syansuri, dengan jabatan tertinggi di NU, Rais ‘Aam.

Peran Kiai Hasyim Asyari dalam pembentukan NU demikian signifikan. Kiai Hasyim Latif menyebutkan dalam buku NU Penegak Panji Ahlussunah walJamaah, bahwa atas usul Kiai Hasyim Asy’ari pada pertemuan Komite Hijaz pada 16 Rajab 1344 atau 31 Januari 1926 agar Komite Hijaz tidak serta merta dibubarkan. Kiai Hasyim Asy’ari menyarankan agar Komite Hijaz tidak dibubarkan begitu saja, tetapi diteruskan dalam bentuk jamiyah yang mengurusi umat Islam. Demikianlah cikal bakal NU.

Baca juga:  Memahami Istilah Kafir dengan Sederhana

Moderasi, NU dan Keaswajaan Organisasi Lain

NU adalah organisasi pertama di Indonesia yang tegas menyatakan menjuangkan Ahlussunah wal Jama’ah (Aswaja).

Namun bukan berarti bahwa NU itu satu-satunya organisasi yang menganut Aswaja. Dan juga bukan berarti bahwa orang-orang NU memonopoli Aswaja.

Sementara kita tahu dalam perjalanan sejarah yang dibuktikan bahwa Aswaja itu adalah aliran dalam Islam yang berjuang dalam naungan para ulama untuk memperkenalkan dan mengamalkan Islam secara moderat.

Moderat dalam berpolitik bermakna bahwa Aswaja tak terlampau larut dalam politik, dan juga tak anti politik. Tentu makna moderasi dalam hal ini harus dengan pembacaan situasi.

Moderat dalam pemahaman keagamaan meniscayakan Aswaja untuk memahami agama sesuai dengan pemahaman mayoritas ulama dalam bidangnya masing-masing. Karena itulah Aswaja teguh menghormati dan mengamalkan pemikiran para imam mazhab empat ketika kenyataan membuktikan bahwa empat imam inilah yang punya banyak pengikut dan jalur keilmuannya berturut-turut.

Moderat dalam memahami tradisi meniscayakan Aswaja untk mengarifi tradisi masyarakat yang bersesuaian dengan kaedah dasar dalam agama. Sehingga Aswaja tidak mudah menyalah-nyalahkan. Aswaja menimbang-nimbang dengan kaedahnya.

Kepada sesama kaum muslimin yang menyalahkanpun Aswaja dengan senang hati akan melakukan dialog. Dari dialog itu akan diketahui apakah ada kesalahpahaman dari pihak yang menyalahkan, ataukah memang posisi yang berbeda, dan dalam hal ini, yakni permasalahan yang furuiyah baik dalam ranah fikih dan furuiyah aqidah, maka perbedaan pendapat itu justru menjadi rahmat.

Baca juga:  Kiai Sahal, Mendayung di antara Liberalisme dan Fundamentalisme (1)

Karena rahmat, maka tak perlu menafikan eksistensi pihak lain. Cukup memedomani saja pilihan masing-masing dengan cara terhormat.

NU sebagai organisasi besar di Indonesia, bahkan organisasi Islam terbesar di dunia, tentu senantiasa bersikap proposional (moderat; wasathan). Ia akan bertindak sebagaimana wasith, yang menengahi perbedaan-perbedaan.

Jika ditarik ke dalam kajian Imam Al-Ghazali, maka jiwa moderat (al-‘adalah) itu adalah cerminan keberhasilan memadukan tiga daya manusia. Daya akal yang dimoderasi akan membuahkan akhlak yang penuh hikmah (bijaksana). Daya ghadhab (emosi) yang dimoderasi akan melahirkan akhlak syajaah (keberanian), dan daya syahwat akan melahirkan akhlak ‘iffah (penjagaan diri).

Dengan moderasi jiwa inilah NU dan warganya akan selalu gembira, bahagia, dan mengayomi seluruh umat Islam bahkan seluruh umat manusia.

Tantangan Warga NU Saat Ini Hindari Membalas Ujaran Kebencian

Dengan kemudahan mengakses informasi dan komunikasi di media sosial, beragam hal dengan mudah tersebar. Tidak semata hal yang mengandung nilai positif, juga caci maki dan hujatan, hingga ujaran kebencian turut mengiringi. Terhadap sejumlah hal tersebut, warga Nahdlatul Ulama diuji untuk tidak larut dalam pusaran arus negatif, malah hendaknya mengisi dengan nilai-nilai kebaikan.

Justru dengan sejumlah kemudahan mengakses informasi serta interaksi di media sosial, maka, ini adalah tantangan dalam menghadapi pihak lain yang gemar mencaci.

Kalangan yang mencaci tidak perlu dibalas dengan cacian, karena cacian itu bisa keluar dari subtansi persoalan.

Dengan membalas serampangan kepada kelompok yang kerap menyudutkan Nahdlatul Ulama, maka hal tersebut dikhawatirkan keluar dari semangat moderasi jam’iyah.

Baca juga:  "Qutbiisme" dan Kepongahan Saintifik: Mengapa al-Ghazali Masih Relevan Sekarang

Sehingga, cacian itu tidak perlu dibalas dengan cacian. Membalas cacian adalah sudah keluar dari berpikir moderat. Yang dilakukan adalah dengan melakukan pertemuan, dan musyawarah untuk klarifikasi. Boleh jadi, yang tak suka NU, adalah karena kurang memahami NU. Ini adalah tantangan agar kita mengenalkan NU dengan tenang dan meyakinkan.

Sehingga, seandainya ada kabar bohong atau hoaks, maka jangan membalas dengan kabar serupa. Yang dilakukan adalah menyampaikan berita yang sebenarnya, dan menghentikan kabar bohong tersebut.

Bertindak moderat itu membawa kepada kebahagiaan, karena moderat itu sebenarnya paduan moderasi tiga potensi manusia, sebagaimana diungkapkan Imam Ghazali dalam kitab Mizanul Amal.

Potensi akal yang dimoderasikan akan melahirkan hikmah kebijaksanaan. Potensi ghadhab atau emosi yang dimoderasikan akan melahirkan syaja’ah yakni keberanian, dan potensi syahwat yang dimoderasikan akan melahirkan ‘iffah yaitu penjagaan diri. Kumpulan ketiganya adalah cara berpikir dan bertindak moderat.

Bahwa bersikap moderat di zaman sekarang adalah sebagai pilihan, meskipun berat. NU itu organisasi moderat, dan moderat adalah wasathan. Disebut wasith karena berfungsi menengahi dan itu tugas berat.

Di antara khashaish (ciri-ciri) Fikrah Nadliyyah (Metode Berpikir ke-NU-an)

1. Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang), dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun akidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.(Keputusan Munas Ulama pd 2006, dikutip dr buku Khazanah Aswaja).

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
20
Ingin Tahu
13
Senang
9
Terhibur
6
Terinspirasi
7
Terkejut
4
Lihat Komentar (1)

Komentari

Scroll To Top