Sedang Membaca
Dialog sebagai Upaya Deradikalisasi di Lingkup Universitas Islam Negeri
Yulita Putri
Penulis Kolom

Begiat di Bilik Literasi, Kamar Kata Karanganyar dan Pusat Kajian Perempuan Solo (PUKAPS).

Dialog sebagai Upaya Deradikalisasi di Lingkup Universitas Islam Negeri

uin surakarta

Liputan ini memuat moderasi beragama yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan itu sejalan dengan tingginya antusias pemerintah dan publik untuk menciptakan ruang yang aman bagi segala perbedaan, terutama agama.

Konflik dalam konteks moderasi beragama tidak hanya kerap terjadi antar lintas agama tetapi juga hadir  dalam satu agama itu sendiri, misalnya Islam. TGS. Saidurrahman dalam Moderasi Beragama dari Indonesia untuk Dunia (2019), menjelaskan bahwa dalam kesejarahan tubuh Islam,  pernah muncul gerakan radikal yang keras dan eksklusif: “.. gerakan Khawarij sesungguhnya adalah gerakan islam radikal yang paling tua. Mereka adalah penganut tafsir islam tunggal dan mengklaim sebagai pemegang dan pengendali kebenaran.”

Lalu, dalam konteks Indonesia, akar historis Islam radikal bersumber dari dalam maupun paham yang diimpor ke Indonesia, misalnya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Lalu, kelompok yang tidak punya hubungan dengan DII maupun jaringan Internasional, misalnya FPI dan Laskar Jihad. Lalu kelompok yang punya hubungan dengan Darul Islam lama tetapi tidak memiliki jaringan internasional misalnya Majelis Mujahidin Indonesia.

Beragam konflik keagamaan tercatat banyak  bermunculan. Masalah itu membuat berbagai pihak sadar perlunya pembumian wacana moderasi islam. Moderasi islam atau sering juga disebut islam moderat adalah terjemah dari kata washatiyyah al-islamiyyah. Kata wasata semakna tawazun, i’tidal, ta’adul, atau al-istiqamah yang artinya seimbang, moderat, mengambil posisi tengah, tidak ekstrem baik kanan maupun kiri.

Islam moderat merujuk pada pandangan atau sikap yang selalu berusaha mengambil jalan tengah dari dua sikap yang berseberangan atau berlebihan. Ia muncul dalam bentuk tidak berlebihan dalam segala perkara, tidak berlebihan dalam beragama, tidak ekstrem pada keyakinan, tidak angkuh atau lebih lembut dan lainnya.

Baca juga:  Dai Perlu Berperan Strategis dalam Pemberantasan Korupsi

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah, radikalisasi islam di dalam lingkup pendidikan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh TGS. Saidurahman, Rektor UIN Sumatera Utara, ditemukan fakta bahwa di berbagai kampus negeri, masih berkembang wacana dan gerakan keagamaan eksklusif yang tidak hanya digencarkan oleh satu kelompok keislaman tertentu tetapi oleh beberapa kelompok lain yaitu gerakan salafi-wahabi, gerakan tarbiyah dan gerakan tahririyah. Dalam beberapa hal, kondisi tersebut sesungguhnya bisa menjadi ancaman bagi pancasila, demokrasi, dan NKRI.

UIN Raden Mas Said Surakarta merupakan salah satu dari jamaknya PTKIN yang sempat menemukan indikasi radikalisme di dalam kampus. Baik di lingkup mahasiswa maupun dosen.

Sukmadi, mahasiswa jurusan ilmu Al-Qur’an dan Tafsir sekaligus aktivis moderasi beragama menceritakan pengalamannya bertemu dengan beberapa rekan mahasiswa yang mengarah pada kecenderungan radikal dalam memahami agama.

“Ada, terutama di UKM. Biasanya ada pertentangan antar UKM. Yang paling menarik perdebatan soal amaliah. Misalnya saat Ramadan lalu, salah satu UKM ada yang menshare soal keutamaan harian bulan Ramadan. Nah, ada salah satu UKM yang menolak secara terang-terangan bahkan menganggapnya bid’ah karena tidak sesuai dengan zaman Nabi,” ungkapnya saat ditemui di UIN Raden Masa Said Surakarta (23/09/2024).

Ia juga mengungkapkan kerap kali muncul klaim kebenaran dengan mendaku dirinya sebagai organisasi paling moderat hingga mendiskreditkan yang lain. Padahal, klaim mengenai paling moderat itu sendiri merupakan tindakan yang tidak moderat.

Menurut Sukmadi, tindakan intoleran juga terjadi saat peringatan Harlah NU yang dirayakan oleh Universitas. Menurutnya, mewajibkan seluruh civitas akademika untuk mengikuti perayaan serta menyanyikan lagu “Ya Lal Wathon” juga tindakan tidak moderat.

