Menurut Encyclopaedia Britannica, konservatisme adalah doktrin politik yang menekankan nilai-nilai kelembagaan dan praktik tradisional. Karenanya, kaum konservatif menyukai institusi dan praktik yang telah berevolusi secara bertahap dan merupakan manifestasi dari kesinambungan dan stabilitas. Tanggung jawab pemerintah adalah menjadi pelayan, bukan penguasa, dari cara hidup yang ada, dan karena itu politisi harus menahan godaan untuk mengubah masyarakat dan politik.
Kecurigaan terhadap aktivisme pemerintah ini membedakan konservatisme tidak hanya dari bentuk-bentuk pemikiran politik yang radikal, tetapi juga dari liberalisme yang merupakan gerakan modernisasi dan anti-tradisional yang didedikasikan untuk memperbaiki bentuk-bentuk kejahatan dan penyalahgunaan yang diakibatkan oleh penyalahgunaan kekuasaan sosial dan politik.
Sementara itu konservatisme keagamaan sering dikaitkan dengan kecenderungan di antara kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang ditandai dengan pemahaman literal (literalisme) yang sangat ketat karena diterapkan pada teks-teks suci, dogma, atau ideologi tertentu, dan perasaan yang kuat tentang pentingnya mempertahankan perbedaan antara kelompok-kelompok keagamaan tertentu dengan kelompok-kelompok keagamaan lainnya yang mengarah pada kemurnian dan keinginan untuk kembali ke cita-cita ideal sebelumnya yang telah disebutkan di teks-teks suci tersebut.
Penolakan akan keragaman pendapat sebagaimana diterapkan pada dogma-dogma dan ideologi-ideologi yang telah mapan tersebut dan juga interpretasi mereka yang dianggap sebagai pedoman dasar keagamaan sering kali terjadi dari kecenderungan konservatif seperti ini (Altemeyer & Hunsberger 1992; Kunst, Thomsen & Sam 2014; Hunsberger 1995).
Dalam beberapa kasus, nilai-nilai konservatif sangat didasarkan pada kepercayaan agama, dan upaya-upaya tersebut secara umum ditekankan pada peningkatan peran agama dalam kehidupan publik, bukan hanya dalam ranah privat (Petersen 2005).
Kasus Indonesia
Pada umumnya, tiap negara mengelola agama dengan beragam cara yang mengendalikan bagaimana suatu agama harus dijalankan, disebarluaskan, dan dibatasi. Negara membatasi wilayah dan batas agama melalui peraturan, tergantung pada bagaimana sekularisme didefinisikan dan ditafsirkan dalam konteks historis negara. Sekularisme, sebagaimana diklaim secara luas, terkait dengan pemisahan agama dan negara. Ia menunjukkan gagasan bahwa negara tidak boleh terlibat dalam urusan agama apa pun dan menjaga kesetaraan terhadap semua agama (Seo 2012).
Indonesia memiliki hubungan yang sangat kompleks dengan sekularisme. Na’im (2008) dan Hashemi (2009) membandingkan kasus Indonesia dengan Turki yang sering kali menjadi pusat perhatian tentang hubungan antara Islam dan sekularisme. Intinya, negara Islam bukanlah pilihan favorit kedua negara dengan mayoritas muslim tersebut.
Namun, menyatakan bahwa Indonesia adalah negara sekuler, dengan rujukan negara-negara Barat, juga tidaklah tepat karena sekularisme di Indonesia bukanlah faham anti-keagamaan (anti-religious) atau tidak religius (irreligious).
Selain itu, walaupun mayoritas warga Indonesia beragama Islam, Indonesia juga bukan negara Islam (berdasarkan agama tertentu yang menjadi agama mayoritas) karena Islam tidak dilembagakan sebagai dasar negara dalam konstitusi atau sebagai agama negara tunggal. Indonesia juga jelas bukan negara sekuler karena agama dan negara terjalin erat dalam beragam bentuk hukum, kebijakan, dan peraturan.
Di Indonesia, selain negara menekankan kesetaraan keagamaan terhadap semua agama, sekularisme juga sangat membatasi kebebasan beragama untuk mempertahankan Indonesia sebagai negara yang bukan negara agama (Islam) maupun negara sekuler. Kebebasan dalam hal agama dan kewargaan bukanlah hak mutlak di Indonesia sebagaimana terbukti dalam beragam bentuk hukum, kebijakan, dan peraturan.
Sebagai dasar negara, Pancasila sering kali dipandang sebagai dasar dari sekularisme di Indonesia yang membuat praktik-praktik keagamaan lebih sebagai urusan administrasi negara, terutama dalam hal agama yang diakui oleh negara, pernikahan, pendirian rumah ibadah, dan lain-lain yang justru bertentangan dengan ide dasar pembentukan Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia yang mengandung unsur-unsur keragaman dalam beragama.
Permasalahan sering kali muncul ketika ada usaha-usaha dari kelompok-kelompok mayoritas keagamaan secara nasional maupun per daerah tertentu untuk menginterpretasikan doktrin-doktrin keagamaan secara sempit, sehingga mereka memandang kelompok-kelompok minoritas sebagai kelompok yang bertentangan dengan kepentingan keagamaan mereka. Akibatnya, konflik-konflik keagamaan, atau setidaknya konflik sosial-ekonomi yang dipicu oleh masalah keagamaan, pun muncul, mulai dari insiden-insiden antara mayoritas Hindu dan minoritas muslim di Bali (misalnya perselisihan dalam perayaan Nyepi tahun 2017 yang melibatkan perselisihan individual), antara mayoritas Kristen dan minoritas muslim di Papua (misalnya insiden Tolikara tahun 2015), antara beragam faksi dalam Islam (misalnya insiden yang melibatkan jamaah Ahmadiyah dan Syiah), hingga konflik-konflik keagaaman yang sangat besar antara muslim dan Kristen di Maluku dan Poso di awal masa Reformasi.
