Sedang Membaca
Mempertanyakan Kembali Makna Surga dan Neraka
Yulita Putri
Penulis Kolom

Sedang menemouh pendidikan S2 Program Studi Pendidikan Agama Islam UNU Surakarta 2022.

Mempertanyakan Kembali Makna Surga dan Neraka

panorama cahaya awan

Suatu malam, saya dan Khanza, adik saya yang berusia tujuh tahun tidur bersama. Dalam suasana gelap dan hening, ia bersuara: “Uti, aku takut nanti masuk neraka”. “Kenapa takut?” kata saya penasaran. Ia menjawab : “Katanya, kalau masuk neraka pasti enggak bisa liat Allah.”

Saya menduga ada rasa khawatir ketika menyebut kata “neraka”. Kontras dengan suaranya ketika menyebut kata “Allah”. Untuk menenangkannya, percakapan saya akhiri dengan mengatakan bahwa kita semua akan kembali kepada Allah dan tentu bisa bertemu Allah terutama jika berbuat baik. Neraka dan surga adalah milik Allah, bukan neraka atau surga yang memiliki Allah. Sejak malam itu, saya mulai berpikir soal gagasan neraka dan surga terutama dalam benak anak-anak.

Semasa kecil, kita mungkin pernah menjumpai komik neraka dan surga beredar di sekolah, pasar dan tempat mengaji. Komik neraka bersampul cerah menampilkan api yang berkobar-kobar, lidah yang dipotong, tubuh yang digergaji lalu dimakan ular. Ketika dibaca, halaman demi halaman menampilkan adegan yang lebih mengerikan.

Berkebalikan dengan neraka, komik berjudul Indahnya Taman Surga gubahan MB. Rahimsyah menampilkan gambar yang indah dipandang. Pepohonan dan bunga-bunga tumbuh subur, burung-burung berterbangan di atas air jernih, langit cerah berhias pelangi, dan bangunan kubah menyerupai masjid menjulang berkilauan.

Neraka dan surga, dalam ayat suci kerap digambarkan demikian. Kedua gagasan itu ikut membentuk perilaku anak-anak. Jika anak berbuat salah, kata “neraka” kerap diselipkan untuk menakut-nakutinya. Sementara kata “surga” dijadikan kata pemancing agar anak lekas melakukan kebaikan

Baca juga:  Ramadan Itu Kecantikan

Gagasan tersebut banyak berkembang. Neraka dan surga dihayati sebagai tempat pemberi ganjaran bukan sebuah perumpamaan yang ditunjukkan untuk mendorong manusia berbuat baik dan mendekatkan diri kepada Allah.

Orang dewasa senang memagari kesalahan dan kebenaran dengan kata neraka surga. Misalnya ketika anak ketahuan bohong, kita lekas mengatakan itu dosa dan pelakunya akan masuk neraka, ketimbang memberitahunya bahwa Tuhan menyukai kejujuran, lalu dibumbui alasan rasional bahwa ketika berbohong, kita telah mengambil hak orang lain, dan itu perbuatan tidak benar.

Pemaknaan neraka dan surga hanya pada sebatas tempat, membuat anak kerap lebih terfokus pada rasa takut dan berharap ketimbang cara berfikir. Gagasan itu menempatkan neraka dan surga amat jauh, seperti tidak ada duduk-duduknya di bumi ini.

Tentu tidak ada yang bisa memastikan dengan mutlak seperti apa surga dan neraka yang dimaksud dalam kitab suci. Namun, dalam memandang arti surga dan neraka, saya lebih setuju dengan gagasan Prof. Quraish Shihab bahwa  surga dan neraka  yang ditampilkan dalam kitab suci adalah perumpamaan.

Achmad Chodjim dalam bukunya Membangun Surga (2015) mengatakan: “Seandainya al-Qur’an diturunkan di Jawa, perumpamaan surga sebagai taman kehidupan seperti ala Timur Tengah tidak akan berpengaruh nyata untuk membangkitkan moralitas manusia Jawa.”

