Sedang Membaca
Tradisi Asik Komunitas Hijrah dengan Bahasa Milenial
Yoga Irama
Penulis Kolom

Pengajar di Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UINSA Surabaya.

Tradisi Asik Komunitas Hijrah dengan Bahasa Milenial

Tren "Berhijrah" Generasi Milenial

Bahasa adalah media atau sarana komunikasi yang digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap lawan bicara. Fungsinya tentu, agar percakapan dapat berjalan dengan lancar. Sedangkan milenial adalah istilah untuk menunjuk kepada generasi yang lahir pada tahun 1981-2000 an.

Seperti halnya sebuah adagium yang mengatakan “Setiap tempat ada bahasanya, dan setiap bahasa ada tempatnya”. Generasi milenial pun punya gaya berbahasa tersendiri yang khas bernama bahasa milenial.

Bahasa milenial merupakan bahasa keseharian yang sering kita temui atau bahkan kita gunakan sehari-hari. Jauh dari kesan formal serta kaku, cenderung santai. Bahkan, ada beberapa kata yang terdengar agak sedikit nyeleneh. Bahasa milenial juga dianggap sebagai bahasa yang keren, di mana anak muda jaman sekarang kerap sekali menggunakan bahasa kekinian ini. Salah satu dari sekian banyak anak muda tersebut adalah Komunitas Sahabat Hijrah Nasr.

Seperti namanya, Komunitas Sahabat Hijrah Nasr adalah komunitas yang beranggotakan anak-anak muda yang fokus terhadap seruan hijrah. Baik memberikan pemahaman tentang hijrah, maupun menjadi wadah bagi orang-orang yang ingin dan sudah berhijrah.

Mereka sering mengadakan kajian-kajian keislaman dengan materi yang beragam, mulai dari tafsir tematik, hadist, fiqih, pra-nikah dan materi-materi yang lain. Adapun materi yang menjadi favorit adalah fiqih. Materi ini dinilai sangat menarik karena menurut mereka banyak orang-orang yang masih harus belajar fiqih dengan lebih jelas lagi.

Nama “Nasr” sendiri diambil dari surat An-Nasr yang artinya “pertolongan”, harapannya agar seluruh anggota di dalamnya ditolong oleh Allah untuk senantiasa istiqomah di jalan-Nya.

Awal mula Komunitas Sahabat Hijrah Nasr berdiri atas rekomendasi dari ustaz Naruto (Marzuki Imron) untuk menggabungkan dua komunitas menjadi satu, antara komunitas Kautsar dan Nawa Jatim (Natawarda). Ide tersebut didasari karena kajian yang diikuti oleh kedua komunitas tersebut merupakan kajian yang sama. Sebelum Nasr terbentuk, mereka (para anggota Kautsar ataupun Nawa Jatim) sering berangkat bareng-bareng ataupun bersepakat untuk ketemu di tempat kajian. Setelah sering bertemu lantaran menghadiri kajian bersama itulah sehingga muncul ide untuk membuat pengajian sendiri dalam satu komunitas gabungan. Yang pada akhirnya berdirilah satu komunitas besar bernama Komunitas Sahabat Hijrah Nasr.

Baca juga:  Perempuan dan Narasi Perdamaian: JISRA Gelar Workshop Penulisan

Komunitas ini memiliki berbagai agenda rutinitas diantaranya; NGACA FISIK (Ngaji di Cafe Fiqih Asik), KAMU BAPERAN (Kajian Umum Bawa Perubahan), Mabit (Malam Bina Iman dan Taqwa), serta Goes to Campus yang bekerja sama dengan UKKI (Unit Kegiatan Kerohanian Islam).

Hijrah menurut mereka bukan sekedar perubahan pada sisi penampilan: dari busana terbuka ke tertutup, dari tidak berjilbab ke berjilbab, dan dari yang tidak berjenggot ke berjenggot. Jauh lebih dari itu, hijrah ialah perpindahan dari maksiat ke taat secara totalitas dan bertahap. Mereka juga mongkontekstualisasikan makna hijrah ke masa sekarang. Bagi mereka, makna hijrah yang pas dengan masa sekarang adalah berpindah dari masa lalu yang kelam menjadi pribadi yang lebih baik ke depannya.

Menurut Marzuki Imron (salah satu pemateri sekaligus pendiri komunitas) ketika ditanya terkait makna hijrah dalam sebuah wawancara menyatakan:

“Hijrah menurut bahasa arab berarti pindah. Baik secara status kondisi ataupun secara lokasi. Yang berawal dari amalan kurang baik menjadi baik, atau amalan yang sudah baik menjadi lebih baik. Hijrah yang baik itu hijrah yang totalitas dan bertahap. Totalitas saja tidak baik, bertahap saja juga tidak baik. Karena totalitas dalam hijrah itu setelah dia meninggal dunia. Hijrah itu harus bertahap tidak bisa  langsung, harus sedikit demi sedikit. Kalau tidak bertahap, hijrah itu akan berhenti di tengah jalan dan tidak sesuai harapan.”

