Peringatan Maulid Nabi pada setiap Rabi’ul Awwal diselenggarakan oleh banyak kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Dalam acara tersebut biasanya dibacakan sejarah atau biografi kehidupan Nabi Muhammad mulai dari kelahiran hingga wafatnya.
Dalam konteks pengalaman bertradisi Indonesia acara ini dilestarikan oleh mayoritas muslim Indonesia pada bulan tertentu yang berkesesuaian dengan Rabi’ul Awwal, apalagi setelah diberlakukannya tanggal 12 Rabi’ul Awwal sebagai hari libur nasional yang sejajar dengan hari besar lainnya, seperti yang tercatat di dalam kalender pemerintah Indonesia.
Peringatan maulid oleh masyarakat Islam dikemas dalam bentuk pengajian dan kajian Islam di mushola dan masjid. Pun dirayakan berbagai instansi, baik pemerintahan maupun swasta, dengan aneka ragam acara, mulai dari pagelaran budaya masing-masing daerah yang bernuansa Islami sampai pada pengajian yang berisi mau’idlah hasanah (nasehat yang baik) tentang sejarah tauladan Nabi Muhammad sebagai acara inti.
Sebenarnya peringatan maulid atau kelahiran nabi termasuk tadisi baru, yang belum pernah terjadi pada masa beliau masih hidup, juga setelahnya. Bid’ah hasanah ini sebagaimana dinyatakan pakar Islam asal Libanon Syaikh Abdullah al-Harary terjadi pada awal tahun enam ratus hijriah oleh Penguasa Ibril dari Irak, Raja al-Mudhaffar Abu Sa’id Al Kukburiy bin Zainuddin Ali Bin Buktikin (w. 630 H/1232 M) yang terkenal alim, ahli taqwa, pemberani dan bermadzhab Ahlissunnah wal Jama’ah. Untuk peringatan ini raja mengumpulkan banyak ulama dari kalangan ahli hadits, para shufi dan sebagainya. Prakarsa ini kemudian dinyatakan terpuji oleh para ulama dari penjuru timur hingga barat, misalnya oleh Ibn Hajar Al-Asqalany ( 793-852 H/1391-1448 M ), Al-Hafidz as-Sakhawy (w. 902 H), dan Al-Hafidz as-Suyuthy (Al-Harary, Sharihul Bayan, Juz I, h. 286 )
Al Hafidz as-Sakhawy, murid Ibn Hajar Al-Asqalany menuturkan bahwa peringatan maulid nabi ini belum pernah terjadi pada masa ulama salaf pada abad ke tiga hijri, hal ini terjadi setelah abad itu, dimana masyarakat muslim dari segala penjuru senantiasa memperingatinya, dan pada malam harinya mereka berderma dengan aneka shadaqah dan membaca sejarah kelahiran nabi (Al-Ajwibah al Mardhiyyah, Juz III, h. 1116- 1120).
Secara substansial nilai-nilai yang terkandung di dalam peringatan maulid itu sudah dilaksanakan oleh Rasulullah, sebagaimana yang ditunjukkan langsung oleh beliau dalam haditsnya sebagai berikut:
عَنْ اَبِى قَتَادَةَ الاَنْصَارِى رَضِي الله عنه اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلّى الله عليه وسلّم سُئِلَ عَنْ صَوْمِ الاِثْنَيْنِ فَقَالَ فِيْهِ وُلِدْتُ وَفِيْهِ اُنْزِلَ عَلَيَّ. رواه مسلم
Dari Abi Qotadah al-Anshary, sesungguhnya Rasulullah Shallallah ‘alaih wasallam ditanya tentang puasa senin (yang sudah menjadi kebiasaan beliau), lalu beliau menjawab bahwa pada hari itu aku dilahirkan dan (pada hari itu pula) wahyu diturunkan (Allah Ta’ala) kepadaku. H.R. Muslim [1977]
Hukum Dan Landasan
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya dapat dilihat dari adanya hal-hal sebagai berikut:
a). Jika dilihat dari tindakan perayaannya, maka statusnya dapat dikategorikan sebagai hal baru (bid’ah).