Al-Qur’an menggambarkan neraka dan surga sebagai api dan taman yang elok dengan metode  ancaman dan iming-iming. Ini memang cara yang manjur bagi manusia di Dunia Timur karena kondisi geografisnya amat mendukung. Namun, bagi agama-agama yang lahir di Asia, khususnya Asia Timur, Selatan dan Tenggara, gambaran itu tidak berhasil menyasar pada aspek psikologis. Lalu bagaimana sebenarnya neraka dan surga itu?

Baca juga:  Urgensi Peran Ulama Bagi Pelestarian Alam

Adi. K mengisahkan surga dalam fiksi mini berjudul Cermin dua Arah (2019):  “Azra diberi mukjizat bisa melihat dengan sangat jauh. Ia bisa melihat siapa yang datang dari jarak lima kilometer, melihat semut yang berada di puncak gunung, melihat nama pramugari yang sedang melayani penumpang, melihat judul buku yang berada di lantai tiga puluh sebuah gedung, bahkan melihat astronot sedang menggaruk di dalam stasiun ruang angkasa yang mengorbit bumi. Semakin hari, penglihatannya semakin tajam dan semakin jauh. Akhirnya, pada suatu hari, ia bisa melihat kalau surga ia tidak seperti yang orang-orang bayangkan selama ini.”

Barangkali, surga dan neraka tidak hanya ada di akhirat, seperti yang banyak diyakini. Surga dan neraka sudah ada sejak di dunia. Bagaimana bentuknya? Ia tidak berupa api ataupun sungai madu yang mengalir tetapi ada di setiap diri manusia. Surga berbentuk kebahagian dan ketenangan sementara neraka adalah kegelisahan dan penderitaan.

Lucy M. Montgomery dalam  Anne of the Island (1915) mengungkapkan: “Kehidupan surga harus dimulai di bumi ini.” Dilanjutkan dalam kutipan lain: “Aku pikir, surga tidak akan terlalu berbeda dari kehidupan kita kini, tidak seperti yang dipikirkan kebanyakan orang. Aku percaya kita akan terus hidup seperti ini dan menjadi diri kita sendiri. Bedanya, di surga segalanya akan lebih mudah menjadi baik dan untuk mengikuti Sang Maha Tinggi. Semua masalah dan kebingungan akan hilang, dan kita akan bisa melihat dengan lebih jelas.”

Baca juga:  Diaspora Santri: Masjid-Masjid NU di Lintas Negara

Memposisikan neraka dan surga sebagai suatu keadaan ketimbang tempat membuat keduanya menjadi hidup jika dihadapkan pada problematika dunia ini. Ketakutan akan neraka bisa dihilangkan dengan meringankan penderitaan orang lain dan senantiasa berbuat baik. Dengan begitu, ketenangan akan menyelimuti hidup kita: itulah surga.

Yang dikhawatirkan, neraka dan surga menempati posisi dominan dalam pikiran anak-anak juga orang dewasa yang justru mengesampingkan Tuhan dan perbuatan di dunia. Kegelisahan itu yang membuat Rabi’ah protes pada zamannya.

Rabi’ah Al Adawiyah pernah berlari-lari di Kota Baghdad sembari menenteng seember air dan memegang obor di tangan kirinya. Orang-orang yang melihat bingung dan bertanya pada Rabi’ah. Sufi itu menjawab bahwa ia ingin membakar surga dan menyiram api neraka. Orang-orang yang mendengar jawaban Rabi’ah semakin bingung, meminta penjelasan lebih. Rabi’ah mengatakan bahwa surga dan neraka telah membuat umat islam menjadi semakin jauh dari cinta dan kasihnya kepada Allah.  Mereka lebih berharap dan takut kepada surga dan neraka ketimbang Allah.

Cerita tersebut menjadi genap dilengkapi lagu Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada (2004) karya Chrisye dan Ahmad Dhani: “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya.” Sepenggal cerita dan sebaris lirik, menarik kita untuk berpikiran kembali soal esensi surga dan neraka.

 

 

 

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
0
Senang
0
Terhibur
0
Terinspirasi
0
Terkejut
0
Lihat Komentar (0)

Komentari

Scroll To Top