Baca juga:  PMII Gelar Aksi Simpatik Tragedi Rohingya

Kampus  tidak lagi bersikap netral, melainkan menyimpan kesan keberpihakan pada salah satu golongan. Padahal, secara prinsip, kejamakan atas unsur keagamaan tidak hanya dilihat dalam landscape lintas iman namun juga kejamakan di internal agama itu sendiri. Artinya, moderasi yang dibangun melalui diskusi-diskusi, materi perkuliahan, sosialisasi hanya berhenti pada tahap wacana, belum menginjak pada tahap lebih lanjut yakni implementasi.

Pada suatu kesempatan, Sukmadi juga pernah mencoba menjembatani konflik antar UKM  dengan menggelar forum dialog lintas ideologi. Dalam acara tersebut, ia mengajak beberapa organisasi yang memiliki kecenderungan pada NU dan Gerakan Tarbiyah duduk bersama dalam ruang diskusi.

Melalui penuturannya lebih lanjut, ia menyebut memang perdebatan terlihat begitu sengit ketika forum berjalan. Namun, ketika forum selesai para peserta terlihat saling menunjukkan  sikap menghargai dan rukun.

Hal itu sejalan dengan salah satu pendekatan dalam Resolusi Konflik, yakni dialog. Dimana tanpa dialog hanya akan menyisakan relasi top-down serta tidak akan menciptakan perubahan yang cukup berarti. Dialog yang terbuka serta upaya untuk memahami sudut pandang lain dapat mencapai perubahan yang signifikan dalam mengupayakan kehidupan yang damai dan rukun.

Selain mahasiswa, upaya pembumian islam moderat juga dilakukan dari pihak dosen. Rojif Mualim, salah satu Dosen UIN Raden Mas Said Surakarta mengisahkan pengalamannya dalam proses membumikan islam moderat. Ia menceritakan bahwa ada beberapa mahasiswa yang memiliki kecenderungan pada tindak radikal. Realitas itu tidak ditanggapinya dengan keras melainkan upaya-upaya yang persuasif.

Upaya itu dilakukan oleh Rojif Mualim melalui dialog di dalam kelas maupun luar kelas. Di dalam kelas, ia berusaha memberikan kebebasan bagi mahasiswa untuk mengemukakan pendapatnya masing-masing sesuai dengan latar belakang ideologi keagamaan yang dianut tanpa merasa takut. Lalu, ia juga menggunakan metode diskusi tanya jawab untuk menstimulus pertanyaan dalam diri mahasiswa. Perjumpaan-perjumpaan juga kerap digunakannya untuk menjalin dialog antar mahasiswa tanpa tendensi menggurui.

Baca juga:  Memperingati Haul KH. Bisri Syansuri: Pilihlah Ahlu Ad-Din yang Otoritatif untuk Mengurusi Agama

Di luar kelas, ia memperbolehkan mahasiswa untuk menemuinya dan berdialog. Ia mengisahkan seringkali didatangi mahasiswa yang tak sedikit jumlahnya dengan latar belakang yang beragam. Ketika berdialog, sering kali pandangan mahasiswa yang kaku dapat digoyahkan dan diarahkan pada ide-ide perdamaian dan kerukunan.

“Dulu sekitar tahun 2016, di UIN pernah ada dosen dan mahasiswa yang berjejaring melalui arus bawah tanah untuk  melakukan gerakan-gerakan intoleran. Saya berharap tindakan itu tidak akan terjadi lagi. Upaya yang bisa dilakukan ya dengan melakukan dialog secara persuasif ke mahasiswa baik di dalam maupun di luar kelas, dan itu ternyata sangat efektif untuk mengurai bibit-bibit radikalisme di kampus.” Jelasnya saat diwawancarai di UIN Raden Mas Said (23/9/2024).

Moderasi yang bertujuan untuk menciptakan kerukunan melalui kerja-kerja banyak pihak perlu selalu diupayakan. Kampus sebagai tempat produksi dan penyebaran ilmu pengetahuan bisa menjadi pisau bermata dua, satu sisi sebagai counter wacana intoleran, di sisi yang lain ternyata dapat menyimpan benih-benih intoleransi. Karena dualisme tersebut, perlu diupayakan sinergisitas antara pihak pemerintah, pejabat kampus, dosen, dan mahasiswa secara dialogis dan persuasif.

Artikel ini terbit atas kerjasama alif.id dengan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) Kemenag dan LTN PBNU.

Katalog Buku Alif.ID
Apa Reaksi Anda?
Bangga
1
Ingin Tahu
1
Senang
1
Terhibur
1
Terinspirasi
1
Terkejut
1
Scroll To Top