Sedangkan menurut Aisyah (salah satu anggota komunitas) ketika ditanya mengenai makna hijrah ia menjawab:

“Hijrah merupakan sebuah pergantian ke yang sesudahnya, adanya perubahan baik di dalam diri seseorang. Berproses dari buruk menjadi baik, dari bimbang menjadi tenang, dan dari gelap menjadi terang.”

Singkatnya, hijrah merupakan sebuah opsi terbaik bagi mereka-mereka yang ingin meninggalkan perbuatan buruk ataupun yang sedang dalam posisi bimbang dalam hidup, tapi masih berkeinginan untuk menuju kepada hal kebaikan.

Baca juga:  Gubernur NTB: Kenapa Masjid Ini dinamakan Hubbul Wathan?

Aspek yang menarik dari komunitas ini salah satunya adalah pada setiap kajiannya selalu menggunakan selipan bahasa-bahasa milenial yang nyentrik, juga gaul. Baik nama-nama rutinitas kegiatannya, maupun cara penyampaian materi oleh sang ustaz. Berikut kutipan singkat salah satu materi kajian yang disampaikan oleh Marzuki Imron yang berhasil penulis rangkum:

“Azab itu tertimpa pada mereka yang memusuhi agamanya Allah, dan tidak punya kesempatan untuk bertaubat. Sedangkan musibah menimpa  pada orang-orang yang tidak memusuhi Islam dan masih diberi kesempatan untuk bertaubat. Azab atau ujian itu selalu biidnillah (diizinkan oleh Allah).

ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٞ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٰجِعُونَ

Artinya: orang-orang yang apabila tertimpa musibah mereka mengucapkan ‘innalillahi wa inna ilahi rojiun’. (Q.S al-Baqarah:156)

Contoh ada seorang bapak dan ibu melihat anaknya yang masih kecil main sepakbola sret-sret. Anak kecil ini musuhnya anak gede-gede, ibunya bilang ‘ayo ta yah larangen ojo main bola engko iku tibo’ ayahnya bilang ‘wes tala santuy wong anak e awak dewe ws biasa bonek bolak balik kuat’, setelah itu anak tersebut beneran jatuh dan terluka kakinya. Ibuknya bilang ‘yok opo iki’, ayahnya bilang ‘wes tala santuy’.”

Menurut keterangan dari Marzuki Imron, metode tersebut dilakukan tidak lain agar supaya lebih mudah memberikan pemahaman kepada jemaah. Sebagaimana sebuah hadis menyatakan: “Jangan pernah mengajarkan anakmu dengan caramu, tapi ajarkanlah dia dengan cara menghadapi masanya, sedangkan kamu (orang tua) menghadapi masamu.” Dalam pernyataannya saat diwawancarai penulis, Marzuki menambahi sebagai berikut:

Baca juga:  Ketika Kecil Mengikuti Ajaran Nahdlatul Ulama, Ketika Besar Ikut Muhammadiyah

“Melalui bahasa milenial, pesan-pesan dakwah menjadi mudah tersampaikan kepada pendengar. Sebagai contoh dalam kitab al-Hikam dikatakan ‘apa yang ada dalam lisanmu itu sebenarnya mencerminkan isi hatimu.’ Itu adalah bahasa yang berat untuk dipahami. Karena itu bahasanya al-Hikam. Tetapi kalau menggunakan bahasa milenial, akan jauh lebih sederhana yakni ‘kalau gelas yang isinya kopi ya keluarnya kopi, kalau gelas isinya susu, ya keluarnya susu.’ Yang keluar itu adalah isi dari apa yang ada dalam gelas itu tadi.”

Metode tersebut terbukti berhasil. Banyak audiens dari anggota komunitas tersebut mengeluh gampang dalam memperoleh pemahaman. Selain memudahkan bagi pendengar untuk paham, keuntungan juga diperoleh bagi pendakwah, yakni jadi sering update terhadap perbendaharaan bahasa, pun mendapat keleluasaan untuk menggunakan bahasa apapun dengan cara apapun untuk menyampaikan pesan agama (tapi tetap pada batasan adab serta norma-norma).

Menurut Rembulan (peserta kajian), “Pengaruh penggunaan bahasa milenial memang cukup besar, karena anak-anak muda saat ini pun mengatakan bahwa dirinya adalah milenial. Maka, ketika banyak akun dakwah atau komunitas yang mengatasnamakan sebagai komunitas dakwah milenial, itu akan semakin banyak menarik perhatian para muda-mudi yang ada saat ini.”

Intinya, penggunaan bahasa milenial oleh Komunitas Sahabat Hijrah An-Nasr tersebut telah berhasil untuk memotivasi peserta pengajian yang rata-rata berusia muda. Karena penggunaan bahasa milenial dapat menimbulkan keakraban antar peserta seusia, serta menjadi ajang ekspresif generasi zaman now agar semangat belajar mendalami agama.

Alangkah baiknya metode seperti itu juga ditiru oleh komunitas-komunitas lain atau bahkan penceramah-penceramah lain, yang masih tetap saja mempertahankan kekakuan gaya bahasa tatkala menyampaikan ajaran luhur suatu agama.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
1
Terhibur
0
Terinspirasi
1
Terkejut
0
Scroll To Top