b). Jika dilihat dari kandungan di dalam perayaannya yang bernilai hasanah (positif), maka para ahli bersepakat untuk mengatakan bahwa perayaan peringatan Maulid Nabi Muhammad adalah termasuk Bid’ah Hasanah, yang hukumnya adalah Mubah (boleh), bahkan bisa berubah menjadi sunnah (dianjurkan). Hal ini disebabkan karena adanya beberapa faktor:
1). Dapat meneguhkan hati umat Islam setelah mendengar penyampaian biografi Nabi dalam acara peringatan maulid, sebab beliau adalah rahmat a’dlam (rahmat paling agung) bagi umat manusia, sebagaimana anjuran al-Qur’an untuk selalu merayakan hari lahirnya rahmat, yaitu:
قلْ بِفَضْلِ اللهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَلِكَ فَلْيَفْرَحُوْا
Katakanlah, dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. (Yunus:58)
وَكُلاًّ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ اَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ فُؤَادَكَ
Dan semua kisah-kisah para rasul Kami ceritakan kepadamu yakni kisah-kisah yang dengannya kami teguhkan hatimu. ( QS. Hud: 120)
2). Memperbanyak bacaan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad itu, sesuai dengan Firman Allah Ta’ala sebagai berikut:
اِنَّ اللهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يَآاَيُّهَا الَّذِيْنَ آَمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi., Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya. ( QS.Al-Ahzab: 56)
Imam al-Suyuthy (849-910 H/ 1445-1505 M) dalam Husnul Maqshad fi Amalil Maulid menanggapi hukum perayaan maulid nabi sebagai berikut:
قَالَ اَلْجَوَابُ عِنْدِى أنَّ أصْلَ عَمَلِ الْمَوْلدِ الَّذِى هُوَ اِجْتِمَاعُ النَّاسِ وَقِرَاءَةُ مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ. وَرِواَيَةُ الأخْبَارِ الوَارِدَة فِى مَبْدَءِ أمْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا وَقَعَ فِى مَوْلِدِهِ مِنَ الآيَاتِ ثُمَّ يَمُدُّ لَهُمْ سِمَاطٌ يَأكُلُوْنَهُ وَيَنْصَرِفُوْنَ مِنْ غَيْرِ زِيَادَةٍ عَلَى ذَلِكَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِى يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ.
Jawabnya menurut saya: “Bahwa asal perayaan Maulid Nabi Muhammad, yaitu manusia berkumpul, membaca al-Qur’an dan kisah-kisah teladan kemudian menghidangkan makanan yang dinikmati bersama, setelah itu mereka pulang. Hanya itu yang dilakukan, tidak lebih. Semua itu termasuk bid’ah hasanah. Orang yang melakukannya diberi pahala karena mengagungkan derajat Nabi, menampakkan suka cita dan kegembiraan atas kelahiran Nabi Muhammad yang mulia. (Al-Hawy Lil Fatawa, Juz I, h. 189-197).
c). Jika dilihat dari sisi nilai positif yang terkandung di dalamnya seperti itu, maka para ahli berkomentar seperti dalam kitab sebagai berikut:
1). Kitab Iqtidlaus Shirath al-Mustaqim, yaitu:
فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ اَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى الله عليه وسلَّم كَمَا قَدَّمْتُهُ لَكَ
Mengagungkan Maulid dan menjadikannya sebagai hari raya setiap musim, dilakukan oleh sebagian orang dan ia akan mendapatkan suatu pahala yang sangat besar dengan melakukannya, karena niatnya yang baik dan karena mengagungkan Rasulullah, sebagaimana yang telah aku sampaikan .
2).Ibn Taimiyah sebagaimana dikutip Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki , yaitu:
يَقُوْلُ اِبْنُ تَيْمِيَّة قَدْ يُثَابُ بَعْضُ النَّاسِ عَلَي فِعْلِ الْمَوْلِدِ وَكَذَلِكَ مَا يُحْدِثُهُ بَعْض النَّاسِ إمَّا مُضَاهَاة لِلنَّصَارَى فِى مِيْلاَدِ عِيْسَى عليه السلام وَإمَّا مَحَبَّةٌ لِلنَّبي صلي الله عليه وسلم وَتَعْظِيْمًالَهُ وَالله قَدْ يُثِيْبُهُمْ عَلَى هَذِهِ الْمَحَبَّةِ وَالاجْتِهَادِ لاَ عَلَى الْبِدَعِ.
