Kiai Muhammad Zaidan Hadi adalah di antara sosok kiai Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar Jombang Jawa Timur yang produktif menulis kitab, di samping Kiai Abdul Aziz Masyhuri dan Kiai Ahmad Wazir Ali.
Di antara kitab berbahasa Arab, yang ditulis beliau adalah:
1. Nurul Lum’ah; fi Khashaishil Jumu’ah
2. Zubdatul Muna; fi Ma Yata’allaqu bi Asmail Husna min Syarhi Ma’aniha wa takhalluqu biha wakhawashiha
3. Lum’atus Shalah fi Ma Yata’allaqu bis Shalah.
4. Misykatun Nur fi Tafsiri Ayatil Ahkam min Suratin Nur
5. An Nataaij fi Qadhail Hawaaij (belum dicetak, masih tulisan tangan)
Kiai kelahiran Nganjuk pada 04 April 1954 ini menjadi menantu Kiai Shohib Bisri, dan mendirikan Asrama az-Ziyadah dalam lingkup Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif. Kiai Shohib adalah putra bungsu dari pendiri Pesantren Denanyar, Mbah Kiai Bisri Syansuri.
Kiai yang hobi memakai sandal klompen ketika menuju Madrasah dan Masjid ini adalah santri alumni Pesantren Lirboyo, yang didirikan Mbah Kiai Manab. Di Lirboyo beliau dibimbing para kiai, terutama ahli ilmu hadis dan nahwu sharaf, Kiai Mahrus Aly, (Rais Syuriyah PWNU Jawa Timur, pada 1958 hingga 1985).
Dalam sebuah lembar catatan yang ditemukan salah satu santri beliau, yaitu Ustaz Imam Bukhori Ahmad, dinyatakan bahwa Kiai Zaidan Hadi pernah menjadi badal dari Kiai Mahrus Aly, ketika Kiai Mahrus Aly berhalangan mengajar.
Di masa menimba ilmu di Lirboyo, beliau tak hanya dikenal sebagai mustahiq, konon malah dijuluki sebagai salah satu Macan Lirboyo, karena kealimannya dalam bidang fikih. Beliau memang sering menjadi delegasi Pesantren Lirboyo dalam Bahtsul Masail Regional di Jawa Timur, dan Jawa Tengah.
Di masa hidup Kepala Madrasah Diniyyah Mamba’ul Ma’arif pada 1985 hingga 2005 ini, adik istri beliau, yaitu Kiai Abdul Mujib Shohib memberikan kesaksian atas kealiman Kiai Zaidan, dengan dawuhnya, “Paling ngalim-ngalime Kiai sak Denanyar iku Kiai Zaidan.”
Bersama Kiai Mujib, Kiai Zaidan mendirikan Forum Bahtsul Masail Pondok Pesantren (FBMPP) di Jombang, sebagai wadah aktualisasi dialektika fikih para santri, ustaz, dan para kiai muda.
Di samping dikenal sebagai ahli fikih, beliau juga seorang yang sangat berhati-hati dalam memegang kaidah agama. Salah seorang santri bercerita bahwa ketika ia azan salat Asar, ditegur Kiai Zaidan, karena belum waktunya Asar, walaupun ada masjid sekitar pesantren sudah mengumandangkan azan Asar. Kiai Zaidan memberikan patokan yang jelas dan melarang santri asal sekedar ikut-ikutan. Azan yang sedang berlangsung itupun dihentikan. Selang beberapa menit, ketika waktu Asar sudah masuk, barulah kemudian santri dititahkan berazan.
Di Pesantren Denanyar di antara yang diajarkan Kiai Zaidan adalah Tafsir al-Jalalayn, Ihya Ulumiddin, ‘Uqudul Juman, al-Mughnil Labib, Ibnu ‘Aqil Syarh Alfiyah ibn Malik, al-Hikam Ibn Athaillah, al-Asybah wan Nadzair, Fathul Muin, dan Irsyaduz Zawjayn.
Penulis merasa beruntung menjadi salah seorang santri yang mengaji beberapa kitab kepada beliau. Sosok kiai yang di samping hati-hati sekali dalam memaknai kitab, juga sosok yang tahan lama dalam menyelenggarakan pengajian kitab.
Dalam suatu kesempatan pengajian pasanan Ramadan, beliau menyediakan waktu mengaji kitab ‘Uqudul Juman dari bakda Tarawih hingga waktu Sahur, antara pukul 20.00 hingga pukul 15.00. Dan kerap kali di tengah-tengah waktu tersebut, ketika para santri ada sebagian yang sudah mengantuk, bahkan ada yang tertidur, beliau masuk ke ndalem kemudian keluar membawa ketela rebus dan semacamnya, kemudian dihidangkan kepada para santri. Para santri tentu merasa malu, ngantuk dan ketiduran malah oleh sang kiai disuguhi aneka hidangan.
Kiai yang dikenal alim, disiplin, sederhana, ramah dan dekat dengan para santri ini wafat pada 08 Mei 2010, dengan meninggalkan seorang istri Bu Nyai Zainab Shohib Bisri, dan tiga orang anak dari empat bersaudara. Anak terakhirnya Zubdatul
Muna telah wafat mendahului beliau dalam usia dua tahun. Putra-putri penerus beliau adalah Muhammad Zainul Hasan Syansuri, Muhammad Zidni Nuro, dan Zufa Al-Husna.