Selain permasalahan sosial-ekonomi yang sering kali dituding sebagai penyebab perselisihan dan konflik-konflik tersebut, kita tentu saja tidak bisa mengabaikan bahwa ada penyebab lain yang juga sangat fundamental, yaitu faktor keagamaan. Dalam banyak kasus, konservatisme keagamaan yang pada akhirnya melahirkan pemahaman dan praktik keagamaan yang sempit sering kali menjadi penyebab dasar, pemicu, atau bahkan penyebab utama perselisihan-perselisihan dan konflik-konflik atas nama atau bernuansa agama.
Ketika konservatisme keagamaan muncul, berkembang, dan sering kali memunculkan masalah antar-umat beragama di Indonesia, kondisi ini sering kali diperburuk dengan adanya posisi negara yang ambigu yang sering kali, misalnya, menempatkan Pancasila sebagai satu-satunya cara bagi negara dalam memandang agama atau bahkan sebagai sebuah ‘agama’ itu sendiri.
Dengan kata lain, yang sering terjadi adalah bahwa negara membuat ideologi Pancasila memandang agama dan sekularisme secara sempit, yaitu bagaimana dan mengapa negara harus mengelola agama dan hubungan antara mayoritas agama dan minoritas secara administratif saja, bukan kembali pada prinsip-prinsip dasar Pancasila yang mengakui keragaman dalam masalah keagamaan.
Menguatnya konservatisme keagamaan dan kembalinya birokrasi otoritarian?
Konservatisme keagamaan tidak hanya marak terjadi di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat yang ditandai oleh kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 2016 dan juga adanya Brexit, atau keluarnya Britania Raya dari Uni Eropa pada tahun 2016. Keduanya mengindikasikan fenomena lain yang semakin berkembang di seluruh dunia, yaitu bahwa dunia menjadi semakin religius. Hal tersebut sebenarnya sudah diprediksi jauh sebelumnya oleh Peter Berger yang mengatakan bahwa dunia, dengan pengecualian Eropa Barat dan Eropa Utara “semakin lama semakin religius” (Berger 1992, 32).
Keadaan ini bertentangan dengan pernyataan para ahli teori sekularisasi yang memperkirakan adanya penurunan signifikansi agama sebagai penentu tindakan sosial yang berpengaruh ketika orang mengalami modernisasi dan rasionalisasi. Modernisasi juga telah memicu segudang counter-trend yang dibuktikan dengan adanya gerakan-gerakan kebangkitan agama di seluruh dunia (Kitiarsa 2008, 3; Pohl 2006, 393).
Namun, religiusitas sering dibangun di atas ketidakpuasan. Transformasi sosial yang cepat yang ditandai oleh industrialisasi, urbanisasi, dan modernisasi dapat menghasilkan kekecewaan di antara segmen masyarakat tertentu, seperti kaum muda, kelompok borjuis kecil, dan anggota kelas menengah lainnya yang mengalami frustrasi dalam mobilitas sosial dengan cara melawan cara hidup modern (Ismail 2006, 11-13).
Bagaimana dengan Indonesia sendiri? Dalam konteks Indonesia, sebagian besar perdebatan tentang kompabilitas Islam dan modernitas, misalnya, menolak gagasan modernis sekuler bahwa untuk mencapai modernitas diperlukan privatisasi agama dan penghapusan wacana keagamaan dari ruang publik.
Menurut Sulfikar Amir, kaum modernis muslim menyerukan kombinasi iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan imtaq (iman dan taqwa) untuk membangun bangsa yang ditopang oleh keyakinan Islam yang kuat (Amir 2009). Di negara mayoritas muslim seperti Indonesia, Islam adalah bagian integral dari ideologi dasar, dan elemen ideologis Islam ditarik oleh partai politik dan organisasi dalam masyarakat sipil (Yew-Foong 2013, 5).
Dari sini, setidaknya, kita dapat melihat bahwa hubungan antara sekularisme dan konservatisme keagamaan di Indonesia sering kali tidak selaras. Pancasila sebagai dasar negara yang berisi falsafah keagamaan dalam sila pertama sering kali hanya dilihat, baik oleh negara maupun oleh kelompok-kelompok tertentu, sebagai cara negara mengatur kehidupan keagamaan secara administratif, bukan dipandang sebagai prinsip-prinsip dasar keragaman dan kesetaraan.
Selain itu, kekuatan konservatisme keagamaan juga ternyata menjadi indikator kembalinya atau menguatnya birokrasi otoritarian pra-Reformasi. Misalnya, menurut Freedom House, sejak tahun 2014, untuk pertama kalinya setelah 2006, nilai hak-hak politik Indonesia dan sekaligus statusnya menurun dari ‘Bebas’ menjadi ‘Setengah Bebas’ karena adanya adopsi undang-undang yang membatasi kegiatan organisasi non-pemerintah, peningkatan pengawasan birokratis terhadap kelompok-kelompok semacam itu, dan mengharuskan mereka untuk mendukung ideologi nasional Pancasila (Pribadi 2018, 17).
Apakah ini berarti bahwa runtuhnya sekularisme di seluruh dunia menandai terjadinya penguatan konservatisme keagamaan dan kembalinya birokrasi otoritarian ala Orde Baru dan Orde Lama di Indonesia? Kita memerlukan kajian yang serius untuk membuktikannya.