Ibn Taimiyyah berkata, “orang-orang yang melaksanakan perayaan Maulid Nabi akan diberi pahala. Demikian pula apa yang dilakukan oleh sebagian orang. Adakalanya bertujuan meniru di kalangan Nasrani yang memperingati kelahiran Isa AS, dan adakalanya juga dilakukan sebagai ekspresi rasa cinta dan penghormatan kepada Nabi Muhammad. Allah Ta’ala akan memberi pahala kepada mereka atas kecintaan mereka kepada Nabi mereka, bukan atas bid’ah yang mereka lakukan.”(Manhajus Salaf fi Fahmin Nushush Bainan Nadzariyyat wat Tathbiq, h. 399)
3). Kitab I’anatut Tholibin , yaitu
وَ مِنْ أحْسَنِ مَا اِبْتَدَعَ فِى زَمَانِنَا مَا يَفْعَلُ كُلَّ عَامٍ فِى الْيَوْمِ الْمُوَافِقِ لِيَوْمِ مَوْلِدِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنَ الصَّدَقَاتِ وَالْمَعْرُوْفِ وَإظْهَارِ الزِّيْنَةِ وَالسُّرُوْرِ
Dan di antara bid’ah yang baik di zaman kita adalah perbuatan yang dilakukan setiap tahun pada hari yang bertepatan dengan hari kelahiran Nabi seperti shadaqoh, berbuat baik, menampakkan pakaian yang bagus, dan bergembira.
4).Kitab Mafahim Yajibu An Tushahhah…, yaitu:
وَالْحَاصِلُ أنَّ الاِجْتِمَاعَ لأجْلِ الْمَوْلدِ النَّبَوِيِّ أمْرٌ عَادِيٌّ وَلَكِنَّهُ مِنَ الْعَادَاتِ الْخَيْرَةِ الصَّالِحَاتِ الَّتِى تَشْتَمِلُ عَلَى مَنَافِع كَثِيْرَةٍ وَفَوَائِد تَعُوْدُ عَلَى النَّاسِ بِفَضْلٍ وَفِيْرٍ لأنَّهَا مَطْلُوْبَةٌ شَرْعًا بِأفْرَادِهَا
Pada pokoknya, berkumpul untuk mengadakan Maulid Nabi merupakan sesuatu yang telah mentradisi. Namun hal itu termasuk kebiasaan yang baik yang mengandung banyak kegunaan dan manfaat yang akhirnya kembali kepada umat itu sendiri dengan beberapa keutamaan di dalamnya. Sebab kebiasaan seperti itu memang dianjurkan oleh syara’ secara parsial (bagian bagiannya).
Sejumlah argumentasi rasional dan landasan keagamaan yang diambil dari berbagai pendapat ulama otoritatif telah cukup untuk menegaskan bahwa peringatan maulid nabi adalah benar-benar telah sesuai dengan semangat dan tuntunan agama.
Lebih dari itu penting pula untuk digarisbawahi bahwa hendaknya peringatan ini tidak diselenggarakan dengan cara yang berlebihan dan bagaimanapun juga aplikasi keteladanan dari nabi yang menurut Michael Hart menduduki peringat satu dari seratus tokoh berpengaruh di dunia ini benar-benar harus ditekankan.
Referensi
Prof. Dr. Sayyid Muhammad bin Alwi al-Maliki. Mafahim Yajibu ‘an Tushahhah. Makkah: Dar al-Auqaf al-Islamiyyah, t.t.
Syaikh Abdullah al Harary. Sharihul Bayan. Beirut: Darul Masyari’, 2002.
Syaikh Muhammad Ali as-Shabuny, Rawa’iyul Bayan fi Tafsir Ayat al-Ahkam. Damaskus: Maktabah al-Ghazali, 1971.
Syaikh Yusuf Ibn Isma’il an-Nabhany. Sa’adatud Daraini. Beirut: Darul Fikr, 2007.
KH. Muhyiddin Abdusshomad. Fiqh Tradisional. Surabaya: Khalista, 2008.
Dr. Makshum Zein, Landasan Amaliyah NU. LTN-NU Jombang.
Disusun oleh Yusuf Suharto, dan pernah dimuat di Pesantren Virtual dengan beberapa penyesuaian.